Latest Post

PENCERAHAN SENGKETA PILPRES 2019

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Minggu, 23 Juni 2019 | 06.26

BAGIAN I
Analisa Sengketa Pilpres 2019 di MK
Oleh : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si

Terkait sengketa Pilpres di MK, akhirnya saya tertarik untuk mengulasnya sedikit. Tujuannya agar publik sedikit bisa memahami proses hukum di MK yang sedang berlangsung.

Oleh karena saya bukanlah pakar hukum, maka saya akan mengulasnya sedikit saja, juga dengan menggunakan bahasa yang sederhana agar juga mudah untuk dipahami.

Sebelumnya, perlu dipahami bahwa Putusan Hakim MK itu bersifat Final. Maksudnya tidak ada lagi upaya hukum setelah Majelis Hakim MK memberikan Amar Putusannya. Artinya, tidak ada upaya Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Putusan langsung berkekuatan tetap (inkrah).

Dalam berperkara di MK, Penggugat itu disebut Pemohon, sedang Tergugat itu disebut Termohon. Selain Pemohon dan Termohon, ada juga Pihak-Pihak Terkait. Dalam hal ini, Pemohon adalah Paslon 02 (Prabowo-Sandi), Termohon adalah KPU dan Bawaslu, sedang Pihak Terkait adalah Paslon 01 (Jokowi-Ma'ruf).

Proses Perkara
Pemohon mendaftarkan Gugatan ke MK, setelah diverifikasi, lalu MK menetapkan dan menggelar sidang dengan memanggil para pihak. Agenda pertama mendengarkan Gugatan dari Pemohon. Kedua, mendengarkan jawaban terhadap gugatan (Duplik) oleh Termohon atau pun oleh Pihak Terkait.

Pada proses ini Para Pihak bebas berargumentasi, sanggah menyanggah, sementara Hakim mendengarkan. Artinya, pendapat Para Pihak pada pase ini belum tentu benar atau salah, sebab Hakim lah nanti yang menilai.

Kemudian sidang selanjutnya dengan agenda Pemeriksaan Saksi dan Pengesahan Bukti dan mendengarkan keterangan Ahli.

Pada pase ini Para Pihak menghadirkan Saksi, Ahli dan Bukti. Saksi kemudian menceritakan apa yang diketahui, dialami, dan dirasakannya, serta menyampaikan Bukti-Bukti terkait. Demikian pula dengan Ahli, ia akan menerangkan apa yang menjadi pendapatnya selaku Ahli terkait perkara yang sedang berlangsung

Terhadap keterangan, bukti dan pendapat Ahli, Hakim dan Para Pihak kemudian akan menggali/memeriksa kebenaran kesaksian dan bukti yang disampaikan, termasuk dari segi kualitasnya. Saksi hanya memberikan keterangan sebatas yang dia ketahui, alami dan rasakan. Saksi tidak boleh beropini atau berpendapat, apalagi memberikan keterangan palsu. Sebab ia sebelumnya telah disumpah. Selain itu, terkait dengan keterangan palsu, ancaman pidananya 7 tahun penjara.

Selanjutnya adalah Putusan Hakim.
Majelis Hakim kemudian memberikan komentar dan pendapatnya terkait dengan gugatan, apakah mengabulkan seluruh atau sebagian dari tuntutan (Petitum), atau malah menolak seluruh gugatan dari Pemohon, yang dituangkan di dalam Amar Putusan.

Analisa saya terhadap gugatan Pilpres ini, pada akhirnya, Majelis Hakim akan menolak gugatan dari Pemohon. Karena materi gugatan kualitatif yang disampaikan itu sulit sekali bisa dibuktikan. Apalagi melihat kualitas kesaksian dan bukti yang disampaikan oleh saksi, sejauh ini sangatlah lemah. Sedang landasan hukum itu adalah, Filosofis, Yurudis, Historis dan Sosiologis.

Katakanlah, kalaupun terbukti, pasti akan dikesampingkan sebab demi kepentingan Bangsa dan Negara yang jauh lebih besar. Karena mempertimbangkan aspek Sosiologisnya itu.

Bersambung...

BAGIAN II
Filosofis, Yuridis, Historis dan Sosiologis
Oleh : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si

Menerangkan maksud dari hukum berlandaskan filosofis, yuridis, historis dan sosiologis, adalah sbb :

Yang pertama, Filosofis.
Maksudnya, filosofi adanya hukum itu untuk mencari keadilan. Dalam hal ini, hakim bisa saja mengabaikan peraturan perundang-undangan (yuridis), atau juga kesaksian dan bukti yg disampaikan.
Kalau peristiwa hukum itu menurut keyakinan hakim benar-benar terjadi, maka hakim akan memutus perkara berdasarkan keyakinannya.
Oleh karena itulah maka putusan hakim itu selalu diawali dg "Secara sah dan meyakinkan". Kata "Meyakinkan" itu merupakan kewenangan hakim untuk memutus perkara menurut keyakinannya, walau putusannya itu misalnya bertentangan dg undang-undang, kesaksian dan bukti. Untuk kewenangan ini sdh diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Maka ada istilah Hakim itu Wakil Tuhan.

Nampaknya, inilah yang diperjuangkan Dr. Bambang Cs. di MK dengan menyusun materi permohonan (gugatan) yang bersifat kualitatif, maksudnya lebih banyak narasi filosofi, yuridis, historis dan sosiologis, walau lebih banyak muatan filosofisnya. Mereka berharap bahwa hakim dalam memutus perkara dapat keluar dari tatanan hukum acara yang ada.

Yang kedua, Yuridis.
Maksudnya hukum itu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi hakim itu akan memutus perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Sebab di dalam hukum itu ada adagium "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" (Tdak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya). Namun, di sisi lain, hakim juga tidak boleh menolak perkara yang diajukan hanya karena tidak ada UU-nya, maka hakim bebas menafsirkan UU, inilah yang dimaksud "Penafsiran Hukum untuk Penemuan Hukum".

Nah, ini juga yang sekarang terjadi di MK, yaitu proses pembuktian, kesaksian dan pendapat-pendapat para Ahli. Terutama saksi Ahli dari Pihak Terkait. Kalau kita amati/ikuti akan menambah pengetahuan kita tentang hukum. Sangat menarik bukan...?

Yang ketiga, Historis.
Maksudnya, hukum itu berdasarkan pengalaman sejarah masa lalu, bagaimana peristiwa hukum terjadi, apakah pernah terjadi hal serupa sebelumnya, dan apa dampaknya atau pengaruhnya bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pengaruh hukum berdasarkan historis ini sangat kuat pada negara dengan sistem hukum Anglo Saxon atau Camon Law, seperti Amerika, Inggris dan negara-negara Barat. Dimana putusan hakim banyak berpegang pada putusan-putusan hakim sebelumnya, namanya Yurisprudensi.

Nah ini juga yang terjadi di MK saat ini, dimana hakim dan para pihak menggali dan mendalilkan perkara-perkara pemilu yang serupa pada tahun-tahun yang lalu. Meskipun sistem hukum kita menganut sistem Eropa Continental (Civil Law) bukan Camon Law, artinya hukum berdasarkan undang-undang (Hukum Positif). Kita, Indonesia mengadop sistem hukum yang dianut di Eropa. Namun demikian, sistem Civil Law memungkinkan hakim dapat juga memutus perkara dengan mempertimbangkan Yurisprudensi.

Terakhir adalah Sosiologis.
Maksudnya adalah dampak sosial yang akan terjadi terhadap amar putusan hakim. Jika menimbulkan gejolak, mengganggu ketertiban umum dan keamanan masyarakat, membahayakan negara, menimbulkan pembiayaan yang besar sehingga mempengaruhi perekonomian bangsa, perpecahan, dll. (Gejolak Sosial).

Menurut analisa saya, yang juga pernah saya tulis sebelumnya. Kemungkinan Amar Putusan Hakim akan mempertimbangkan hal-hal seperti ini, terutama dampak sosialnya. Bukanlah perkara mudah untuk membatalkan Keputusan KPU, mendiskualifikasi Paslon 01, menetapkan Paslon 02 sbg pemenang, menyelenggarakan pemilu ulang, dll. semua yg tertera dalam permohonan pemohon. Semuanya itu sudah kita lihat dan dengar fakta yang terjadi dalam persidangan. Walau kita memiliki penilaiannya masing-masing, oleh karena itu saya tidak memgomentari materi replik-duplik para pihak, tapi saya berpendapat hanya berdasarkan analisa hukum yang saya ketahui. Sehingga pada akhirnya, kalau lah permohonan (gugatan) itu terbukti tapi hanya kurang dari sebagian atau seluruhnya, maka hakim akan mempertimbangkan asas mudhorot dan manfaatnya bagi masyarakat bangsa dan negara. Apakah mudhorot lebih besar dari manfaatnya atau malah sebaliknya (dampak sosial).

Demikianlah penjabaran singkat apa yang saya ketahui tentang Asas-Asas yang mempengaruhi Hukum.

Akhirnya, kembali kepada hakim, hakim itu lebih cenderung bermadzhab apa? Filosofiskah? Yuridiskah? Historiskah? Atau Sosiologiskah? Namun tidak perlu khawatir, hakim di MK itu banyak, mereka berjumlah 9 (sembilan) orang, mayoritas Profesor di bidang Hukum, berintegritas dan memiliki latar belakang pendidikannya masing-masing. Mereka semua berhak dan berkewajiban memberikan pendapatnya berdasarkan latar belakangnya masing-masing yang nantinya akan dituangkan di dalam Amar Putusan. Mengapa jumlahnya sembilan, karena nanti kalau mereka berbeda pendapat, putusan akhirnya bisa mempertimbangkan suara yang terbanyak.

Wallohu'alam, semoga bermanfaat.

Bersambung....

BAGIAN III
Uraian Singkat Tentang Bukti dan Alat Bukti
Oleh : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si.

Lanjutan dari ulasan sebelumnya tentang Sengketa Pilpres 2019 di MK, berikut adalah penjelasan singkat tentang perbedaan Bukti dan Alat Bukti.

Beberapa hari terakhir ini publik melihat dan menyimak sidang sengketa Pilpres 2019 yang terbuka untuk umum. Hal yang tak kalah sengitnya adalah proses pengesahan barang bukti di sidang pengadilan.

Ada seorang teman mengatakan, "Wah kemaren ada hakim yang meminta bukti untuk dihadirkan, akhirnya ditarik saja oleh kuasa hukum Pemohon selesai sudah". Kesan yang saya tangkap, bahwa masih banyak orang yang belum paham tentang proses pembuktian dalam sebuah sidang peradilan.

Dari percakapan teman inilah sehingga mendorong saya untuk menulis secara singkat tentang proses pembuktian dalam sebuah sidang pengadilan.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, setelah materi gugatan diterima, pengadilan menetapkan sidang untuk mendengarkan materi gugatan, lalu pihak tergugat (termohon atau pihak terkait) menjawab materi gugatan dari penggugat (pemohon), lalu sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan para saksi (saksi dan ahli) dan pengesahan alat bukti.

Nah, pada proses pembuktian inilah penggugat (pemohon) harus mampu menghadirkan saksi dan barang bukti yang telah disampaikan atau dimasukkan ke dalam materi gugatan. Dalam sistem hukum di Indonesia, penggugat lah yang dibebankan untuk membuktikan tuduhannya, atau kalau dalam hukum pidana Jaksa lah yang harus membuktikan dakwaannya, tidak kepada terdakwa, sebab terhadap terdakwa ada asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Di dalam hukum pidana lah soal pembuktian ini diatur secara jelas, maka sangat pantas kalau ahli di bidang pidana yang dihadirkan dalam sidang di MK kemaren untuk didengarkan kesaksiannya terkait dengan proses pembuktian.

Namun sistem hukum di Indonesia, belakangan berkembang, selain Jaksa penuntut umum yang dibebankan untuk membuktikan tuduhan,  khusus untuk perkara-perkara korupsi dan pencucian uang, terdakwa juga dibebankan untuk membuktikan secara terbatas (pembuktian terbalik), maksudnya terbatas adalah, terdakwa hanya dibebankan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan perbuatan seperti apa yang dituduhkan kepadanya.

Nah perlu diketahui bahwa dalam proses pengesahan barang bukti di persidangan, Hakim itu bersifat aktif dalam perkara pidana dan bersifat pasif dalam perkara perdata. Maksudnya bersifat aktif adalah, terhadap tindak pidana hakim harus benar-benar menggali bahwa tindak pidana itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh terdakwa atau tidak dilakukan oleh terdakwa. Terhadap terdakwa ditanya secara detail, sebab ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum "Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah"; "Culpue Poena Par Esto" (jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan); "Fiat justitia ruat coelum" (sekalipun esok langit akan runtuh keadilan harus tetap ditegakkan)".

Dan yang dimaksud dengan hakim bersikap fasif ialah, itu terhadap sengketa perdata, dalam perkara perdata maka penggugat atau pemohon lah yang dibebankan terhadap pembuktian, ia harus aktif untuk membuktikan apa yang telah dituduhkannya. Sementara pihak tergugat atau pemohon dan pihak terkait juga bersifat pasif, maksudnya selama tuduhan itu tidak bisa dibuktikan oleh penggugat atau pemohon dalam sidang pengadilan, maka gak perlu cape-cape untuk menanggapi tuduhan tersebut, karena hakim sendiri sudah bisa menilai. Tetapi, karena perkara di MK bersifat Final, maka para pihak tetap memberikan dalilnya (tuduhan-sanggahan) agar hakim bisa memutus perkara sesuai fakta yang terjadi dalam persidangan.

Kalau hakim sudah memutuskan, terhadap putusan hakim tersebut tidak bisa dilakukan upaya hukum lagi, bahkan kalau pun putusan tersebut nyata-nyata keliru, hakim tidak bisa diadili karena putusannya, tapi hakim bisa diadili atas dugaan terkait dengan perilaku hakim. Dalam hal ini hakim dalam melaksanakan tugasnya di awasi oleh Komisi Yudisial (KY).

Nah apa beda Bukti dan Alat Bukti?
Bukti adalah, bukti yang sudah dimasukkan secara narasi oleh para pihak di dalam surat gugatan atau sanggahannya, kemudian diajukan oleh para pihak di dalam sidang pengadilan pengesahan  alat bukti. Bukti tersebut bisa berupa benda, bisa juga berupa keterangan saksi dan keterangan ahli. Khusus keterangan saksi, agar bisa menjadi alat bukti maka harus ada keterangan beberapa orang saksi yang berhubungan atau berkesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan saksi lainnya. Sebab kalau hanya satu saksi itu bukanlah saksi (Unus Testis Nullus Testis).

Seorang saksi harus benar-benar mengetahui dengan melihat dan merasakan. Jika ia tidak mengetahui dengan melihat dan merasakan, atau berdasarkan katanya-katanya, maka saksi itu disebut "Testimonium de Auditu" (kesaksian dapat didengar dari orang). Nah kesaksian model begini yang berdasarkan 'katanya' tidak bisa diterima sebagai alat bukti, tetapi ia boleh didengarkan oleh hakim.

Ketika bukti tersebut disahkan oleh hakim dalam sidang pengadilan, maka barulah bukti tersebut menjadi Alat Bukti. Alat bukti inilah yang akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut yang akan dituangkan di dalam amar putusannya.

Nah kiranya jelas bukan? Kita sudah melihat dan menyaksikan proses persidangan di MK, dan beberapa hari ke depan insya Alloh kita akan mendengarkan sidang dengan agenda pembacaan putusan hakim. Ketika palu hakim sudah diketok, maka perkara hukum telah selesai. Tinggal masalah politik. Itu sangat tergantung kepada kita semuanya, pilihannya ada  pada kita. Kalau kita menghomati hukum, bahwa negara kita adalah negara hukum, dimana hukum sebagai panglima, maka seyogyanya perselisihan sudah selesai, ada adagium dalam hukum "Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae" artinya, "POLITIK HARUS TUNDUK PADA HUKUM, BUKAN SEBALIKNYA.

Kita berdo'a kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, semoga putusan hakim nantinya akan membawa kemaslahatan bagi umat, bangsa dan negara. Dan kita kembali kepada persaudaraan se bangsa dan se tanah air, bisa hidup rukun, makmur dan sejahtera dalam bingkai NKRI yang sama-sama kita cintai. Aamiin Yaa Roobal'aalamiin.

Wallahu'alam bishshowab.

The end.

JEJAK PARA PUYANG

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Selasa, 11 Juni 2019 | 03.25

JEJAK PARA PUYANG
Oleh Mahmud J. Al Maghribi

Sebutan Puyang ini hanya dikenal oleh suku-suku yang ada di pedalaman Sumatera Selatan, seperti suku Ogan, Komering, Daya, Haji, Ranau dan Semende. Puyang adalah sebutan untuk orang-orang terdahulu di atas para kakek dan nenek. Jadi boleh dikata, puyang-puyang itu adalah para leluhur masyarakat di Sumatera Selatan.

Sebuah Gua di Sumur Kuning, Pauh
Di zaman dahulu, ketika manusia masih relatif sedikit, para puyang berpetualang untuk mencari tempat-tempat baru. Selain mencari tempat-tempat yang terdapat sumber penghidupan untuk bermukim, juga sudah menjadi sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu dan berkuasa, maka sudah barang tentu tujuan mereka berkelana adalah untuk menyebarkan pengaruh dari kekuasaannya.

Menurut satu keterangan, pada awalnya puyang-puyang datang dari wilayah luar pulau Sumatera, mereka datang ke bumi Sriwijaya menggunakan jalur laut. Setelah sampai, sebagian dari mereka ada yang menetap di bibir-bibir pantai, namun ada juga sebagian yang lain menyusuri pedalaman dengan mengikuti aliran-aliran sungai yang ada di bumi Sriwijaya. 

Sungai terbesar yang terdapat di kawasan ini  adalah sungai Musi. Sungai Musi terbentuk atas gabungan dari sembilan sungai-sungai besar, yaitu sungai komering, sungai rawas, sungai leko, sungai lakitan, sungai kelingi, sungai lematang, sungai lahan dan sungai ogan. Sungai-sungai itu kemudian bergabung ke sungai Musi sehingga menjadi satu sungai Musi.

Di Sumatera Bagian Selatan, dahulu pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya adalah sebuah kerajaan yang berkembang di Nusantara pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-13 Masehi. Masa kejayaan kerajaan ini menurut catatan sejarah terjadi pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-10 Masehi. Pada masa itu daerah kekuasaan kerajaan Sriwijaya meluas sampai ke negeri Thailand, Kamboja, Philipina, Sumatera dan Vietnam dan sudah mengadakan hubungan dagang dengan India, Arab dan Tiongkok. Salah satu peninggalan dari kerajaan ini adalah Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini berisi tentang seorang utusan kerajaan yang bernama Dapunta Hyang yang melakukan perjalanan suci atau sidhayarta dengan menggunakan perahu. Dengan diiringi 2000 pasukan, perjalanannya membuahkan hasil. Selain itu juga ditemukan beberapa prasasti lagi, di antara Prasasti Talang Tuwo. Prasasti ini ditemukan di kaki Bukit Seguntang di sekitar tepian utara Sungai Musi. Isi dari prasasti ini berisi doa-doa dedikasi dan menunjukkan berkembangnya agama Buddha di Sriwijaya.


Sumur Kuning, Puyang Sulillah
Terletak di Tengah Badas
Dari fakta-fakta sejarah singkat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada saat itu ialah Kerajaan yang beragama Buddha. Maka tak heran kalau cerita-cerita tentang Puyang di pedalaman Sumatera Selatan ini sangat dipengaruhi dengan narasi-narasi yang mirip dengan ajaran-ajaran dalam agama Buddha. Setidaknya, hal ini juga yang menjadi keyakinan kami bahwa, setelah mengunjungi (napak tilas) dari petilasan-petilasan beberapa puyang yang ada di aliran sungai selabung Marga Haji dan Ranau, kami menemukan ornamen-ornamen makam yang diyakini sebagai makam para puyang tersebut bercorak seperti bentuk atau bagian-bagian dari sebuah candi. Demikian pula dengan narasi atau cerita-cerita tentang puyang yang dituturkan secara turun temurun, banyak sekali narasinya yang mirip dengan ajaran Buddha atau Hindu.

Cerita tentang puyang adalah sebuah cerita rakyat (prosa) yang diceritakan secara turun temurun. Sosok Puyang, sangatlah menginspirasi bagi keturunannya, ia digambarkan sebagai sosok yang sangat berpengaruh, selain memiliki kesaktian yang tinggi, juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang baik. Oleh sebagian masyarakat, ajarannya diyakini masih dapat memberikan dampak, baik positif maupun negatif dari setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat setempat.

Itulah benang merah singkat tentang keberadaan cerita kepuyangan dan kerajaan serta keyakinan yang berkembang di Sumatera Selatan sebelum datangnya ajaran Islam. Karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, maka kami hanya mencoba menceritakan jejak para puyang yang ada di sepanjang aliran sungai Komering saja, itupun hanya sedikit yang kami ketahui.


Desa Sukaraja Banjar
Sungai Komering adalah anak sungai Musi terbesar dibandingkan dengan tujuh anak sungai musi lainnya. Para puyang kemudian menyusuri aliran sungai tersebut sehingga sampailah ke hulu sungai. Dari sungai Musi ke sungai Komering, lalu sungai ke Selabung terus ke hulu sampai ke ujung yaitu Danau Ranau. Di kemudian hari, di sepanjang sungai-sungai tersebut dikenal menetap suku-suku, di antaranya suku Komering, Daya, Haji, Semende dan Ranau.

Selain sungai Komering, sungai terbesar kedua adalah sungai Ogan. Suku-suku yang menetap di sepanjang sungai Ogan adalah suku Ogan Ilir dan suku Ogan Ulu. Hulu dari sungai Ogan adalah kawasan Bukit Barisan yang membentang dari Bengkulu hingga Danau Ranau terus ke Lampung. 

Puyang-puyang yang menelusuri area pedalaman dengan mengikuti aliran sungai Komering tersebut kemudian ada yang menetap ada juga hanya sekedar menancapkan kekuasaanya di daerah-daerah tertentu yang dilaluinya. Tempat-tempat tersebut kemudian berkembang dan dihuni oleh banyak orang yang merupakan keturunan dari puyang tersebut, kelompok keturunan ini kemudian menjadi suku-suku yang ada di sepanjang aliran sungai. Dan leluhur merekalah yang menjadi Puyang mereka.

Masing-masing suku memiliki puyang-puyangnya sendiri, walau tak jarang puyang-puyang tersebut menjadi puyang bersama dengan suku lainnya. Hal ini bisa dipahami mengingat kala itu para puyang adalah seorang pegembara, oleh karena itu maka sebagian dari mereka dikenal di beberapa tempat, dan riwayat tentang pribadi, kesaktian dan kekuasaannya diceritakan secara turun temurun, walau terkadang masing-masing suku memiliki versi ceritanya sendiri terkait sosok sang Puyang.

Salah Satu Lokasi Makam Puyang
Biasanya Petilasan atau Makam Puyang di tempatkan di puncak-puncak bukit yang ada di sepanjang aliran sungai. Namun menurut beberapa cerita, lokasi makam-makam puyang ini sebenarnya belum tentu ada jasad di dalamnya, kebanyakan di situ hanyalah jejak petilasan atau benda pusaka terkait dengan sang puyang yang dikuburkan di situ.


Lokasi para puyang yang ada di aliran sungai selabung di antarannya; Puyang Komering di Muaradua (pertemuan sungai selabung dan sungai saka), Puyang Wali di Sukaraja Banjar, Puyang Negara di Sukarami, Puyang Stembilung dan Puyang Naga Berisang di Kuripan, Puyang Peteri dan Puyang Mahligai di dusun Pauh, dan terakhir adalah Puyang Umpu Seranjangan dan Puyang Si Pahit Lidah di tepian Danau Ranau. Tidak semua puyang yang kami sebutkan, pernah kami kunjungi petilasannya, melainkan hanya sebagiannya saja, di antaranya :

Puyang Negara atau Rakian Sakti
Puyang Negara adalah salah satu Tiga Puyang Dihaji, ia merupakan Pimpinan di antara para puyang yang ada di Haji. Ia datang dari bumbungan matahaghi, datang ke Tanah Haji, dan mendirikan Suku Haji serta menetapkan hukum, bahasa dan adat-istiadat suku Haji yang diambil dari dasar sebuah laut silung. Menurut hemat kami, yang dimaksud dengan bumbungan matahaghi adalah arah matahari terbit, beliau datang dari arah matahari terbit yaitu dari arah timur dari tanah haji, artinya dari arah pulau Jawa. Sedang yang dimaksud dengan dasar laut silung, ialah jati diri suku Haji, termasuk watak, kebiasaan dan keadaan geografis suku Haji.

Penafsiran terhadap cerita sejarah di atas tentulah pendapat kami pribadi selaku generasi kemudian,  sehingga terkait cerita-cerita tentang puyang mesti disesuaikan dengan perkembangan zaman dan logika yang terukur. Sebab menurut hemat kami, sekarang sudah zaman yang terang benderang dengan diutusnya sorang Rosululloh Muhammad Saw. serta diturunkannya kitab suci Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dari petunjuk-petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil.



Puyang Mahligai
Puyang Puteri
Puyang Puteri adalah salah satu Puyang yang berjuluk Tiga Puyang Dihaji. Tiga Puyang Dihaji ialah; Puyang Negara, Puyang Naga Berisang dan Puyang Puteri. Namun ada juga yang menyebut Tiga Puyang Dihaji adalah; Puyang Negara, Puyang Naga Berisang dan Puyang Ratu Acih. Puyang Puteri Berdarah Putih adalah merupakan adik dari Puyang Negara atau dikenal dengan Puyang Rakian Sakti. Masing-masing Puyang ini memiliki Panglima yang tentu saja memiliki kesaktian yang tinggi. Puyang Puteri memiliki pengawal yang berjuluk Puyang Stembilung Sakti. Puyang Stembilung Sakti lah yang mendampingi Puyang Puteri berlayar dari tanah Jawa ke tanah Haji pada masanya. Petilasan Puyang Puteri berupa Sumur Puyang Puteri yang terletak di tengah-tengah badas pinggiran sungai selabung di seberang dusun Kota Agung, Pauh.

Puyang Mahligai
Puyang Mahligai adalah anak keturunan dari Puyang Peteri, lokasi petilasannya di atas sebuah bukit di pinggiran sungai selabung seberang dusun Pauh.

Puyang Stembilung Sakti
Puyang Stembilung Sakti adalah nama julukan yang dikenal oleh masyarakat Haji, khususnya bagi masyarakat Kampung Tengah di desa Kuripan Aji. Puyang Stembilung Sakti adalah salah satu leluhur Marga Haji yang datang dari pulau Jawa berlayar ke tanah Haji bersama dengan Puyang Puteru. Ia seorang laki-laki yang berparas tampan, konon ia juga memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Ia tidak suka mengganggu orang lain, namun kalau ia diganggu oleh orang lain maka orang tersebut akan menanggung sendiri akibat dari perbuatan buruknya.

Puyang Stembilung Sakti
Menurut cerita yang masih diyakini sebagian masyarakat, khususnya Kampung Tengah, bahwa keturunan dari Puyang Stembilung Sakti di setiap generasinya akan terdapat seorang Pria yang berparas Tampan. Seperti halnya juga dengan keturunan dari Puyang Puteri di desa Pauh, bahwa akan ada seorang Wanita yang berparas cantik jelita di setiap generasinya. 

Puyang Puteri berparas cantik jelita dan Puyang Stembilung Sakti berparas tampan menawan. Oleh karena itu ketika tengah berlayar dari pulau Jawa, keduanya kemudian mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian; kita dua sebuai alai-alai anak cucung kita ndang sebudi seakalan (kita berdua berjanji, anak-anak cucu kita selamanya tidak boleh menikah). Apabila terjadi, beghas-beghasnya; pinang mbak kulak, iban libagh tapi, tebu suguk langit ngan hati sebuyuh (syaratnya; buah pinang sebesar bambu betung muatan 10 canting beras, sirih selebar tampi, pohon tebu setinggi langit, hati sebuyuh). Kalu adak ditepati adak selamat (kalau tidak ditepati maka pernikahannya tidak berkah).

Puyang Naga Berisang
Puyang ini bernama asli Tuan Sulillaah, merupakan adik dari Puyang Ratu Dewa. Puyang Tuan Sulillaah terkenal gagah berani dan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, juga konon memiliki (khodam) Naga Berisang dan memiliki Keris yang bersisik Naga, oleh karena itulah maka beliau dijuluki Puyang Naga Berisang. Adapun perihal tentang keris ini, dahulu pernah dipegang oleh kakek buyut kami yang masih keturunan  dari Puyang Tuan Sulillaah, juga pengamal Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyah, ialah Baqas Kiyai Muhammad Zen bin KH. Abdulloh bin Radin Utusan yang beristrikan seorang perempuan masih keturunan Pangeran Jimat seorang Panglima Perang Pauh, beliau keturunan dari seorang perempuan keturunan dari puyang Tuan Sulillaah. Menurut keterangan mamanda Ir. Jauhari Adibaya, puyang Radin Utusan bernama asli Jadi berasal dari Semende Darat desa Tangga Rasa, Muara Enim. 

Puyang Tambak Panjang
Dari Baqas Kiyai Muhammad Zen kemudian keris tersebut dipegang oleh Pak Taha Cik Agus, dengan status pinjam pakai sebab silsilah keturunan dari anak Bai (perempuan). Saat ini Keris tersebut dipegang oleh anak keturunan dari Putera keturunan puyang Tuan Sulillaah di desa Peninggiran. Keris tersebut diserahkan oleh mamanda Ir. Jauhari Adibaya setelah ada yang memintanya. Demikian keterangan perihal Keris tersebut, merupakan bagian dari sejarah. Karena sejarah, maka jika seandainya ada yang kurang pas kiranya perlu untuk diluruskan. Wallohu'alam.

Puyang Naga Berisang adalah salah satu Tiga Puyang Dihaji, khususnya puyang bagi keturunan Buai Sembeghani dusun Surabaya. Puyang Naga Berisang, sepanjang pengetahuan kami, tidak hanya dikenal oleh masyarakat suku Haji saja, akan tetapi dikenal pula oleh masyarakat suku Ranau, Ogan dan suku Semende. Petilasan puyang Tuan Sulillaah terletak di desa Surabaya, di atas sebuah bukit di belakang Kantor Kecamatan Tiga Dihaji.

Namun menurut cerita, yang dimakamkan di situ bukanlah jasadnya, melainkan teghas kayu cendana yang merupakan pusaka beliau. Sedang jasadnya silop di danau ranau, beliau hanya berpesan, "Sepok i lah aku di sekitagh danau khanau, aman betungga teghas cendana hatulah aku". (Carilah aku di kawasan danau ranau, jika ketemu dengan batang kayu cendana, maka itulah aku).

Setelah dicari ternyata ditemukan teghas atau bagian terkeras dari kayu cendana. Maka sesuai dengan pesannya, teghas kayu cendana kemudian di bawa pulang ke tanah Haji dan ditanam/ dimakamkan di lokasi sekarang.

Puyang Tambak Panjang
Bernama asli Ratu Dewa. Disebut Puyang Tambak Panjang, karena dahulunya makam puyang ini panjang dan lebar dan berada di dalam rumah kaca. Karena rumah kaca tersebut rusak, maka rumahnya dibongkar. Tinggallah sebagian kecil, yaitu pas makamnya saja yang diberi atap ala kadarnya. Menurut cerita beliau kakak tertua dari puyang Tuan Sulillaah, juga manusia sakti memiliki berbagai pusaka, antara lain Gamolan, dll.

Makam atau petilasan Puyang Tambak Panjang terletak di atas sebuah bukit, pinggiran sungai selabung, tepatnya di pinggir jalan arah ke dusun Campang, desa Kuripan Aji, kecamatan Tuga Dihaji, kabupaten OKU Selatan. 

Kami berkesempatan ziarah ke lokasi ini tak lain hanyalah untuk menghormati para leluhur kami yang telah berjasa, juga mendoakan kepada mereka yang telah berbuat baik kepada kami, sekaligus juga bernostalgia sewaktu kami kecil, berangkat sekolah lewat jalan dusun campang. Namun yang terpenting adalah untuk mengumandangkan kalimat Tauhid, (Laa Ilaaha Illalloh).

Man laa yasykurulloh, laa yasykurunnaas
Barang siapa tidak bersyukur kepada Alloh, tidak juga berterima kasih kepada manusia.

Puyang Seranjangan
Puyang Umpu Seranjangan
Dinamakan Umpu Seranjangan, sebab di tempat ini terdapat makam para puyang yang terkumpul dalam satu lokasi, makamnya bersebelahan. Puyang-puyang yang dimakamkan di sini anyara lain; Puyang Bedak Macan Umbang, Puyang Macan Pengimbogh, Puyang Penaga Putih dan Puyang Penaga Hijau. 

Lokasi makamnya terletak di atas sebuah Bukit Seranjangan di pinggiran Danau Ranau, desa Sugihwaras, kecamatan Banding Agung, OKU Selatan. Sebuah bukit yang menjorok ke arah danau, di bawahnya terdapat sebuah kampung bernama Talang Teluk. Di sebut talang teluk karena lokasinya menyerupai sebuah teluk (laut yang menjorok ke daratan). Kampung ini dihuni oleh etnis pendatang yaitu suku Ogan yang berkebun di daerah Ranau.

Konon bukit seranjangan terkait dengan cerita tentang Puyang Si Pahit Lidah yang pernah berucap akan membuat daratan yang membentang antara Gunung Seminung sampai Bukit Seranjangan, membelah Danau dalam satu malam. Namun belum tersambung daratan, hari sudah terlanjur siang, maka jalur lurus antara bukit seranjangan dengan gunung seminung terdapat sebuah pulau yang sekarang dikenal dengan nama Pulau Marisa, sedang bukit seranjangan sendiri menjorok ke arah danau atau laut sebutan orang ranau.

Saya tidak banyak tahu cerita tentang puyang yang ada di bukit Seranjangan ini. Akan tetapi bukit ini terletak di dekat mulut sungai Kuala yang merupakan hulu tulung dari sungai selabung yang bermuara ke sungai Musi Palembang. Sungai Kuala adalah satu-satunya pembuangan air Danau Ranau, mengalir sampai jauh bermuara ke laut cina selatan.

Berziarah ke komplek pemakaman ini, seakan melambungkan lamunanku, teringat ketika zaman dulu, puyang menyusuri aliran sungai selabung dan berakhir di Danau Ranau. Adakah hubungannya puyang di Seranjangan dengan Puyang di tanah haji?

Puyang Si Pahit Lidah
Puyang si Pahit Lidah dikenal tidak hanya fi kawasan danau ranau, tapi juga dikenal di beberapa tempat, bahkan di kawasan Bengkulu, Lahat dan sekitarnya. Beliau juga dikenal dengan nama Serunting Sakti atau Seucap Nyata. Terdapat beberapa tempat yang menjadi petilasannya. Salah satunya adalah di Desa Suka Banjar di kaki Gunung Seminung sebelah barat. Terletak di tepian Danau Ranau. Konon di sana terdapat dua buah batu, yang satu posisi terbaring dan yang satunya posisi berdiri. Diyakini itulah Puyang Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Ketika mereka bertarung. 

Sebagaimana diketahui, Puyang Si Pahit Lidah memiliki ilmu kesaktian setiap yang diucapkannya akan terjadi sesuai keinginan yang diucapkannya. Sehingga mengetahui kesaktiaan Si Pahit Lidah, kemudian Si Mata Empat mengajak Puyang Si Pahit Lidah mengadu kesaktian dengan cara bebaring telungkup di bawah pohon Enau/ Aren, lalu menjatuhkan buah pohon enau (beluluk) secara bergantian. Barang siapa tertimpa dan tidak cidera maka ialah sebagai pemenangnya. Si Mata Empat berbuat licik dengan menyimpan Bambu Kuning yang sudah diruncingi, karena konon kekebalan Si Pahit Lidah akan luntur oleh Bambu Kuning. Giliran pertama, si Mata Empat berbaring di bawah, si Pahit Lidah di atas. Ketika buah enau di tebas dan jatuh ke bawah, si Mata Empat dapat mengelak karena ia melihat buah enau jatuh sebab ia memiliki dua mata lainnya di bagian belakang kepalanya. 

Tiba giliran si Pahit Lidah yang berbaring di bawah, ia tidak dapat menghindar ketika setundun buah beluluk yang sudah ditaruh bambu kuning runcing itu dijatuhkan, dan tepat mengenai badannya, sehingga tewaslah Puyang Si Pahit Lidah. Kemudian Si Mata Empat turun, ia penasaran dengan ilmu Si Pahit Lidah lalu dicicipinyalah lidah Si Pahit Lidah, dan ternyata lidah itu terasa sangat pahit dan beracun, sehingga tewas pulalah si Mata Empat di samping jasad Puyang Si Pahit Lidah. 

Demikianlah cerita tentang para Puyang. Hikayat tentang puyang adalahbproduk budaya yang berpengaruh bagi adat istiadat masyarakat setempat. Cerita-cerita yang terbangun itu kemudian membentuk adat istiadat yang berlaku untuk mengatur tatan masyarakat sehingga masyarakat dapat hidup teratur karena ketaatan terhadapat ajaran para leluhur.

Bagaimana sikap kita selaku umat Islam. Ajaran Islam yang datang kemudian di daerah-daerah pedalaman Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Lampung, mengajarkan tentang Ketauhidan. Tidak ada yang berhak disembah selain Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Tuha Semesta Alam. Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan). Selain itu Islam juga mengajarkan menghormati jasa-jasa orang-orang terdahulu. 

Berziarah ke makam orang-orang terdahulu lalu mendoakannya adalah perbuatan yang baik, terlebih dapat memetik pelajaran dari peristiwa orang-orang terdahulu, ambil yang baik buang yang buruk. Sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariat Islam maka ia baik, sebaliknya sesuatu yang dilarang oleh syari'at Islam maka itu adalah hal yang buruk.

Adapun periode berikutnya, seiring dengan menyebarnya ajaran Islam, di Sumatera Selatan kemudian berkembang Kesultanan Palembang Darussalam yang bernuasa Islam.


Kawah Tekurep
Sultan Mahmud Badaruddin
Kesultanan Palembang Darussalam
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. 

Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya berbatasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659, Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/bermukim di seberang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman, pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut dibatasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton dibatasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlangsung di darat agak jauh dari Sungai Musi.

Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. 

Itulah sekelumit sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Namun jauh sebelum masa kesultanan Palembang, terlebih dahulu dikenal berdirinya Kerajaan Sriwijaya di kawasan Sumatera Bagian Selatan ini. 

Makam Puyang Baghdad
Puyang Baghdad
Di Desa Sukaraja Banjar terdapat makam seorang alim dan sakti bernama H. Abdullah Baghdad atau Puyang Baghdad. Tidak diketahui secara pasti kapan Waliyulloh ini hidup, tetapi menurut salah satu keterangan yang diperoleh dari juru kunci makam, Wali ini hidup sezaman dengan puyang Ratu Manggilan dari Marga Haji. H. Abdulloh Baghdad adalah tokoh ulama penyebar agama Islam di Muaradua, khususnya di Desa Sukaraja Banjar, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan. Sebuah desa di pinggiran Sungai Selabung. 

Riwayat hidup H. Abdullah Baghdad tidak diketahui jelas asal mula garis keturunannya.  Tapi menurut Juru Kunci Makam, H. Abdullah Baghdad merupakan ulama utusan dari kesulatanan Palembang untuk menyebarkan agama Islam di tanah Muaradua dan sekitarnya atas izin gurunya Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H. Mahmud atau yang dikenal dengan sebutan Kiyai Marogan atau Kiyai Muaro Ogan dari kesultanan Palembang, yaitu sekitar tahun 1618-1619 M. Namun ada juga keterangan yang menyatakan Kiyai Marogan hidup di abad ke-18 M. 

Setelah sekian tahun berdakwah, kemudian H. Abdullah menikah dengan  seorang putri dari Marga Haji yang bernama Siti Rosida Manggilan, sehingga menjadikan wilayah penyebaran Islam di tanah Muaradua meluas hingga sampai ke perbatasan wilayah Sumatera Selatan dengan Bengkulu, dan H. Abdullah kemudian menetap di Desa Sukaraja Banjar sampai akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di sana.


Menurut cerita masyarakat setempat yang sudah masyhur, bahwa setiap sungai Selabung meluap banjir, desa Sukaraja Banjar tidak pernah kemasukan air selabung. Bahkan pernah terjadi banjir besar, semua desa yang ada di tepian sungai selabung terendam banjir, desa Sukaraja Banjar kembali selamat, ini berkat karomah waliyulloh H. Abdullah Baghdad.

Wallohu 'alam Bishshowab
Kuripan, 2 Syawal 1440 H / 6 Juni 2019
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger