Home » , » Tarekat pada Masa Pendudukan Jepang

Tarekat pada Masa Pendudukan Jepang

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Senin, 28 Januari 2013 | 00.05


Pengaruh yang dalam dari kalangan ulama Sufi dan organisasi Tarekat terhadap rakyat tidak terhenti di masa penjajahan Barat, hal ini terbukti pada periode pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), terlihat perlawanan Ulama Sufi menunjukkan sikap perlawanannya.

Semula kehadiran Jepang di Indonesia karena propagandanya diterima sebagai pembebas. Tetapi kenyataan selanjutnya Jepang yang dihinggapi penyakit mabuk kemenangan, mulai bertindak menindas. Akibatnya adanya blokade dari Sekutu, kondisi kehidupan ekonomi sangat menyedihkan. Sebenarnya kebijakan pendudukan Jepang sangat menguntungkan para ulama Sufi, sebab dalam pembinaan teritorial, Jepang lebih bersedia dengan Ulama non Parpol. Pendekatan terhadap Ulama-ulama Desa, memungkinkan segenap ulama Sufi yang menjadi pimpinan Pondok Pesantren akan mendapat kehormatan. Namun kenyataannya perang Asia Timur Raya menyeret kehidupan umat Islam sangat mengkhawatirkan. Apalagi para petani desa mengalami penyitaan padi miliknya.

Di bawah kondisi kekuatan umat Islam terpecah-pecah, di satu pihak seperti diberikan kesempatan membina organisasi militer modern, 1943 Tentara Pembela Tanah Air (PETA), di lain pihak, para Ulama Sufi mengalami penindasan tentara Jepang terhadap petani. Situasi yang langsung menyakasikan penindasan, menjadikan K.H. Zainal Mustofa dari Pesantren Sukamanah Tasikmalaya, melancarkan gerakan protes pada tanggal 25-2-1944.

Sebelum melancarakan perlawanan fisik, K.H. Zainal Mustofa menyadari kelemahannya. Oleh karena itu, guna menumbuhkan keyakinan dan keberanian tempur maka digunakanlah Metode Dzikir dan Shalawat bagi santri-santri yang bertindak sebagai pasukan sukarela. Selanjutnya K.H. Zainal Mustofa memimpin gerakan protes dengan melancarkan perlawanan bersenjata. Protes ini ternyata mempunyai dampak politik yang mempengaruhi kebijakan pemerintahan Jepang di Tokyo.

Sekalipun tidak berhasil mematahkan kekuatan militer Jepang, pengaruhnya menjadikan Perdana Menteri Koiso menyampaikan perkenan kemerdekaan kelak dikemudian hari (7 September 1944). Bagi Jepang janji ini sebagai sistem persenjataan sosial (sispersos) yang bertujuan melokalisasi pengaruh gerakan protes agar tidak mendapat dukungan dari kalangan politisi. Hasilnya untuk sementara memang benar, kalangan Politisi tidak memberikan dukungan. Kalangan politisi merasa yakin akan tercapainya kemerdekaan Indonesia tanpa dengan mengadakan perlawanan fisik terhadap Jepang.

Setahun kemudian setelah janji tersebut disiarkan, Tentara Peta mengadakan pemberontakan di Blitar (15 Februari 1945). Kedua tokoh, yakni K. Ngahdullah Sirodj dan K. Holil sebagai Ulama Blitar memberikan dukungan terhadap pemberontakan tentara Peta yang dipimpin oleh Supriyadi. Menghadapi perlawanan ini, Jepang kembali melancarkan sispersos yang memungkinkan para politis memfokuskan perhatiannya pada pembentukan Badan Usaha Penyeldik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), bukan kepada pemberontakan Peta.

Kenyataan sejarah ini, membuktikan Tarekat menjadikan dirinya sebagi kelompok kecil yang kreatif yang menggerakkan mayoritas yang menantikan keteladannya. Gerak kepeloporannya dalam menghadapi penjajah Barat dan Jepang, menghantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya. Proklamasi 17 Agustus 1945, bertepatan 9 Ramadhan 1364 H, sebagai puluhan pertama, puluhan rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya).


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger