Latest Post

MENELISIK KONSEP NEGARA KESEPAKATAN (Perjuangan di balik Pencalonan KH. Ma'ruf Amin

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Selasa, 23 Oktober 2018 | 02.27


Menelisik Konsep Negara Kesepakatan
Pejuangan di Balik Pencalonan KH. Ma’ruf Amin.

Pada hari Sabtu pagi yang cerah, di sebuah Pondok Pesantren di Kawasan BSD Tangerang Selatan, seperti biasa di tempat ini setiap bulan diadakan Pengajian Manaqib Tuan Syekh Abdul Qodir Jailani, Qs. Namun tidak seperti biasanya, pada manaqiban kali ini dihadiri oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. DR (HC) KH. Ma’ruf Amin, beliau datang ingin bersilaturahmi dengan Mursyid TQN PPS ke-38, Hadrotus Syekh Pengersa Abah Aos Qs.

Kedatangan beliau ini, selain silaturahmi tentunya ada kaitannya dengan pencalonan beliau sebagai Calon Wakil Presiden yang berpasangan dengan Presiden RI Bapak Ir. H. Joko Widodo. Meski demikian, kunjungan beliau ini tidak terkait langsung dengan pencalonan beliau tersebut. Namun jauh hari sebelum kedatangan beliau ini, Hadrotus Syekh Pangersa Abah Aos telah mengeluarkan Maklumat yang isinya mendukung pencalonan KH. Ma'ruf Amin tersebut, dan akan memilihnya pada saat Pilpres 2019. Keputusan Pangersa Abah Aos ini tentu saja ada dasarnya, yakni Tanbih (peringatan) dari Hadrotus Syekh Abah Sepuh yang telah disampaikan oleh Hadrotus Syekh Abah Anom lebih dari 62 tahun yang lalu (1956), yang isinya taat kepada Agama dan Negara.

Pada kesempatan ini, KH. Ma'ruf Amin didaulat untuk menyampaikan Hidmat Ilmiah Manaqib. Dalam hidmat ilmiahnya, setidaknya ada tiga hal pokok yang disampaikan, pertama Kiyai Ma’ruf memaparkan kiprah para Ulama Thoriqoh (Mursyid) dalam membimbing umat agar menjadi manusia yang sempurna (insan kamil), beliau menyebut gerakan thoriqoh itu sebagai gerakan untuk menyempurnakan manusia (harokah ta’wiliyah insaniyah) atau paling tidak mendekati sempurna. Peran dari Mursyid adalah agar supaya kita menjadi manusia yang memiliki At-Tashfiyah wa At-Tazkiyah, yakni dengan berdzikir kita membersihkan dari sirik yang jelas (Jali) maupun sirik yang samar (khafi), dan membersihkan diri kita dari sifat-sifat madzmumah (tercela) menuju kepada sifat yang terpuji (mahmudah). 

Oleh karena itu, para ulama ahli thoriqoh sangat luar biasa besar jasanya dalam mendidik manusia menjadi manusia yang sempurna atau mendekati sempurna. Seperti yang sudah dituliskan di dalam sejarah perjuangan bangsa, bahwa para ulama ahli thoriqoh senantiasa bekerja, berbuat, beramal untuk menjaga Agama dan menjaga Negara. Oleh sebab itulah maka ketika beliau diminta untuk menjadi calon Wakil Presiden, dan sesuai dengan keputusan Nahdhatul Ulama (NU) bahwa beliau harus menerimanya, maka walau dengan berat hati karena harus mundur dari Rois ‘Am PBNU, tawaran beliau terima dengan lapang dada. 

Beliau menceritakan bahwa untuk menjadi calon wakil presiden beliau sendiri tidak menduganya dan tidak juga mempersiapkan diri sebelumnya, seperti juga dulu ketika dipilih menjadi Rois ‘Am PBNU, beliau tidak mencalonkan diri dan juga tidak dicalonkan, min haitsu laa yahtasib, kata beliau.. Bahkan kata beliau, Presiden Jokowi bisa saja memilih dari kalangan politisi atau professional, tapi beliau lebih memilih kiyai Ma’ruf yang notabene dari kalangan Kiyai dan Santri, itu artinya Pak Jokowi merasa nyaman berdampingan dengan kiyai dan santri. Hal senada juga disampaikan oleh pengersa Abah Aos, bahwa orang yang menyukai orang baik maka ia akan terbawa menjadi orang baik.

Yang kedua, beliau memaparkan konsep tentang Negara Republik Indonesia (NRI), menurut beliau Indonesia adalah Negara Kesepakatan (Darul Miitsaq), bukan Negara Islam (Darul Islam), juga bukan Negara Kafir (Darul Kufri) atau Negara Perang (Darul Harbi). Sehingga Negara Kesepakatan ini harus kita dijaga, maka atas dasar itulah Kiyai Ma’ruf akhirnya menerima tawaran untuk menjadi Wakil Presiden, istilah beliau, pindah jalur, yaitu dari jalur kultural kepada jalur struktural, yang tugasnya sama yaitu untuk himayatu ad-diin wa himayatul daulah (menjaga agama dan menjaga negara) ‘alaa thoriqoti (menurut jalan) ahlussunnah wal jama’ah juga untuk melakukan penguatan umat melalui pembangunan-pembangunan dan peningkatan ekonomi umat. 

Negara kesepakatan ini harus dijaga agar supaya tidak terjadi kegaduhan, karena ada orang yang ingin mengganti/merubah bahkan dengan cara-cara yang radikal. Sehingga kalau sampai hal ini terjadi maka kita akan mengalami seperti di Syiria, Libya, Afganistan dan negara timur tengah lainnya, yang akan membuat Indonesia hancur dengan konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu Negara ini harus dikembalikan kepada kesepakatan nasional kita yaitu miitsaq (kesepakatan) awal kita dalam membentuk negara ini yang sudah dilakukan oleh para ulama. Kata beliau kita haru kembali kepada kesepakatan awal (ar-ruju’ ilal miitsaq wa ar-ruju’ ilal maghda), yakni kembali kepada prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945. 

Memang ada yang mengatakan, bahwa Pancasila itu thoghut, akan tetapi menurut beliau (kiyai ma’ruf), Pancasila adalah titik temu antara berbagai komponen bangsa, bagi kaum nasionalis Pancasila adalah kebangsaan yang relegius, tapi bagi kita umat Islam Pancasila adalah berkebangsaan yang bertauhid, karena berketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan UUD 45 adalah kesepakatan nasional atau kesepakatan bangsa (ittifaqoh wathoniyah). Oleh karena Pancasila dan UUD 45 itu adalah hasil dari kesepakatan, maka beliau menyebutnya dengan Negara Kesepakatan (darul miitsaq), karena dalam Al Qur’an ada ungkapan ayat yang berbunyi, “wa inkaana ,in qaumi bainakum wa bainahum mitsaaqun fadiyatum-musallamah ilaa ahlihi” (jika ada yang terbunuh dari kaum kafir yang ada penjanjian damai antara mereka dan kamu, maka kamu (yang membunuh) hendaklah membayar diyat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya). 

Dengan demikian artinya, semua yang tidak sesuai dengan miitsaq harus dicegah agar supaya tidak menimbulkan kegaduhan-kegaduhan atau konflik nasional. Maka dari itu, ketika ada yang mengusung konsep khilafah, meskipun khilafah itu juga islami, sebab memang ada di dalam sejarah Islam sistem khilafah, yaitu khilafah utsmaniyah dan Abbasyiah, namun oleh karena adanya kesepakatan tersebut maka secara otomatis sistem khilafah di Indonesia menjadi tertolak.

Sebab konsep Negara dalam Islam itu bukan hanya khilafah satu-satunya, tapi ada juga yang berbentuk kerajaan, seperti Saudi Arabia dan Yordania. Juga ada yang berbentuk ke-amir-an, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Abu Dhabi, juga berbentuk Republik, seperti Indonesia, Mesir, Pakistan dan Turki. Jadi semua itu Islami asal dilakukan sesuai dengan prisip-prisip agama Islam. Di Indonesia sistem kerajaan, keamiran, dan khilafah tertolak bukan karena persoalan islami atau tidak islami, akan tetapi karena tidak sesuai dengan kesepakatan atau menyalahi kesepakatan (mukholafatul mitsaaq). 

Kalau dilihat dari konsep Negara Kesepakatan, sejak pada tahun 622 M, Rosululloh Saw. di Madinah telah membuat kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah. Rosululooh Saw. Bersabda, “Man qotala mu’aadan lahu dzimmatullohi wa dzimmatur rosuulihi lam yaroh roo-ihatul jannah” (Barang siapa membunuh orang kafir mu’ahad yang berada dalam perlindungan Alloh dan perlindungan Rosul-Nya, maka dia tidak dapat mencium harumnya surga).

Dari paparan beliau dia atas saya (penulis) menarik benang merah antara keduanya berdasarkan kajian dalam ilmu kalam (ilmu tauhid). Dalam sejarah (siroh) di masa kekhalifahan sayyidina ‘Ali bin Abu Tholib Kw. Pernah terjadi perang Jamal (35 H/656 M) antara pasukan ‘Ali Kw. dan ‘Aisyah ra yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang kemudian disusul dengan perang Shiffin (36 H/657 M) antara pihak ‘Ali Kw. dan Mu’awiyah. 

Dalam perang Shiffin tentara Mu’awiyah terdesak, sehingga pihak Mu’awiyah meminta berdamai dengan mengangkat Al Quran ke atas kepala. Qurro yang ada dipihak ‘Ali mendesak ‘Ali agar menerima tawaran itu. Maka disepakatilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase atau Tahkim. Dalam arbitrase ini diangkat dua orang pimpinan delegasi sebagai arbitter, yakni Amr bin al-Ash (pihak mu’awiyah) dan Abu Musa Al-’asy’ari (pihak ‘Ali). 

Dalam perundingan ada kesepakatan untuk memilih khalifah yang baru akan diserahkan kepada umat dengan terlebih dahulu mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, lalu keduanya berjalan ke tengah hadirin yang menunggu hasil kesepakatan (tahkim), dan Amru bin Ash sudah sejak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy’ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasan lebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata, “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin tentang kesepakatan kita”. Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdo’a semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”. 

Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy’ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Lalu di hadapan hadirin kedua kubu delegasi, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga oleh Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash berbicara, di hadapan semua hadirin, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”. 

Dari segi politik perang  Jamal dan perang Shiffin merupakan titik hitam yang menodai sejarah perjalanan Islam. Di sisi lain peperangan itu, khususnya perang Shiffin, justru menjadi penyebab munculnya golongan-golongan di kalangan umat Islam dan aliran-aliran dalam Teologi (Ilmu Kalam).

Arbitrase atau tahkim yang terjadi pada perang Shiffin ini kemudian ditolak oleh sekelompok pengikut ‘Ali Kw, sehingga kelompok ini memisahkan diri dari barisan ‘Ali dan membentuk kelompok sendiri bernama Khowarij. Mereka mempermasalahkan ‘Ali yang telah menerima ajakan arbitrase dari Mu’awiyah. Bagi mereka laa hukma illalloh (tidak ada hukum yang dapat ditetapkan kecuali berdasarkan hukum Alloh), mereka berdalil dengan Firman Alloh dalam Surat Al Maaidah ayat 44. Kelompok ini mudah mengkafirkan yang berjalan diluar hukum-hukum Alloh, terlebih kepada yang konsekuensinya membawa dosa besar (murtakib al kabaair). Bahkan ada sekte meraka yang mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. (Mustafa Al-Ghuraby, 1959). Sedangkan kelompok Abu Musa al Asy’ari kemudian dikenal dengan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah (Al Asy’ariyah).

Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa kaum khawarij atau juga yang sepaham dengannya tentu saja akan menolak bentuk negara kesepakatan sebagaimana dipaparkan oleh Kiyai Ma’ruf Amin, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu yang menjadi latar belakangi perjuangan Kiyai Ma’ruf Amin, yaitu dalam rangka menjaga agama menurut paham ahlussunnah wal jamaah yakni menjaga Agama dan Negara. Sebab banyak contoh, seperti di Iran, dahulunya Negara tersebut berpahamkan Ahlussunnah wal jamaah, terbukti adanya Al Imam Ghazali at Thus, Abil Qosim al Isfahani (pengarang kitab Fathul Qorib, syarah kitab Taqrib), Abu Ishaq al Isfarani, itu semua ulama ahlussunnah wal jamaah, tetapi sekarang sudah bukan ahlussunnah wal jamaah lagi karena kekuasaannya memihak kepada Syi’ah. 

Begitu pula di Arab Saudi, dahulu banyak ulama kita dari Nusantara mejadi Imam di Mekkah seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghafar as-Sambasi, Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Tolhah Kalisapu, Cireboni, Syekh Abdussomad al-Palimbani, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Syekh Muhammad Kholil al Maduri, dll., tapi sekarang Negara tersebut menjadi paham Wahabi, sebab paham Wahabiah didukung oleh kekuasaan yang ada di Arab Saudi saat ini. Oleh karena itu maka menjadi kewajiban para ulama di Indonesia untuk menjaga agama berdasarkan paham ahlussunnah wal jamaah (himayatud-diin ‘ala thoriqotil ahlussunnah wal jamaah). Dengan demikian menjadi tugas kita semua untuk mengawal dan mengamankan jangan sampai kekuasaan dipengaruhi atau dikuasai oleh yang anti terhadap Ahlussunnah wal Jamaah.

Tujuannya adalah untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera dengan konsep ekonomi ala Fathul Mu’in dan Al Qur’an, yaitu wa min furudhul kifayah, daf’ul dhororin, artinya di antara persoalan fardhu kifayah itu, ialah menghilangkan bahaya kelaparan. Jangan sampai umat tidak makan, sebab kalau sampai tidak makan itu bukan lagi fardhu kifayah tapi fardhu ‘ain. Jadi mencegah bahaya kekurangan pangan dan sandang, dan sejenisnya seperti kurang pelayanan kesehatan dan pendidikan baik dari orang muslim maupun non muslim (minal muslimin au dzimmiyyin) itu hukumnya minimal fardhu kifayahKalau sampai terjadi bahaya yang demikian maka kita semuanya berdosa baik muslim maupun non muslim.

Nah dalam kontek itulah beliau bertekad ingin menghilangkan bahaya kelaparan tersebut, agar supaya negeri ini bebas dari kemiskinan. Itulah konsep ekonomi yang ada di dalam kitab Fathul Mu’in. Kemudian lebih jauh, KH. Ma’ruf Amin mengutip ayat al Quran Surat Al Hasyr ayat 7, “kaylaa yakuuna duulata bainal aghniyaa-i”, yang artinya, "Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja". Oleh karena itu, harta kekayaan negara ini harus didistribusikan ke seluruh lapisan masyarakat jangan ada kesenjangan-kesenjangan sosial.

Maka untuk itu, beliau membawa konsep ekonomi yang beliau namakan dengan “arus baru” ekonomi Indonesia. Arus baru maksudnya, konsep ekonomi yang lama itu memperkaya konglomerat, maksudnya sebenarnya agar kekayaan itu bisa mengucur ke bawah (top down), namun ternyata tidak netes-netes ke  bawah, yang di atas makin kuat sementara yang di bawah semakin lemah, maka dari itu sekarang kita balik model pembangunannya dari bawah ke atas (buttom up), maksudnya untuk menguatkan yang lemah, bukan melemahkan yang kuat dengan cara membangun mitra antara yang kuat dan yang lemah, sehingga ekonomi negara ini pada akhirnya menjadi ekonomi yang berkeadilan, sesuai dengan sila ke lima Pancasila, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan cara menghilangkan kesenjangan (disparitas) antara yang lemah dan yang kuat, yang miskin dan yang kaya, antara daerah satu dengan daerah lainnya, dan antara produk-produk nasional dengan produk-produk luar negeri melalui memaksimalkan potensi yang ada (maximize utility), yaitu memberi nilai tambah dari produk-produk rakyat, seperti yang dicontohkan oleh beliau harga coklat di Sulawesi Selatan seribu rupiah dijual ke Singapura, lalu diolah kemudian dijual kembali ke Indonesia dengan harga dua puluh ribu rupiah. Selisih harga sembilan belas ribu itulah yang dimaksudkan dengan nilai tambah untuk rakyat Indonesia, yang selama ini dinikmati oleh negara Singapura. Demikian juga dengan produk kopi, kita jual seharga tujuh puluh lima ribu rupiah, diolah oleh starbuck, lalu dijual ke kita secangkir lima puluh ribu rupiah, sedangkan satu kilogram kopi bisa lima puluh cangkir kopi, selisihnya bisa mencapai dua juta sembilan ratus ribu rupiah dinikmati oleh starbuck, untuk itu ke depan selisih tersebut harus diberikan kepada rakyat Indonesia.

Selain daripada itu, pembangunan sumber daya manusia juga harus ditingkatkan dari human resource (potensi sumber daya manusia) menjadi human capital (sumber daya manusia yang handal) dengan cara memberikan pendidikan-pendidikan dibidang ekonomi dan usaha mandiri, serta semangat (spirit). Sebab spirit itu penting, sebagai contoh perhelatan Asian Games, dengan adanya spirit maka perolehan emas melebihi target yang ditetapkan. Spirit tersebut dengan cara wa man jaahadu fiinaa linahdi yannahum subulanaa (barangsiapa bersungguh-sungguh berjuang, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami).

Demikianlah kutipan singkat yang disarikan dari hidmat ilmiah beliau, dimana apa yang disampaikan sangatlah sejalan dengan Hadrotus Syekh pangersa Abah Aos, Qs, sebagaimana juga Hadrotus Syekh pengersa Abah Anom untuk menjaga Agama dan Negara sebagaimana wasiat (tanbih) dari pengersa Abah Sepuh, Hadrotus Syekh Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad Qs.

Selasa, 23-10-2018
Penulis : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si
Dosen PAI dan PKN / Universitas Pramita Indonesia

GURUKU HAKIKAT KITABULLOH DAN SUNNAH ROSULULLOH

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Selasa, 09 Oktober 2018 | 02.53

Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Dalam buku yang berjudul "Tiga Delapan", saya pernah mengutip wasiat Rosullulloh Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Ra. Rosululloh Saw. bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Taroktu fiikum amroini, lan tadhilluu maa tamassakum bihimaa : Kitabullohi wa Sunnata Rosuulihi
Artinya, "Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Namun selain dua perkara tersebut, Rosullulloh Saw. juga meninggalkan "Murid/orang yang hidup", yaitu para Sahabat beliau, yang senantiasa mengikuti bimbingan beliau dengan mengerjakan segala perintahnya, sehingga menjadi generasi atau umat (murid) beliau yang terbaik sepanjang zaman, sebagaimana beliau telah bersabda :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Khoirun-naasi qornii tsumma alladziina yaluunahum tsumma alladziina yaluunahum
Artinya, "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).

Mengapa saya mengangkat persoalan ini dalam sebuah tulisan?
Karena, sekarang ini mulai banyak muncul pemahaman-pemahaman yang hanya berpegang pada hadits yang saya sebut pertama di atas, yaitu Kitabulloh & Sunnah. Adapun yang lain (selain yang dua itu) mereka ingkari dengan mengatakan itu Bid'ah, bid'ah adalah sesat, sesat adalah di neraka. 

Nah, apa kaitannya dengan kita, khususnya ikhwan TQN Suryalaya?
Dengan tetap berpegang teguh kepada Tanbih, "Jangan Menyalahkan Ajaran Orang Lain", pembahasan ini bukan bermaksud menyalahkan ajaran mereka,  karena itu juga benar menurut ijtihad ulamanya. Akan tetapi, pembahasan ini dalam rangka untuk Mengamalkan, Mengamankan dan Melestarikan Ajaran Thoriqoh, khususnya TQN Suryalaya.

Dalam ajaran Thoriqoh, keberadaan Mursyid adalah sosok sentral yang sangat dibutuhkan bagi seorang yang sedang meniti jalan menuju Alloh (salik), baik perkataan maupun perbuatannya menjadi contoh (role model) bagi seorang salik, sebab mursyid adalah seorang pembimbing, pendidik, dan juga yang menempa para murid.

Siapa murid? 
Murid adalah orang-orang yang memiliki kesungguhan belajar dalam memahami jalan-jalan spiritual menuju Allah. Bagi seorang murid, seorang Mursyid di hadapan para salik menyerupai Rosululloh Saw. di hadapan para sahabatnya. Jika para sahabat dengan tekun dan penuh tawadhu di hadapan Rosululloh, maka para salik juga melakukan hal yang sama di hadapan mursyidnya. 

Demikian pula halnya dalam memahami Qur'an dan Hadits, para murid juga mendapatkan pemahaman melalui lisan mursyidnya, sehingga tak jarang murid banyak mengutip 'kalam' mursyid itu menjadi suatu keterangan (dalil) yang disampaikan. Nah, sikap dari murid inilah yang sering dijadikan persoalan/permasalahan oleh orang-orang yang memiliki pemahaman yang berbeda. Bahkan tidak jarang dari mereka menuduh kita pengamal Thoriqoh itu adalah Bid'ah, Khurafat, Tahayul, aliran sesat yang tidak mengikuti Rosululloh Saw., juga musyrik, tidak mentauhidkan Alloh.

Ikhwan wal akhwat,
Bagi kita ikwan TQN Suryalaya, pengersa Abah adalah role model  kita, beliau adalah mursyid, kholifah Rosululloh Saw. yang telah mendapatkan petunjuk. Beliau ibarat Rosululloh Saw. di hadapan para sahabatnya, sebagai contoh yang hidup bagi kita, beliau seorang Penerus Nabi yang hadir di tengah-tengah kita sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang utuh. Orangnya dapat kita lihat, suaranya dapat kita dengar, kasih sayangnya dapat kita rasakan secara langsung. Dengan melihatnya kita dapat ikuti perbuatannya dengan Amaliyah. Dengan mendengar suaranya dapat kita ikuti nasehatnya dengan Ilmiah. Kita berguru kepada yang Hidup, bukan kepada kertas (buku) juga bukan kepada kaca (internet). Al Qur'an dan Hadits itu menjadi Nyata di hadapan kita. 

Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Uushikum bit-taqwallohi was-sami'i wath-thoo'ati wain 'abdan Habsyiyyan fa innahu man ya'isy min kum ba'dii, fa sayaro ikhtilaafan katsiiron, fa 'alaikum bi sunnati wa sunnatil khulafaa-il mahdiyyiina ar-roosyidiina. Tamassakuu bihaa wa 'adh-dhuu 'alaihaa binnawaa jidzi iyyaakum wa muhdatsaatil umuri fa inna kulla muhdatsatin bi'atun kullu bi'atunn dholaalatun
Artinya, "Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat". (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).

Beliau lah sang Kholifatu ar-Rosyidin, jadi kholifah yang mendapat pentunjuk dan lurus itu bukan hanya sahabat yang empat; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali saja, akan tetapi termasuk juga para Mursyid yang Kamil. Inilah makna dari [shirothol mustaqiim], sebagaimana yang dijelaskan Hadrotusyeikh Imamul Aimmah Abah Aos Ra Qs : “Setiap kali sholat, setiap kali berkirim doa’ (dengan) al-Fatihah, kita selalu bermohon agar ditunjukkan ke jalan orang yang lurus [shirothol mustaqim] dan jalan orang yang telah mendapat nikmat.. [shirotholladzina an’amta ‘alaihim]. Ketahuilah, yang dimaksud jalan yang pertama tiada lain adalah Hadrot Syeikh Mursyid dan yang kedua Talqin Dzikir (dan mengamalkannya). Sujud syukur dan bahagia kepada yang sudah mendapat petunjuk kedua jalan tersebut.” (qola: Abah Jagat).

Beliau juga adalah sebagai pewaris Nabi Saw. Sebagaimana sabda Rosululloh Saw. :

الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُاْلأَنْبِيَاءِ
Al 'Ulama-u warotsatul An biyaa-i
Artinya, “Ulama adalah pewaris para nabi". (HR. At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu).

Beliau bukanlah Nabi, tapi Wali (Auliya), sebab setelah Nabi Muhammad itu tidak ada lagi Nabi, beliau adalah Nabi yang terakhir. Sebagaimana Firman Alloh Swt.

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Maa kaana Muhammadun abaa ahadin min-rijaalikum walaa kin-rosuulallohi wa khootaman-nabiyyiina. Wa kaana-Allohu bi kulli syai-in 'aliiman
Artinya, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al Ahzab : 40).

Adapun Waliyulloh, akan tetap ada, dan dicetak terus sampai hari Kiamat. Mereka akan ada terus sepanjang zaman, mereka bukan Nabi tapi derajat mereka seperti Nabi. Sebagaimana diterangkan oleh Sayyidina Umar ibnu Khottob ra. : “Rosululloh Saw bersabda : “Sesungguhnya sebahagian hamba Alloh ada orang-orang yang tidak tergolong dalam golongan para nabi dan para syahid, tetapi kedua golongan ini ingin mendapatkan kedudukan seperti kedudukan mereka di sisi Allah.”

Firman Alloh dalam Qur'an :

أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
alaa inna Auliyaa-a Allohi laa khoufun 'alaihim wa laa hum yahzanuuna, alladziina aamanuu wa kaanu yattaquuna
Artinya, “Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63).

Dalam sebuah keterangan (Hadits) Rosululloh Saw. bersabda :
علماء أمتي كأنبياء بني إسرائيل
'Ulamaa-u ummatii ka-annabiyyaa-i banii isroo-iil
Artinya, “Ulama dari umatku itu seperti ulama Bani Israil". (Al Hadits).

Siapakah Ulama yang setara dengan Nabi dari Bani Isrooil itu? Merekalah para Wali yang selalu mengingat Alloh Swt. (Dzikrulloh)  di setiap keadaan. Sebagaimana sabda Nabi Saw. :

اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِ وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ بِذِكْرِ وأُذْكَرُ بِذِكْرِهِمْ
Inna Auliyaa-i min 'ibaadi wa ahibbaa-i min kholqi alladziina yadzkuruuna bi dzikri wa udzkaru bi dzikrihim
Artinya, "Sesungguhnya para Wali-Ku dari golongan hamba-Ku dan para Kekasih-Ku dari golongan makhluk-Ku adalah orang-orang yang diingat apabila Aku diingat. Dan Aku diingat apabila mereka diingat". (HR. at Tabrani, al Hakim dan Abu Na’im).

Ikhwan wal akhwat,
Inilah jalan (thoriq) kita. Berpegang teguhlah kepada Sunnah (ajaran) Rosululloh Saw. dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin, para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain! Alhamdulillah, kita sudah mendapatkan mursyid dan telah bersama dengan beliau pengersa Abah Aos, kita belajar beragama Islam ini dengan benar, tidak hanya belajar di kertas (buku) dan kaca (internet), tapi kepada Hakikat Qur'an dan Sunnah, yaitu Kanjeng Nabi Muhammad Saw. melalui pengersa Abah Aos, Mursyid TQN Suryalaya silsilah ke-38, yang beliau juga belajar kepada gurunya pengersa Abah Anom, Abah Anom belajar ke gurunya pengersa Abah Sepuh, dan seterusnya sampai kepada Syekh Abdul Qodir dan Sayyidina Ali kw.  sampai kepada Kanjeng Muhammad Saw. Itulah silsilah dari Ilmu dan Amal kita.

Kita berguru kepada yang hidup, yang mendapat petunjuk dan lurus. Berilmu tinggi dan berakhlak mulia. Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha tentang akhlaq Rosululloh Saw. Aisyah menjawab :

كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Kaana khuluqul Qur'an
Artinya, “Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
wa inna, banii isroo-iila tafar-roqot 'alaa tsintaini wa sab'iina mil-latan, wa taf-tariqu ummatii 'alaa tsalaatsin wa sab'iina mil-latan, kulluhum fin-naari illaa mil-latan waahidatan, qooluu: wa man hiya yaa rosuulullohi?, qoola: maa anaa 'alaihi wa ahhaabii
Artinya, "Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku. (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).

Alhamdulillah, kita sudah bersama dengan-Nya, tinggal mengamalkan dengan sebaik-baiknya agar kita semua diakui oleh beliau sebagai muridnya yang selalu akan bersama dengan-Nya dari Dunia hingga Akhirat, bi karomati Abah Aos al Faatihah, aamiin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Al Fakir,
Mahmud J. Al Maghribaen
Ba'da Ashar, 09-10-2018




Hidmat Ilmiah Manaqib Panongan, Ahad, 29-04-2018 (Nisfu Sya'ban)

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Kamis, 04 Oktober 2018 | 01.37

Foto : Bersama Tuan Guru Kiyai Muhammad Bakri Alwi
Muqodimah
Alhamdulillaah, bulan ini adalah bulan Sya'ban, besok malam, Senin Nisfu Sya'ban (pertengahan bulan sya'ban).

Sebagaimana lazim bagi kita ikhwan TQN Suryalaya amalannya ada yang Harian, yaitu sholat fardhu dan sholat-sholat sunnah, dzilir setelah sholat.
Ada amalan Mingguan, yaitu selain amalan yang sudah umum, ada yang khusus yakni Khotaman.
Kemudian ada amalan Bulanan, yaitu Manaqiban. Dimana salah satu rangkaian hidmat amaliyah ialah TANBIH dari ABAH SEPUH yang berisi nasehat untuk keselamatan Dunia dan Akhirat. Sabda Rosululloh Saw. "Barang siapa selama 40 hati tidak mendengarkan nasehat Ulama, maka hatinya akan mengeras, sehingga sulit untuk menerima nasehat tentang kebenaran".
Selanjutnya, ada amalan Tahunan, diantaranya selain yang sudah umum, ialah SHOLAT SUNNAH NISFU SYA'BAN sebanyak 100 Rakaat yang dilaksanakan mulai Maghrib berjamaah sampai dengan selesai, insya Alloh besok malam akan dilaksanakan di Musholla ini.

Di antara sholat sunnat yang termasuk ke dalam yang disunatkan berjamaah ialah sholat sunnah Nisfu Sya'ban, yakni sholat sunat pada tengah-tengah bulan sya'ban (ruwah).  "Sya'ban syu'batun khoiron katsiriin", artinya "Cabang-cabang kebaikan". Sholat sunat nisfu sya'ban adalah sholat sunat yang terbanyak rakaatnya dibandingkan dengan sholat sunat lainnya, yakni 100 rakaat.
Hikmahnya, semakin banyak sholat maka semakin dekat kepada Alloh sehingga selalu INGAT kepada-NYA.

Pada tanggal 15 Sya'ban semua umat manusia ditutup "Buku" (catatan perjalanan hidup) setahun yang lalu, dan dengan sendirinya kita memulai lagi lembaran buku tahunan untuk masa yang akan datang.
Kelak buku catatan itu akan dibuka pada hari Kiamat, dimana semua umat manusia akan mempertanggung jawabkan seluruh amal perbuatannya, sebagaimana Firman Alloh falam QS. Al Jaatsiyah : 28 sbb:
"Wa taraa kulla ummatin jaatsiyatan, kullu ummatin tud'aa ilaa kitaabihaal yauma tujzauna maa kuntum ta'malauuna". Artinya, "Dan pada hari itu kamu lihat tiap-tipa umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk melihat buku catatan amalnya. Pada hari itu ku diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan".

Pada malam nisfu sya'ban sangat baik bagi kita untuk mengintrospeksi diri, menghitung-hitung diri sebelum kita dihitung, sebagaiman Sabda Sayyidina Umar ra. "Haasibu antu hasibu" (Hitunglah dirimu senelum dihitung). Adapun keistimewaan malam nisfu sya'ban diriwayatkan dari Sahabat Hasan ra. dalam kitab Al ghunyah Lithoriqi al Haqq, sbb:
  1. Sesungguhnya bagi orang-orang yang mengamalkan sholat nisfu sya'ban, maka Alloh akan melihat kepada orang tersebut 70 kali penglihatan. Dan setiap penglihatan mencukup 70 keperluan kepada orang tersebut.
  2. Barang siapa yang membaca shalawat pada malam nisfu sya'ban, maka para malaikat mendoakan sampai hari kiamat agar orang itu diampuni segala dosanya. Sebagaimana dabda Nabi: "Sholaatukum 'alayya majaaqotun".(Shalawat yang kamu baca bagiku, itu menghilangkan segala dosa-fosamu).
  3. Para malaikat menyeru: "Untung sekali bagi orang-orang yang ruku', sujud, berdoa, berdzikir dan membaca al Quran sedikitnya surat Yaasiin 3 kali pada malam nisfy sya'ban sampai terbit fajar, sehingga Alloh membebaskannya dari siksa Api Neraka. Sabda Nabi : "Yaasiin qolbu al Quran" (Yaasiin itu jantungnya al Quran).
  4. Sungguh tak ternilai harganya, karena pada malam itu Alloh membuka 300 pintu rahmat. Dan Alloh memberi ampunan bagi orang-orang yang bertobat kepada-Nya, serta Alloh menurunkan Maghfiroh (Pengampunan) pada malam nisfu sya'ban bagi orang-orang yang melaksanakan sholat sunat sebanyak-banyaknya.

Hadits tentang sholat sunat Nisfu Sya'ban:
"Fa ammasholaatul waaridatu fii lailatinnishfion sya'baana fa hiya miiatu rok'atin bi alfi marrotin qulhuwallohu ahadun fii kulli tok'atin bi 'asyroo marrootin wa tusammaa haadzihish sholaattul khoiri".
Artinya, "Adapun sholat yangbkewarid di dalam nisfu sya'ban banyaknya 100 rakaat, 1000 Qulhuwallohu Ahad. Tiap-tiap rakaat 10 kalo Qulhuwallohu Ahad. Sholat ini diberi nama  "Sholatul Khoiri", yakni sholat yang sebaik-baiknya".

Ikhwan wal akhwat ra.
Demikianlah keterangan tentang amaliyah nisfu sya'ban. Namun meski demikian, masih ada sebagian umat Islam yang mempermasalahkan amalan ini, mereka menuduh bid'ah, karena menurut merwka tidak ada contoh dari Nabi maupun Sahabat, sehingga perlu dijauhi, dilarang untuk mengamalkannya, sebab Nabi bersabda : "Kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalati finnaar" (Setiap perkara baru itu sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di Neraka).

Perlu saya jelaskan disini, bagaimana sesungguhnya cara memahami hadits tersebut. Kullu bid'atin, itu bukan berarti mencakup semuanya yang baru? akan tetapi ada kata sifat yang dibuang, yaitu kata sifat dari bid'ah, sebab bid'ah itu isim (kata benda) yang memiliki sifat, sifatnya bisa "baik bisa buruk". Jadi kalimat tersebut seyogyanya dipahami Kullu bid'atin sayyi'ah atau hasanah, dan yang paling tepat adalah sayyi'ah (buruk/jelek). Jadi arti sesungguhnya dari hadits tersebut adalah: "Setiap perkara baru yang buruk itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka". Hanya bid'ah yang buruk yang sesatAdapun bid'ah yang "baik", itu tidaklah sesat, maka Imam Sayfi'i membagi bid'ah menjadi 2 (dua) yakni: Bid'ah yang "Buruk" dan Bid'ah yang "Baik". Bid'ah buruk maka dilarang, sedang bid'ah yang baik diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil syar'i yang melarangnya. Hal ini berdasarkan hadits :
"Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man 'amila bihaa ba'dahu min ghairi an yanqusha min ujuurihim syai-un. Wa man sanna fil islaami sunnatan sayyi'atan kaana 'alaihi wizruhaa wawizru man 'amila bihaa min ba'dihi min ghairi an yanqusha min auzaarihim syai-un".
Artinya, “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).

Nah, begitulah cara memahami hadits tersebut, untuk memahaminya dibutuhkan ilmu, jika kita merasa kurang ilmunya, belajarlah kepada orang yang berilmu (Ulama).
Pemahaman yang serupa juga dalam memahami Firman Alloh Swt. : "Ammassafiinatu fakaanat limasaakiina ya'maluuna fil bahri, fa arodtu an a'iibahaa wakanaa waroo ahum malikan ya'khudzuhu kulaa safiinatin ghoshbaa".
Artinya, "Adapun bahtera itu kepunyaan orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada raja yang merampas setiap bahtera". (QS. Al Kahfi : 79).

Perhatikan!
Kata "kulla safiinatin", itu bukan berarti setiap kapal/bahtera, akan tetapi ada kata yang "dibuang" yakni "Jamiilatun" (Bagus). Artinya, hanya kapal yang bagus yang akan dirampas oleh raja, sedangkan kapal yang rusak (dirusak Nabi Khidir) tidak akan dirampas oleh raja karena raja tidak tertarik dengan kapal yang rusak.

Hadirin yang berbahagia,
Riwayat di atas ada di dalam Al Quran Surat al Kahfi ayat 65-82. Ketika Nabi Musa as. berguru kepada Nabi Khidir as. Dikisahkan Nabi Musa as. berkata: "Hal attabi'uka (bolehkan aku mengikutimu?) supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?. Nabi Khidir as. menjawab: "Lan tastathii'a ma'iya shobron" (Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku). Dan bagaimana kamu dapat  sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu".
Musa berkata: "Insya Alloh kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan apapun".
Nabi Khidir berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?". Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang besar.
Khidir berkata: "Bukankah aku telah berkata bahwa, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
Nabi Musa berkata: "Janganlah engkau marah akan daku disebabkan aku lupa (akan syaratmu) dan janganlah engkau memberati daku dengan sesuatu kesukaran dalam urusanku (menuntut ilmu)".

Kemudian keduanya berjalan lagi sehingga apabila mereka bertemu dengan seorang pemuda lalu dia (Khidir) membunuhnya. Nabi Musa berkata: "Patutkah engkau membunuh satu jiwa yang bersih, yang tidak berdosa karena telah membunuh orang?" Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perbuatan yang mungkar!
Dia (Khidir) menjawab: "Bukankah, aku telah katakan kepadamu, bahwa engkau sekali-kali tidak akan dapat bersabar bersamaku?"
Nabi Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu perkara sesudah ini, maka janganlah engkau jadikan daku sahabatmu lagi; sesungguhnya engkau telah cukup mendapat alasan-alasan berbuat demikian disebabkan pertanyaan-pertanyaan dan bantahanku".

Kemudian keduanya berjalan lagi, sehingga apabila mereka sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta makan kepada orang-orang di situ, lalu orang-orang itu enggan menjamu mereka. Kemudian mereka dapati di situ (dalam negeri itu) sebuah tembok yang hendak runtuh, lalu dia (Khidir) menegakkan dinding itu. Nabi Musa berkata: "Jika engkau mau, tentulah engkau berhak mengambil upah mengenainya"!
Dia (Khidir) menjawab: "Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya".

Lalu Nabi Khidir as. menjelaskan alasan-alasan dari perbuatannya yang Nabi Musa as. tidak sabar kepadanya: "Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang-orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat".
"Adapun pemuda itu, kedua ibu bapaknya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahwa dia akan mendesak mereka (ibu-bapaknya) melakukan perbuatan yang zalim dan kufur". Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka menggantikan bagi mereka anak yang lebih baik dari padanya (soleh) tentang kebersihan jiwa dan lebih mesra kasih sayangnya".
Adapun tembok rumah itu, adalah kepunnyaan dua orang anak yatim di negeri itu dan di bawahnya ada harta terpendam kepuyaan mereka dan ayahnya adalah orang yang sholeh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka) dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut kemauanku sendiri. Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.

Demikianlah Nabi Musa dan Nabi Khidir telah memberikan pelajaran kepada kita umatnya tentang adab dalam menuntut ilmu Hakikat. Ilmu hakikat berbeda dengan ilmu syariat, dimana ilmu syariat adalah yang mengatur secara lahiriah sedang ilmu hakikat mengatur tataran batiniah.

Dari kisah ini maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa tidaklah semua yang terlihat secara lahiriah salah itu adalah salah, melainkan harus kita pahami hakekatnya melalui bimbingan seorang Guru yang Mursyid. Kalau Nabi saja masih mau untuk mencari guru, apalagi kita yang bukan siapa-siapa? 

Haasibu antu hasibu, hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung!
Wallahu'alam bishshowab.

Mahmud J. Al Maghribaen
Hidmat Ilmiah Manaqib Panongan, Ahad, 29-04-2018 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger