Home » » PENCERAHAN SENGKETA PILPRES 2019

PENCERAHAN SENGKETA PILPRES 2019

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Minggu, 23 Juni 2019 | 06.26

BAGIAN I
Analisa Sengketa Pilpres 2019 di MK
Oleh : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si

Terkait sengketa Pilpres di MK, akhirnya saya tertarik untuk mengulasnya sedikit. Tujuannya agar publik sedikit bisa memahami proses hukum di MK yang sedang berlangsung.

Oleh karena saya bukanlah pakar hukum, maka saya akan mengulasnya sedikit saja, juga dengan menggunakan bahasa yang sederhana agar juga mudah untuk dipahami.

Sebelumnya, perlu dipahami bahwa Putusan Hakim MK itu bersifat Final. Maksudnya tidak ada lagi upaya hukum setelah Majelis Hakim MK memberikan Amar Putusannya. Artinya, tidak ada upaya Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Putusan langsung berkekuatan tetap (inkrah).

Dalam berperkara di MK, Penggugat itu disebut Pemohon, sedang Tergugat itu disebut Termohon. Selain Pemohon dan Termohon, ada juga Pihak-Pihak Terkait. Dalam hal ini, Pemohon adalah Paslon 02 (Prabowo-Sandi), Termohon adalah KPU dan Bawaslu, sedang Pihak Terkait adalah Paslon 01 (Jokowi-Ma'ruf).

Proses Perkara
Pemohon mendaftarkan Gugatan ke MK, setelah diverifikasi, lalu MK menetapkan dan menggelar sidang dengan memanggil para pihak. Agenda pertama mendengarkan Gugatan dari Pemohon. Kedua, mendengarkan jawaban terhadap gugatan (Duplik) oleh Termohon atau pun oleh Pihak Terkait.

Pada proses ini Para Pihak bebas berargumentasi, sanggah menyanggah, sementara Hakim mendengarkan. Artinya, pendapat Para Pihak pada pase ini belum tentu benar atau salah, sebab Hakim lah nanti yang menilai.

Kemudian sidang selanjutnya dengan agenda Pemeriksaan Saksi dan Pengesahan Bukti dan mendengarkan keterangan Ahli.

Pada pase ini Para Pihak menghadirkan Saksi, Ahli dan Bukti. Saksi kemudian menceritakan apa yang diketahui, dialami, dan dirasakannya, serta menyampaikan Bukti-Bukti terkait. Demikian pula dengan Ahli, ia akan menerangkan apa yang menjadi pendapatnya selaku Ahli terkait perkara yang sedang berlangsung

Terhadap keterangan, bukti dan pendapat Ahli, Hakim dan Para Pihak kemudian akan menggali/memeriksa kebenaran kesaksian dan bukti yang disampaikan, termasuk dari segi kualitasnya. Saksi hanya memberikan keterangan sebatas yang dia ketahui, alami dan rasakan. Saksi tidak boleh beropini atau berpendapat, apalagi memberikan keterangan palsu. Sebab ia sebelumnya telah disumpah. Selain itu, terkait dengan keterangan palsu, ancaman pidananya 7 tahun penjara.

Selanjutnya adalah Putusan Hakim.
Majelis Hakim kemudian memberikan komentar dan pendapatnya terkait dengan gugatan, apakah mengabulkan seluruh atau sebagian dari tuntutan (Petitum), atau malah menolak seluruh gugatan dari Pemohon, yang dituangkan di dalam Amar Putusan.

Analisa saya terhadap gugatan Pilpres ini, pada akhirnya, Majelis Hakim akan menolak gugatan dari Pemohon. Karena materi gugatan kualitatif yang disampaikan itu sulit sekali bisa dibuktikan. Apalagi melihat kualitas kesaksian dan bukti yang disampaikan oleh saksi, sejauh ini sangatlah lemah. Sedang landasan hukum itu adalah, Filosofis, Yurudis, Historis dan Sosiologis.

Katakanlah, kalaupun terbukti, pasti akan dikesampingkan sebab demi kepentingan Bangsa dan Negara yang jauh lebih besar. Karena mempertimbangkan aspek Sosiologisnya itu.

Bersambung...

BAGIAN II
Filosofis, Yuridis, Historis dan Sosiologis
Oleh : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si

Menerangkan maksud dari hukum berlandaskan filosofis, yuridis, historis dan sosiologis, adalah sbb :

Yang pertama, Filosofis.
Maksudnya, filosofi adanya hukum itu untuk mencari keadilan. Dalam hal ini, hakim bisa saja mengabaikan peraturan perundang-undangan (yuridis), atau juga kesaksian dan bukti yg disampaikan.
Kalau peristiwa hukum itu menurut keyakinan hakim benar-benar terjadi, maka hakim akan memutus perkara berdasarkan keyakinannya.
Oleh karena itulah maka putusan hakim itu selalu diawali dg "Secara sah dan meyakinkan". Kata "Meyakinkan" itu merupakan kewenangan hakim untuk memutus perkara menurut keyakinannya, walau putusannya itu misalnya bertentangan dg undang-undang, kesaksian dan bukti. Untuk kewenangan ini sdh diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Maka ada istilah Hakim itu Wakil Tuhan.

Nampaknya, inilah yang diperjuangkan Dr. Bambang Cs. di MK dengan menyusun materi permohonan (gugatan) yang bersifat kualitatif, maksudnya lebih banyak narasi filosofi, yuridis, historis dan sosiologis, walau lebih banyak muatan filosofisnya. Mereka berharap bahwa hakim dalam memutus perkara dapat keluar dari tatanan hukum acara yang ada.

Yang kedua, Yuridis.
Maksudnya hukum itu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi hakim itu akan memutus perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Sebab di dalam hukum itu ada adagium "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" (Tdak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya). Namun, di sisi lain, hakim juga tidak boleh menolak perkara yang diajukan hanya karena tidak ada UU-nya, maka hakim bebas menafsirkan UU, inilah yang dimaksud "Penafsiran Hukum untuk Penemuan Hukum".

Nah, ini juga yang sekarang terjadi di MK, yaitu proses pembuktian, kesaksian dan pendapat-pendapat para Ahli. Terutama saksi Ahli dari Pihak Terkait. Kalau kita amati/ikuti akan menambah pengetahuan kita tentang hukum. Sangat menarik bukan...?

Yang ketiga, Historis.
Maksudnya, hukum itu berdasarkan pengalaman sejarah masa lalu, bagaimana peristiwa hukum terjadi, apakah pernah terjadi hal serupa sebelumnya, dan apa dampaknya atau pengaruhnya bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pengaruh hukum berdasarkan historis ini sangat kuat pada negara dengan sistem hukum Anglo Saxon atau Camon Law, seperti Amerika, Inggris dan negara-negara Barat. Dimana putusan hakim banyak berpegang pada putusan-putusan hakim sebelumnya, namanya Yurisprudensi.

Nah ini juga yang terjadi di MK saat ini, dimana hakim dan para pihak menggali dan mendalilkan perkara-perkara pemilu yang serupa pada tahun-tahun yang lalu. Meskipun sistem hukum kita menganut sistem Eropa Continental (Civil Law) bukan Camon Law, artinya hukum berdasarkan undang-undang (Hukum Positif). Kita, Indonesia mengadop sistem hukum yang dianut di Eropa. Namun demikian, sistem Civil Law memungkinkan hakim dapat juga memutus perkara dengan mempertimbangkan Yurisprudensi.

Terakhir adalah Sosiologis.
Maksudnya adalah dampak sosial yang akan terjadi terhadap amar putusan hakim. Jika menimbulkan gejolak, mengganggu ketertiban umum dan keamanan masyarakat, membahayakan negara, menimbulkan pembiayaan yang besar sehingga mempengaruhi perekonomian bangsa, perpecahan, dll. (Gejolak Sosial).

Menurut analisa saya, yang juga pernah saya tulis sebelumnya. Kemungkinan Amar Putusan Hakim akan mempertimbangkan hal-hal seperti ini, terutama dampak sosialnya. Bukanlah perkara mudah untuk membatalkan Keputusan KPU, mendiskualifikasi Paslon 01, menetapkan Paslon 02 sbg pemenang, menyelenggarakan pemilu ulang, dll. semua yg tertera dalam permohonan pemohon. Semuanya itu sudah kita lihat dan dengar fakta yang terjadi dalam persidangan. Walau kita memiliki penilaiannya masing-masing, oleh karena itu saya tidak memgomentari materi replik-duplik para pihak, tapi saya berpendapat hanya berdasarkan analisa hukum yang saya ketahui. Sehingga pada akhirnya, kalau lah permohonan (gugatan) itu terbukti tapi hanya kurang dari sebagian atau seluruhnya, maka hakim akan mempertimbangkan asas mudhorot dan manfaatnya bagi masyarakat bangsa dan negara. Apakah mudhorot lebih besar dari manfaatnya atau malah sebaliknya (dampak sosial).

Demikianlah penjabaran singkat apa yang saya ketahui tentang Asas-Asas yang mempengaruhi Hukum.

Akhirnya, kembali kepada hakim, hakim itu lebih cenderung bermadzhab apa? Filosofiskah? Yuridiskah? Historiskah? Atau Sosiologiskah? Namun tidak perlu khawatir, hakim di MK itu banyak, mereka berjumlah 9 (sembilan) orang, mayoritas Profesor di bidang Hukum, berintegritas dan memiliki latar belakang pendidikannya masing-masing. Mereka semua berhak dan berkewajiban memberikan pendapatnya berdasarkan latar belakangnya masing-masing yang nantinya akan dituangkan di dalam Amar Putusan. Mengapa jumlahnya sembilan, karena nanti kalau mereka berbeda pendapat, putusan akhirnya bisa mempertimbangkan suara yang terbanyak.

Wallohu'alam, semoga bermanfaat.

Bersambung....

BAGIAN III
Uraian Singkat Tentang Bukti dan Alat Bukti
Oleh : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si.

Lanjutan dari ulasan sebelumnya tentang Sengketa Pilpres 2019 di MK, berikut adalah penjelasan singkat tentang perbedaan Bukti dan Alat Bukti.

Beberapa hari terakhir ini publik melihat dan menyimak sidang sengketa Pilpres 2019 yang terbuka untuk umum. Hal yang tak kalah sengitnya adalah proses pengesahan barang bukti di sidang pengadilan.

Ada seorang teman mengatakan, "Wah kemaren ada hakim yang meminta bukti untuk dihadirkan, akhirnya ditarik saja oleh kuasa hukum Pemohon selesai sudah". Kesan yang saya tangkap, bahwa masih banyak orang yang belum paham tentang proses pembuktian dalam sebuah sidang peradilan.

Dari percakapan teman inilah sehingga mendorong saya untuk menulis secara singkat tentang proses pembuktian dalam sebuah sidang pengadilan.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, setelah materi gugatan diterima, pengadilan menetapkan sidang untuk mendengarkan materi gugatan, lalu pihak tergugat (termohon atau pihak terkait) menjawab materi gugatan dari penggugat (pemohon), lalu sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan para saksi (saksi dan ahli) dan pengesahan alat bukti.

Nah, pada proses pembuktian inilah penggugat (pemohon) harus mampu menghadirkan saksi dan barang bukti yang telah disampaikan atau dimasukkan ke dalam materi gugatan. Dalam sistem hukum di Indonesia, penggugat lah yang dibebankan untuk membuktikan tuduhannya, atau kalau dalam hukum pidana Jaksa lah yang harus membuktikan dakwaannya, tidak kepada terdakwa, sebab terhadap terdakwa ada asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Di dalam hukum pidana lah soal pembuktian ini diatur secara jelas, maka sangat pantas kalau ahli di bidang pidana yang dihadirkan dalam sidang di MK kemaren untuk didengarkan kesaksiannya terkait dengan proses pembuktian.

Namun sistem hukum di Indonesia, belakangan berkembang, selain Jaksa penuntut umum yang dibebankan untuk membuktikan tuduhan,  khusus untuk perkara-perkara korupsi dan pencucian uang, terdakwa juga dibebankan untuk membuktikan secara terbatas (pembuktian terbalik), maksudnya terbatas adalah, terdakwa hanya dibebankan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan perbuatan seperti apa yang dituduhkan kepadanya.

Nah perlu diketahui bahwa dalam proses pengesahan barang bukti di persidangan, Hakim itu bersifat aktif dalam perkara pidana dan bersifat pasif dalam perkara perdata. Maksudnya bersifat aktif adalah, terhadap tindak pidana hakim harus benar-benar menggali bahwa tindak pidana itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh terdakwa atau tidak dilakukan oleh terdakwa. Terhadap terdakwa ditanya secara detail, sebab ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum "Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah"; "Culpue Poena Par Esto" (jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan); "Fiat justitia ruat coelum" (sekalipun esok langit akan runtuh keadilan harus tetap ditegakkan)".

Dan yang dimaksud dengan hakim bersikap fasif ialah, itu terhadap sengketa perdata, dalam perkara perdata maka penggugat atau pemohon lah yang dibebankan terhadap pembuktian, ia harus aktif untuk membuktikan apa yang telah dituduhkannya. Sementara pihak tergugat atau pemohon dan pihak terkait juga bersifat pasif, maksudnya selama tuduhan itu tidak bisa dibuktikan oleh penggugat atau pemohon dalam sidang pengadilan, maka gak perlu cape-cape untuk menanggapi tuduhan tersebut, karena hakim sendiri sudah bisa menilai. Tetapi, karena perkara di MK bersifat Final, maka para pihak tetap memberikan dalilnya (tuduhan-sanggahan) agar hakim bisa memutus perkara sesuai fakta yang terjadi dalam persidangan.

Kalau hakim sudah memutuskan, terhadap putusan hakim tersebut tidak bisa dilakukan upaya hukum lagi, bahkan kalau pun putusan tersebut nyata-nyata keliru, hakim tidak bisa diadili karena putusannya, tapi hakim bisa diadili atas dugaan terkait dengan perilaku hakim. Dalam hal ini hakim dalam melaksanakan tugasnya di awasi oleh Komisi Yudisial (KY).

Nah apa beda Bukti dan Alat Bukti?
Bukti adalah, bukti yang sudah dimasukkan secara narasi oleh para pihak di dalam surat gugatan atau sanggahannya, kemudian diajukan oleh para pihak di dalam sidang pengadilan pengesahan  alat bukti. Bukti tersebut bisa berupa benda, bisa juga berupa keterangan saksi dan keterangan ahli. Khusus keterangan saksi, agar bisa menjadi alat bukti maka harus ada keterangan beberapa orang saksi yang berhubungan atau berkesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan saksi lainnya. Sebab kalau hanya satu saksi itu bukanlah saksi (Unus Testis Nullus Testis).

Seorang saksi harus benar-benar mengetahui dengan melihat dan merasakan. Jika ia tidak mengetahui dengan melihat dan merasakan, atau berdasarkan katanya-katanya, maka saksi itu disebut "Testimonium de Auditu" (kesaksian dapat didengar dari orang). Nah kesaksian model begini yang berdasarkan 'katanya' tidak bisa diterima sebagai alat bukti, tetapi ia boleh didengarkan oleh hakim.

Ketika bukti tersebut disahkan oleh hakim dalam sidang pengadilan, maka barulah bukti tersebut menjadi Alat Bukti. Alat bukti inilah yang akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut yang akan dituangkan di dalam amar putusannya.

Nah kiranya jelas bukan? Kita sudah melihat dan menyaksikan proses persidangan di MK, dan beberapa hari ke depan insya Alloh kita akan mendengarkan sidang dengan agenda pembacaan putusan hakim. Ketika palu hakim sudah diketok, maka perkara hukum telah selesai. Tinggal masalah politik. Itu sangat tergantung kepada kita semuanya, pilihannya ada  pada kita. Kalau kita menghomati hukum, bahwa negara kita adalah negara hukum, dimana hukum sebagai panglima, maka seyogyanya perselisihan sudah selesai, ada adagium dalam hukum "Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae" artinya, "POLITIK HARUS TUNDUK PADA HUKUM, BUKAN SEBALIKNYA.

Kita berdo'a kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, semoga putusan hakim nantinya akan membawa kemaslahatan bagi umat, bangsa dan negara. Dan kita kembali kepada persaudaraan se bangsa dan se tanah air, bisa hidup rukun, makmur dan sejahtera dalam bingkai NKRI yang sama-sama kita cintai. Aamiin Yaa Roobal'aalamiin.

Wallahu'alam bishshowab.

The end.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger