Usul’uddin adalah perkara yang penting dan sangat prinsip karena merupakan pokok atau dasar (fundamental) dari ajaran Islam, sehingga tidak diperbolehkan untuk ditambah ataupun dikurangi.Jika terjadi pengurangan atau penambahan terhadapnya, maka hal tersebut dapat dikatakan ajaran yang menyimpang (sesat) dan murtad dari agama Islam. Adalah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk meluruskan ajaran yang menyimpang tersebut.
Furu’uddin adalah perkara penting tetapi tidak prinsip karena merupakan cabang-cabang dari ajaran Islam. Dalam hal ini dibuka peluang untuk berbeda pemahamannya dikalangan umat Islam asalkan ajaran tersebut didasarkan kepada dalil yang syar’i. Adanya perbedaan pemahaman dalam hal furu’uddin bukanlah suatu yang menyimpang (tidak sesat) dan menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menghargai dan menghormati ajaran tersebut.
Baiklah, untuk memberikan batasan dalam bertoleransi, maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah perbedaan dalam memahami ajaran Islam tersebut berada dalam wilayah usul’uddin atau furu’uddin. Sebagai contoh, misalnya dalam hal Shalat, kalangan umat Islam baik Ulama yang berada di Timur maupun di Barat semua sudah sepakat bahwa shalat diwajibkan bagi umat Islam 5 (lima) kali dalam sehari-semalam berdasarkan Firman Allah swt., “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' {44} (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 43). Nah jika ada umat atau golongan yang berpendapat bahwa shalat 5 (lima) waktu tidak wajib, maka pendapat tersebut adalah pendapat yang menyimpang (sesat), sehingga tidak boleh ditolerir dan menjadi kewajiban umat Islam untuk meluruskan ajaran atau pendapat tersebut.
Namun di dalam shalat terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya, misalnya pada niat. Menurut mazhab Syafi’i, bahwa perlunya lisan untuk membimbing niat di dalam hati, sehingga sebelum shalat harus melafazdkan niat. Sedangkan menurut mazhab Imam Hambali, niat cukup berada di dalam hati, sehingga tidak perlu dilafazdkan. Kedua pendapat tersebut memiliki dalil yang syar’I dan bukanlah perkara yang termasuk usul’uddin, sehingga menjadi kewajiban umat Islam untuk menghargai perbedaan tersebut berdasarkan hadist Rosullullah saw, "Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim).
Bagaimana toleransi umat Islam terhadap penganut agama lain di luar Islam? Pertanyaan ini sering muncul manakala umat Islam menolak ajaran yang menyimpang dalam perkara usul’uddin.
Penjelasannya adalah, kalau dengan agama lain di luar agama Islam, adalah juga menjadi kewajiban umat Islam untuk menghargai keberadaan agama tersebut, sepanjang mereka tidak ’mengganggu’ keberadaan agama Islam. Sesuai dengan Firman Allah swt. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 190)
Posting Komentar