Home » » Toleransi Dalam Khilafiyah

Toleransi Dalam Khilafiyah

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Jumat, 11 Januari 2013 | 03.06

Di dalam ajaran Islam ada dua pokok bagian, yaitu Usul’uddin dan Furu’udin. Usul’uddin adalah merupakan dasar atau pokok dari agama Islam, sedangkan Furu’uddin adalah cabang daripada agama Islam. 
Usul’uddin adalah perkara yang penting dan sangat prinsip karena merupakan pokok atau dasar (fundamental) dari ajaran Islam, sehingga tidak diperbolehkan untuk ditambah ataupun dikurangi.Jika terjadi pengurangan atau penambahan terhadapnya, maka hal tersebut dapat dikatakan ajaran yang menyimpang (sesat) dan murtad dari agama Islam. Adalah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk meluruskan ajaran yang menyimpang tersebut.
Furu’uddin adalah perkara penting tetapi tidak prinsip karena merupakan cabang-cabang dari ajaran Islam. Dalam hal ini dibuka peluang untuk berbeda pemahamannya dikalangan umat Islam asalkan ajaran tersebut didasarkan kepada dalil yang syar’i. Adanya perbedaan pemahaman dalam hal furu’uddin bukanlah suatu yang menyimpang (tidak sesat) dan menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menghargai dan menghormati ajaran tersebut.
Baiklah, untuk memberikan batasan dalam bertoleransi, maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah perbedaan dalam memahami ajaran Islam tersebut berada dalam wilayah usul’uddin atau furu’uddin. Sebagai contoh, misalnya dalam hal Shalat, kalangan umat Islam baik Ulama yang berada di Timur maupun di Barat semua sudah sepakat bahwa shalat diwajibkan bagi umat Islam 5 (lima) kali dalam sehari-semalam berdasarkan Firman Allah swt., “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' {44} (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 43). Nah jika ada umat atau golongan yang berpendapat bahwa shalat 5 (lima) waktu tidak wajib, maka pendapat tersebut adalah pendapat yang menyimpang (sesat), sehingga tidak boleh ditolerir dan menjadi kewajiban umat Islam untuk meluruskan ajaran atau pendapat tersebut.
Namun di dalam shalat terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya, misalnya pada niat. Menurut mazhab Syafi’i, bahwa perlunya lisan untuk membimbing niat di dalam hati, sehingga sebelum shalat harus melafazdkan niat. Sedangkan menurut mazhab Imam Hambali, niat cukup berada di dalam hati, sehingga tidak perlu dilafazdkan. Kedua pendapat tersebut memiliki dalil yang syar’I dan bukanlah perkara yang termasuk usul’uddin, sehingga menjadi kewajiban umat Islam untuk menghargai perbedaan tersebut berdasarkan hadist Rosullullah saw, "Apabila  seorang  hakim  akan  memutuskan perkara, lalu ia melakukan  ijtihad,  kemudian  ijtihadnya  benar,  maka   ia memperoleh   dua   pahala  (pahala   ijtihad   dan   pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan  perkara,  dan  ia berijtihad,   kemudian   hasil  ijtihadnya  salah,  maka  ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat  Bukhari Muslim).
Bagaimana toleransi umat Islam terhadap penganut agama lain di luar Islam? Pertanyaan ini sering muncul manakala umat Islam menolak ajaran yang menyimpang dalam perkara usul’uddin.
Penjelasannya adalah, kalau dengan agama lain di luar agama Islam, adalah juga menjadi kewajiban umat Islam untuk menghargai keberadaan agama tersebut, sepanjang mereka tidak ’mengganggu’ keberadaan agama Islam. Sesuai dengan Firman Allah swt. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 190)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger