Pengaruh yang dalam
dari kalangan ulama Sufi dan organisasi Tarekat terhadap rakyat tidak terhenti
di masa penjajahan Barat, hal ini terbukti pada periode pendudukan Jepang di
Indonesia (1942-1945), terlihat perlawanan Ulama Sufi menunjukkan sikap
perlawanannya.
Semula kehadiran Jepang
di Indonesia karena propagandanya diterima sebagai pembebas. Tetapi kenyataan selanjutnya
Jepang yang dihinggapi penyakit mabuk kemenangan, mulai bertindak menindas.
Akibatnya adanya blokade dari Sekutu, kondisi kehidupan ekonomi sangat
menyedihkan. Sebenarnya kebijakan pendudukan Jepang sangat menguntungkan para ulama Sufi, sebab dalam pembinaan teritorial, Jepang lebih bersedia dengan Ulama non Parpol. Pendekatan terhadap Ulama-ulama Desa, memungkinkan segenap ulama
Sufi yang menjadi pimpinan Pondok Pesantren akan mendapat kehormatan. Namun
kenyataannya perang Asia Timur Raya menyeret kehidupan umat Islam sangat
mengkhawatirkan. Apalagi para petani desa mengalami penyitaan padi miliknya.
Di bawah kondisi
kekuatan umat Islam terpecah-pecah, di satu pihak seperti diberikan kesempatan
membina organisasi militer modern, 1943 Tentara Pembela Tanah Air (PETA), di
lain pihak, para Ulama Sufi mengalami penindasan tentara Jepang terhadap
petani. Situasi yang langsung menyakasikan penindasan, menjadikan K.H. Zainal
Mustofa dari Pesantren Sukamanah Tasikmalaya, melancarkan gerakan protes pada
tanggal 25-2-1944.
Sebelum melancarakan perlawanan fisik, K.H. Zainal Mustofa menyadari kelemahannya. Oleh karena itu, guna menumbuhkan keyakinan dan keberanian tempur maka digunakanlah Metode Dzikir dan Shalawat bagi santri-santri yang bertindak sebagai pasukan sukarela. Selanjutnya K.H. Zainal Mustofa memimpin gerakan protes dengan melancarkan perlawanan bersenjata. Protes ini ternyata mempunyai dampak politik yang mempengaruhi kebijakan pemerintahan Jepang di Tokyo.
Sekalipun tidak
berhasil mematahkan kekuatan militer Jepang, pengaruhnya menjadikan Perdana Menteri Koiso menyampaikan
perkenan kemerdekaan kelak dikemudian hari (7 September 1944). Bagi Jepang
janji ini sebagai sistem persenjataan sosial (sispersos) yang bertujuan
melokalisasi pengaruh gerakan protes agar tidak mendapat dukungan dari kalangan
politisi. Hasilnya untuk sementara memang benar, kalangan Politisi tidak
memberikan dukungan. Kalangan politisi merasa yakin akan tercapainya kemerdekaan
Indonesia tanpa dengan mengadakan perlawanan fisik terhadap Jepang.
Setahun kemudian
setelah janji tersebut disiarkan, Tentara Peta mengadakan pemberontakan di
Blitar (15 Februari 1945). Kedua tokoh, yakni K. Ngahdullah Sirodj dan K.
Holil sebagai Ulama Blitar memberikan dukungan terhadap pemberontakan tentara
Peta yang dipimpin oleh Supriyadi. Menghadapi perlawanan ini, Jepang kembali
melancarkan sispersos yang memungkinkan para politis memfokuskan perhatiannya
pada pembentukan Badan Usaha Penyeldik
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), bukan kepada pemberontakan Peta.
Kenyataan sejarah ini, membuktikan Tarekat menjadikan dirinya sebagi kelompok kecil yang kreatif yang menggerakkan mayoritas yang menantikan keteladannya. Gerak kepeloporannya dalam menghadapi penjajah Barat dan Jepang, menghantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya. Proklamasi 17 Agustus 1945, bertepatan 9 Ramadhan 1364 H, sebagai puluhan pertama, puluhan rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya).
Posting Komentar