Latest Post

TEMALAM DI BUMI BADUY DALAM

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Rabu, 20 September 2017 | 03.19

"TEMALAM DI BUMI BADUY DALAM"
Alhamdulillaah, cerita ini aku awali dengan rasa syukur yang tak terhingga karena dengan izin Alloh telah diperjalankan oleh pengersa Abah Aos dan diberi kesempatan untuk bisa menginap di Bumi Baduy Dalam, kampung Cikeusik, Desa Kenekes, Kec. Leuwidamar, Kab. Lebak, Prov. Banten.
Perjalanan ini sudah direncanakan sebelumnya oleh panitia (ikhwan Banten). Rombongan dibagi menjadi dua Kafilah. Kafilah-1, dibatasi hanya 50 orang untuk menginap di 10 rumah Baduy Dalam. Kafilah ini berangkat hari Sabtu, 09 September 2017, dan sampai di pemukiman Baduy Dalam menjelang Maghrib. Kemudian menyusul kafilah-2 dengan jumlah orang yang lebih banyak, diperkirakan sekitar 115 orang yang diberangkatkan pada hari Minggu, 10 September 2017 memasuki tanah Baduy dan langsung menuju Huma, lokasi tempat manaqib.
Kami berlima, ikhwan dari Panongan berangkat dari Panongan Tangerang menuju titik kumpul. Sesampainya di tempat titik kumpul, yaitu di Masjid Nurul Iman, Desa Pasir Bungur, Kec. Cimarga, Kab. Rangkas Bitung, ternyata jumlah ikhwan yang hadir sudah banyak, diperkirakan jumlahnya lebih dari 75 orang (melebihi quota), oleh karena itu sesaat sebelum menunaikan sholat Dhuhur berjamaah, sambil berjalan masuk masjid Kiyai Abdul Manan (salah satu Wakil Talqin Abah Aos di Banten) berbisik, "Kiyai, terpaksa kiyai harus tinggal di perbatasan untuk memimpin ikhwan yang tidak bisa masuk ke dalam, nanti ba'diyah Isya' sekalian bisa langsung memberikan talqin dzikir".
Selesai sholat, saya langsung berkoordinasi dengan ikhwan dari Panongan, dan kami sepakat bahwa kami semua akan menunggu di perbatasan dan mempersilahkan ikhwan lainnya untuk masuk ke wilayah Baduy Dalam. Namun, sesampainya di perbatasan ternyata kami berlima diputuskan untuk tetap masuk untuk menginap di Baduy Dalam oleh Panitia karena memang sudah terdaftar sebelumnya. Lalu berangkatlah kami Kafilah-1 yang berjumlah 50 orang menuju Baduy Dalam. Setelah menempuh perjalanan kaki naik turun bukit lebih kurang 1 (satu) jam, sampailah kami di Bumi Baduy menjelang Maghrib tiba. Saat memasuki kampung ini, kampung terkesan sepi, rumah-rumah banyak yang tertutup bahkan terkesan tak berpenghuni, hanya terdapat beberapa anak-anak Baduy yang duduk di depan rumah sambil menatap kami dengan polos. Kami pun terus masuk ke dalam melewati celah-celah rumah, di bawah atap-atap teras rumah yang terbuat dari daun kelapa yang dikeringkan. Terdapat juga beberapa rumah yang sudah dihuni oleh wisatawan yang kebanyakan para wanita. Mereka duduk-duduk di teras (sorosoan), mereka menyapa kami, namun terkesan sangat berisik, berbeda kontras dengan warga Baduy yang kebanyakan diam.
Rombongan terus berjalan menyusuri rumah-rumah, dan sesampainya di tengah kampung, kami disambut oleh Jaro dan diatur untuk ditempatkan di dalam rumah-rumah yang sudah disediakan. Dengan cekatan Jaro berserta 2 orang pembantunya mengatur dan mengantarkan, "Silahkan, bisa 10 atau 20 orang, apakah cukup?", begitu ujarnya sesekali berbahasa Indonesia, sesekali mereka berbisik-bisik, tampak kecemasan dari mereka kalau-kalau masih ada rombongan yang belum mendapatkan rumah. Ternyata tidak seperti dugaan semula bahwa untuk menginap hanya dibatasi hanya 50 orang, namun ternyata boleh lebih, bahkan setelah kami sampaikan bahwa masih ada orang yang tinggal di perbatasan, mereka terkejut dan menawarkan untuk dijemput.
Jadilah akhirnya rombongan tersebar di beberapa rumah, ada yang berjumlah 5 orang ada juga yang 10 orang atau lebih, tidak kebetulan kami dari ikhwan Panongan akhirnya terkumpul dalam satu rumah. Setelah kami semua menaruh perbekalan, selanjutnya kami menuju sungai/kali untuk membersihkan diri, ada yang mandi, ada juga yang hanya sekedar membersihkan sebagian badannya, berwudhu dan bersiap melaksanakan ibadah amaliyah di masing-masing rumah, yaitu; sholat maghrib berjamaah, dzikir, khotaman, sholat-sholat sunnah, sampai dengan sholat isya' berjamaah, ba'diyah isya', dzikir, sholat sunnah lidaf'il bala'i, dan khotaman, lalu bermushofahah.
Alhamdulillaah, seluruh rangkaian amaliyah yang kami laksanakan ditonton/dilihat oleh tuan rumah, tuan rumah yang kami tempati ialah sepasang suami-istri muda yang belum mempunyai anak keturunan dan seorang kakak laki-laki dari sang suami, mereka bertiga melihat aktivitas ibadah yang kami lakukan, tak jarang mereka berdua berbisik-bisik, demikian juga istrinya yang sedang menyulut api dan memasak sesuatu di tungku, terkadang juga sambil duduk di belakang kami, dengan suara lirih sesekali terdengar, ikut menimpali percakapan suaminya yang bernama Hatak dan kakaknya yang bernama Jamak, mereka terlihat sangat akrab satu sama lain. Mungkin juga bagi mereka aktivitas ibadah kami bukanlah sesuatu yang berharga, atau mungkin mereka juga heran dengan sholat kami dan dzikir kami, sebab mereka sendiri telah memiliki keyakinan dan tata cara ibadahnya sendiri. Dalam hatiku berbisik, "Oh beginilah tantangan dakwah para Wali Songo, dimana mereka datang ke Nusantara menyebarkan ajaran Islam, sedang di Nusantara sendiri sudah memiliki agama dan kepercayaan, seperti Hindu, Budha, Kejawen, Wiwitan, dll. Diajak sholat mereka sudah sembahyang, dikenlakalkan Alloh mereka sudah punya Tuhan, dikenalkan Nabi mereka sudah punya Nabi, dikenalkan Mursyid mereka sudah punya Pu'un, dll".
Selesai amaliyah, dengan cekatan kang Hatak mengambil posisi duduk menghadap kami, sejenak kemudian ia pun menawarkan kepada kami berlima untuk makan seraya mengeluarkan bakul yang penuh dengan nasi dan sepiring ikan asin. Di atas bakul nasi terdapat daun pisang yang digunakan untuk mencengkam nasi ke daun pisang yang digunakan sebagai piring (meskipun mereka juga menyediakan piring beling). Akhirnya ikhwan makan bersama, sedang saya tidak, karena memang belum terasa lapar. Tuan rumah juga ikut makan, sedang istrinya makan sendiri di kamar yang juga dijadikan dapur (tungku). Tidak ada lauk selain ikan asin, tidak ada garam, cabai, tomat, apalagi sambal.
Selesai makan kami melanjutkan percakapan. Banyak hal yang kami tanyakan, semuanya dijawab dengan baik oleh Hatak. Dia benar-benar melayani dengan sepenuh hati, tidak ada satu pun pertanyaan dari kami yang tidak dijawab, meskipun terkadang karena keingintahuan kami bertanya berbarengan, sehingga ia terlihat bingung mana dulu yang harus dijawab, namun perlahan tapi pasti semuanya dijawab dengan jujur, jauh sekali dari kesan sifat munafik atau politis, semua jawaban polos dan jujur.
Ditengah-tengah percakapan, ada seorang ikhwan yang ingin buang hajat, yang mengharuskannya ke 'kali', dengan sigap tuan rumah berdiri menawarkan diri untuk mengantarkan ke 'kali'. Ternyata ikhwan lainnya juga mau ikut. Tinggallah saya sendiri yang bingung, sebab di dalam rumah hanya ada istri Hatak, melihat itu Hatak meyakinkan saya, ia berkata, "Bapak tidak apa-apa tidak ikut, di rumah saja tidak apa-apa", katanya. Tapi akhirnya untuk menjaga dari hal-hal yang tidak baik, saya putuskan untuk menyusul rombongan yang masih terlihat di ujung kampung, saya berlari kecil di atas tumpukan bebatuan dengan bertelanjang kaki sambil berteriak kecil memanggil, mereka pun akhirnya menunggu saya. Lalu kami menuju ke kali bersama-sama menyusuri jalan yang penuh dengan bebatuan dibawah keremangan cahaya lampu senter yang kami bawa.
Sepulang dari 'kali' kami pun melanjutkan obrolan. Terlihat dan terkesan bahwa orang Baduy memiliki kerahmah-tamahan, disiplin, jujur, sama sekali tak terlihat ada gurat-gurat kemarahan. Sehingga saya pun tertarik bertanya, "Apakah sesama saudara pernah ribut atau berantem?", dijawab, "Tidak". Betul, mereka sungguh santun, jauh sekali dari sifat kasar. Tidak seperti kebanyakan orang di luar sana, yang penuh dengan amarah dan kata-kata kotor, termasuk saya ini. Sepanjang malam tak terdengar suara pertengkaran ataupun teriakan anak-anak. Semuanya hening dan syahdu. Di sela-sela obrolan, kami pun sempat bertanya, "Apa yang menjadi agama mereka?", dijawab oleh Hatak, "Agama kami adalah kepercayaan Sunda Wiwitan, Nabi kami adalah Adam, pemimpin kami adalah Pu'un. Kami tidak pernah sekolah, hanya diajari adat oleh orang tua kami. Kami tidak berani untuk melanggar aturan adat, kalau sampai melanggar maka akan muncul rasa menyesal selamanya", begitu ia memaparkan.
Itulah makanya, saya tetap menahan diri untuk tidak berfoto bersama, ketika saya mencoba beberapa kali mohon izin untuk berfoto bersama di dalam rumahnya, ia tetap dengan lembut namun tegas mengatakan, "Tidak boleh", itu tentu atas perintah Pu'un mereka. Walaupun pada keesokan harinya, ada ikhwan yang baru datang, setengah memaksa mengajak mereka berfoto di dalam rumahnya, saya tetap menahan diri untuk tidak ikut difoto bersama tuan rumah meskipun mereka tidak menolaknya, kecuali di luar rumah dengan warga Baduy lainnya. Sebenarnya mereka hanya memperbolehkan ambil gambar di luar kampung, diperbatasan. Namun untuk rombongan kami ikhwan TQN Pondok Pesantren Suryalaya wilayah Banten mereka memperbolehkan di Huma lokasi Manaqib.
Memang demikianlah, mereka tidak pernah menolak suatu permintaan. Termasuk ketika disela-sela perbincangan, Hatak menunjukkan dua buah Bedoq (Golok) yang merupakan pakaiannya sehari-hari, ketika awalnya saya tanya, "Apakah golok ini dijual?". "Tidak, silahkan beli di Baduy luar", katanya. Namun, setelah berbincang panjang, ketika ingin rebahan dan golok akan disimpan, kembali saya meminta agar golok tersebut bisa diberikan kepada saya sebagai kenang-kenangan. Saya katakan, "Bahwa saya ingin golok yang dari tangan orang Baduy Dalam, bukan beli golok yang didagangkan". Hatak menatap saya, lalu sambil tersenyum ia menganggukkan kepalanya tanda ia setuju, lalu saya tanya, "Berapa harganya?". Dengan senyum dia menjawab, "150 ribu, tapi 100 ribu saja sama Bapak". Alhamdulillaah, akhirnya saya juga membeli beberapa kerajinan Baduy, seperti Koja dan Langkan Putih yang merupakan ciri khas Baduy Dalam dengan tidak ada satupun barang yang saya tawar harganya.
Demikianlah gambaran singkat dari orang Baduy Dalam, mereka juga tidak berternak Sapi dan Kambing, bahkan mereka tidak boleh memakan daging Kambing sampai sekarang. Dalam hal pernikahan, mereka kebanyakan dijodohkan oleh orang tuanya sesama orang Baduy Dalam, bisa satu kampung Cikeusik, atau dengan kampung Baduy Dalam lainnya, yaitu kampung Cibeo dan kampung Cikertawarna. Karena ternyata Baduy Dalam itu terdiri dari tiga kampung, dan kampung Cikeusik adalah kampung yang tertua. Warga Baduy Dalam tidak boleh menikah dengan orang luar, kalaupun terjadi maka ia harus keluar dari Baduy Dalam dan tidak lagi diakui sebagai orang Baduy Dalam, meskipun itu sangat sulit bisa terjadi.
Tak terasa saking asik berbincang, malam semakin larut, saya pun sudah bersiap untuk merentangkan tubuh, tiba- tiba ada suara dari luar yang memberitahukan bahwa barusan ada warga Baduy yang meninggal. Saya pun bergegas keluar, bersama dengan salah seorang Wakil Talqin kami meluncur ke kediaman yang terkena musibah walau hanya berdiri di depan rumah. Terdengar suara tangisan pilu yang menyayat hati, sementara warga Baduy berkerumun di dalam rumah sampai ke teras rumah, mereka hanya duduk dan diam. Kami pun demikian hanya diam menatap jauh di dalam lubuk hati, muncul rasa iba dan kasihan dengan orang Baduy yang karena keluguannya, mereka tidak mengenal ajaran Islam, agama samawi yang diturunkan oleh Alloh SWT. sebagai petunjuk bagi manusia dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Ditengah lamunanku, tiba-tiba ada suara halus menyapaku, "Eh bapak kesini juga", spontan saya menoleh, tenyata Hatak yang menyapaku. "Iya, barangkali bisa meringankan", jawabku. "Sudah, Bapak pulang saja istirahat, tidak apa-apa", katanya sembari mengantarkan kami pulang ke rumah.
Kali ini aku benar-benar merebahkan punggung untuk tidur, masih terdengar sayup-sayup suara tangisan memecah keheningan malam, sesekali terdengar lolongan anjing menggonggong, memang dengan suasana di kampung yang sunyi dan temaram seperti ini, malam terasa cepat larut, kemudian kami pun tertidur. Tengah malam aku terbangun, karena mendengar percakapan dua orang ikhwan dengan Hatak dan Jamak, ternyata mereka masih belum tidur, aku melihat jam di tanganku menunjukkan pukul setengah satu. Terasa damai, cuaca sejuk dan tidak ada nyamuk membuatku tertidur kembali. Menjelang dini hari aku terbangun, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 03 dini hari. Kuambil dua gelas air aqua, kemudian aku keluar, tak satupun terlihat ada orang di luar, diteras aku mengambil air wudhu dari gelas aqua, belum selesai terdengar rombongan di rumah sebelah keluar dengan membawa senter untuk ke kali, dan aku pun akhirnya ikut ke Kali.
Sepulang dari Kali aku bergegas melaksanakan qiyamul lail sambil menunggu waktu shubuh tiba. Kamipun kembali berjamaah sholat shubuh, selesai dzikir kemudian tawajuh menunggu waktu isro' tiba, setelah isro', istiadzah, istikhoroh dan isti'anah, lalu lanjut dengan sholat dhuha. Jam sudah menunjukkan pukul 07 pagi, kami pun bermushofahah. Melihat rangkaian ibadah amailyah yang kami lakukan sudah selesai, kembali Hatak mempersilahkan kami untuk sarapan yang sudah disiapkan dengan menu yang sama yaitu nasi sebakul dan sepiring ikan asin. Sedang aku sendiri sejak siang sampai dengan pagi ini tidak terasa lapar sehingga aku tidak ikut makan, melainkan hanya makan sebuah roti tawar yang aku bawa.
Menjelang jam 08 pagi, kamipun bergegas menuju Huma lokasi yang akan diadakan manaqiban. Menyusuri jalan yang berada di belakang kampung dengan hutan lebat, setelah melalui jalanan yang menanjak bukit, sampailah kami di lokasi huma, dimana di sana telah menunggu Oyot Jaro masyarakat Baduy. Setelah kumpul kami pun mulai melaksanakan amaliyah manaqib yang dihadiri oleh kurang lebih 145 orang. Selesai manaqib kami semua kembali ke kampung untuk makan siang dan beramah tamah dengan masyarakat Baduy, terutama kafilah-2 yang belum berinteraksi dengan masyarakat Baduy. Saat interaksi dengan masyakat Baduy inilah, entah mengapa aku merasa menjadi tuan rumah, membantu mengawasi dagangan kerajinan orang Baduy agar tidak hilang. Banyak yang melihat dagangan, ada yang membeli ada yang cuma melihat-lihat. Ada juga yang karena ketidaktahuannya setengah memaksa untuk memiliki barang pribadi yang dipakai oleh warga Baduy. Terlihat jelas sebuah ketamakan, keserakahan nafsu, juga sebaliknya juga juga terlihat keindahan akhlak, kesemuanya dipertontonkan, seperti beberapa ikhwan dan akhwat yang dengan penuh perhatian memberikan hadiah berupa uang dan makanan kepada masyarakat Baduy, "Ini ada uang mohon diterima, khawatir yang lain lupa", ujar seorang ibu-ibu tua kepada salah seorang istri warga Baduy. Alhamdulillaah, mata ini diperlihatkan oleh-Nya sehingga mampu melihat bermacam-macam peristiwa, yang kesemuanya mengandung pelajaran yang berharga.
Saya memaknai perjalanan ini adalah bagian dari proses belajar disamping berdakwah. Sebagaiman Firman Alloh SWT. :
Yaa ayyuhannaasu, innaakholaqnaakum min dazakin wa untsaa. Waja'alnaakum syubuuan wa qobaa ila lita'aarofuu. Innaa akroomakum indallohi atqookum. Innalloha haliimun khobiirun
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.

Yah, adanya perbedaan suku dan bangsa, ada yang berbadan besar dan kecil, ada kulitnya putih ada yang hitam, rambut yang lurus dan rambut keriting, bahasa yang bemacam-macam, geografi yang berlainan, kesemuanya itu agar kita saling mengenal satu sama lainnya. Mengenal dalam arti kita saling menyapa, memahami adat-istiadat, keperibadian, budaya kehidupan sehari-hari untuk salaing belajar. Namun yang lebih mulia di Sisi Alloh ialah orang yang paling bertaqwa diantara manusia. Taqwa itu karena sudah ada iman di dalam dada. "Attaqwa hahuna" (Taqwa itu di sini). Orang-orang yang bertaqwa lah yang menjadi sebaik-baik golongan atau umat, sebagaimana Firman Alloh SWT. :
Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnaasi, ta'muruuna bil ma'ruuf wa tanhauna 'anilmunkari wa tu'minu billaahi.
Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Alloh.

Boleh jadi orang sudah beramal ma'ruf dan bernahi munkar, tetapi ia tidak beriman kepada Alloh, sebaliknya ia sudah beriman kepada Alloh akan tetapi masih belum tampak yang ma'ruf dan juga tidak mencegah dari yang munkar. Sehingga kita belum bisa dikategorikan sebagai umat yang terbaik di antara umat di dunia ini. Islam tidaklah hanya sekedar ajaran Tauhid, tetapi juga menyangkut masalah syariat dan ihsan. Ketiga-tiganya harus tampil di dalam diri seorang mu'min yang sejati. Ihsan adalah akhlak, yaitu akhlak kepada Alloh, akhlak kepada sesama manusia, dan akhlaq kepada lingkungan. Akhlak kepada Alloh (Hablumminalloh), yaitu semua rangkaian aktivitas ibadah vertikal menyembah Alloh seakan-akan melihat-Nya, jika tidak mampu melihat maka engkau dilihat oleh-Nya. Akhlak kepada sesama manusia (Hablumminannaas), yaitu hubungan baik dengan sesama manusia. Hidup rukun dan damai, salaing harga menghargai, hormat menghormati, bergotong royong, tidak timbul kekecewaan dan keretakan, tetapi janganlah ikut campur. Akhlak kepada lingkungan, yaitu menjaga alam sebagai anugerah Alloh, tidak merusak.
Sebagaimana Firman Alloh SWT. :
Tusabbihuu lahussamaa waatissab'u wal ardhu. Wa inmin syai-in yusabbihuu bihamdihii. Walaa killaa tafqohuuna tasbiihahum. Innahuu kaana haliiman ghofuuron.
Tujuh petaka langit, bumi dan apa yang ada di dalamnya bertasbih kepada Alloh. Tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih dengan memuji-Nya. Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Alloh Maha penyantun lagi Maha Pengampun.

Pendek kata, akhlak yang baik itu ialah, Alloh hadir di setiap aktivitas perbuatan kita, baik saat beribadah kepada Alloh maupun saat sedang bermu'amalah kepada sesama manusia dan lingkungan. Sabda Rosululloh Saw. "Sebaik-baik umatku ialah yang paling baik akhlaknya". Dan orang yang paling sempurna akhlaknya ialah Nabi Muhammad Saw. 
Firman Alloh SWT. :
"Wainnaka khuluqul 'azhiim"
Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berbudi pekerti yag agung

Maka kalau ingin mencontoh akhlak yang baik ialah, contohlah akhlak Rosululooh Saw. Sebagaimana Firman AllohSWT. :
"Laqodkaana lakum fii rosuulillaahi ustwatun hasanah. Laman kaana yarjulloha wal yaumil aakhiro wadzaakarolloha katsiiron"
Sungguh pada diri Rosululloh itu terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang senantiasa menggantungkan diri kepada Alloh dan percaya pada hari akhir dan dia banyak menyebut Alloh.

Mencontoh Rosululloh Saw. itu tidak hanya sekedar informasi, akan tetapi harus disertai dengan praktek. Kita butuh Figur yang sudah mencontoh Rosul, yaitu orang yang melihat Rosul, dan orang yang melihat orang yang melihat Rosul, dan orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihat Rosul, terus hingga sampai dengan sekarang. Siapakah mereka? Mereka ialah; Sahabat, Tabi'in, Tabi'it Tabi'in dan seterusnya sampai kepada khalifah yang mursyid. Alhamdulillaah, kita sudah mendapatkan seorang Guru yang Mursyid, yang senantiasa membimbing kita secara dhohir dan batin untuk wushul kepada Alloh. Karena hanya orang yang mendapat petunjuklah yang dapat bertemu dengan Mursyid.
Sebagaiman Firman-Nya :
Man yahdhillaahu fa huwal muhtadi, waman yudhlil falan tajida lahuu walyan mursyidan
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.

Catatan singkat di Bumi Baduy Dalam, 9-10 September 2017
Mahmud J. Al Maghribaen"TEMALAM DI BUMI BADUY DALAM"
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger