Latest Post

Adam Malik Bersama dengan Abah Anom

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Senin, 20 Mei 2013 | 00.37

Khidmat Kepada Ahlul Bait Syekh Mursyid

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Senin, 13 Mei 2013 | 22.14

 KHIDMAT ILMIAH MANAQIB BULAN RABIUL AKHIR 1434 H 
Oleh : K.H. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab (Sabtu, 12 Rabiul Akhir 1434 H / 23 Pebruari 2013 M)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Almukaromin wal muhtaromin. Bil khusus ruhna Hadrotis Syaikh Guru Agung Pangersa Abah (KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin), almukaromin para wakil talqin, keluarga besar Pangersa Abah Sepuh dan Pangersa Abah Anom, para pengurus YSB Suryalaya Pusat, Korwil, Perwakilan, Pembantu Perwakilan, Mubalighin/Mubalighat, Ibu Bella, semua ikhwan wal akhwat rohimakumullah.
Hadirin, bulan Maulid Rabiul Awal manaqib kita adalah berkaitan dengan Peringatan Maulid Nabi.
Bulan Rabiul Akhir, kalau orang sunda menyebutnya “silih mulud”, kalau orang jawa banyak menyebutnya “syawal mulud/ ba’dil mulud”. Ada hal yang sangat terkait sebagaimana yang dibacakan oleh pembaca Manqobah (KH. Abdul Qohir), beliau membacakan tentang Wafatnya Guru Agung, Pemimpinnya para wali, imamnya para asfiya (para sufiya), gaidnya para ahli ma’rifat Syaikh Abdul Qodir Al Jailani qs.
Izin Allah qori kita (Ust. Abdul Wahid) membacakan surat Al Muluk. Kalau ditanya bagi orang yang berthariqat ayat Quran-nya ayat quran mana sih ? Saya melihat sebuah budaya, fenomena yang berjalan, mungkin karena keterbatasan bekal ilmu banyak sekali orang berthariqat yang kalau mengangkat Quran sebatas ayat-ayat yang ada “dzikru”nya, misal : fadzkuru, dzakirin, dzakiro, udzkur. Di satu pihak baik, jangan sebut salah,karena itu memang Al Quran.
Kurang lebih kalau kita membuka Kitab Mu’jam Al Mufaros ada 300 ayat lebih yang memakai kalimat “dzikru”. Tetapi jangan menganggap ayat lain bukan ayat dzikir, ini kepada Sauradara-saudara saya para Mubaligh/Mubalighoh terutama silahkan, dari mulai Al Fatihah sampai An Nas semuanya Al Quran itu disebur dzikir “inna nahnu nazzalna dzikro wa inna lahu lahaafidzuun” sebab ketika mubaligh kita mengangkatnya hanya ayat dzikir, terus terang oleh ulama yang tidak senang terhadap thoriqat, maaf ditertawakan. Ayo kita tambahkan ilmu, sesuai dengan Maklumat Guru Agung Pangersa Abah “Tambahkan pengetahuan”, belajar dzikir tidak menafikan pengetahuan karena pengetahuan menjadi syarat di dalam berdzikir. Yang jangan itu berfatwa berlebihan, bahwa untuk belajar dzikir thoriqat harus sudah mengusai 12 pan umpama, itu opini yang dibuat, tidak begitu. Anda bodoh super bodoh sekalipun sah untuk mengambil belajar thoriqat. Tidak faham Quran tidak faham Hadits masuk Islamnya pun baru umpamanya, sah.
Ada pengalaman saya : waktu itu ada yang baru masuk Islam dan ingin juga mendapatkan talqin dzikir thoriqat, waktu itu saya tidak berani. Saya telepon dulu ke Pangersa Abah (hati-hati .....hati-hati..... kepada yang pintar-pintar, dalam hal-hal thoriqiyyah ada tatakrama tertentu), saya tidak langsung mengiyakan. Setelah ada jawaban baru Saya lakukan proses talqin tersebut.
Ini bagi saya menjadi bukti bahwa untuk menjagi pengamal thoriqat manapun khususnya TQN Pontren Suryalaya, bukan tidak boleh belajar ilmu tapi tidak disyaratkan harus sudah tinggi ilmu. Catat itu, sering salah faham itu. Mau dari dalam dulu terus yang luar, silahkan. Dari luar dulu terus yang dalam, boleh. Bijaksananya....masya Allah. Alhadulillah. Ini semua adalah sebuah Ijtihad, tidak berlebihan kalau saya menyebutkan Hadrotus Syaikh Guru Agung Pangersa Abah adalah Al Mujtahid fith-thoriq. Bukan mujtahid dalam fiqih, tapi beliau mendapatkan kemampuan membuat kebijakan-kebijakan di dalam hal berthoriqat. Antara lain : Andai belajar thoriqat ini harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh para sufiyyah masa lalu, maka orang seperti kita tidak kebagian. Paling menjadi pengikut bagian belakang, tidak ikut mengamalkan. Beliau bekerja keras, beliau melakukan Muroqobah pada Allah, Beliau melakukan Riyadhah, saum yang sangat lama, sholatul lail yang tiada bolos tiada kosong, munajat dengan ikhlas, maka orang-orang yang sekelas kita yang begitu kotor, bodoh mendapatkan kesempatan untuk mengamalkan. Alhamdulillah.Terimakasih......Guru Agung, ..........terimakasih. Sungguh banyak ulama yang ilmunya tinggi tapi oleh Allah tidak diberi kesempatan. Tetapi Allah memberikan kelebihan, kelebihan yang terutama adalah dibidang ma’rifat , di bidang ibadah, dibidang akhlaq. Andai karena tidak belajar Akhlaq, mohon maaf pak kalau soal ngaji kitab, Sukabumi, Cianjur jagonya. Wong Pangersa Abah sendiri belajar ngajinya dari Cianjur (dari Jambudwipa, Cicariang) di Sukabumi (Cimalati) kalau soal ilmu, tetapi tugas dari Allah kita bukan sekedar ilmu, mari kita rujuk kepada surat tadi.
Sebagai khodim Pesantren Suryalaya, apapun pangkatmu, setinggi apapun pengetahuanmu, sehebat apapun ibadahmu, sehebat apapun kemampuan manajemenmu yang namanya murid Suryalaya, semuanya adalah Khodim (Pelayan). Seluruh murid TQN Pontren Suryalaya, setinggi apapun ilmunya, sehebat apapun ibadahnya, sehebat apapun amalnya, sekaya apapun hartanya, sehebat apapun kepemimpinannya, setinggi apapun pangkatnya, posisikan diri anda semua jangan ragu kita semua adalah Khodim (Pelayan). Kita tidak boleh lupa perkataan Khodimul Muqoddam (Khodim utama), saya menyebutnya di antara khodim utama adalah Pangersa Akeh, Pangersa Aang-Cianjur, sepuh-sepuh yang terus berkhidmat. Beliau mengatakan di mimbar ini “Awas jangan lupa tujuan kita semua kesini untuk menerima limpahan” siapkan wajannya, yang bolong ditutup, buang yang berkarat,“sugan we sa kecret luluberan teh kena ka urang” barangkali saja ada setetes limpahan itu kena kepada kita, maaf tidak bermaksud menasihati siapapun jangan salah faham.
Hadirin rahimakumullah. Kita adalah Khodim, para pelayan. “tabaarokalladzii biyadihil mulk” Maha Barokah dzat Allah yang ditangan Dia seluruh kerajaan bumi, langit, dunia, akhirat semua kekuasaan ditangan Dia. “Wahuwa ‘ala kulli syai-in qodiir” Dia terhadap segala sesuatu (apapun sesuatu itu) mampu. Bagaimana tidak mampu wong Dia Sang Pencipta, Dia yang mentakdirkan. Dan Dia pula “alladzii kholaqol maut” yang menciptakan maut. Kalau bicara maut jangan sebatas maut setelah hidup, wong sebelum hidup juga kita sudah maut, tadinya maut lalu hidup setelah hidup maut setelah maut hidup lagi, “wal hayat” dan hidup. Khususnya hidup di muka bumi ini untuk apa Ya Allah kami dihidupkan dimuka bumi ini ? (ngadon ngariweuhkeun, ngadon ngaheuheurinanan) Allah berfirman “liyabluwakum” untuk menguji, ngetes, imtihan, mencoba; “ayyukum ahsanu ‘amala” siapa diantara kamu sekalian yang amalannya (amalan urusan ukhrowinya, dunianya, ibadahnya, aqidahnya, pelayanannya; amal itu jangan disempitkan hanya sholat rukun Islam saja bukan, semua pekerjaan, amal). Awas kawan-kawan, awas para wakil talqin, hati-hati para pengurus, kawan-kawan di gugus depan di Suryalaya ketika mengalami barokah dari Pangersa Guru Agung Hadrotus Syaikh Pangersa Abah Anom, jangan pernah dalam hati kita mengatakan “Aku Hebat”. Ke Ananiyahan sangat berbahaya di dalam Thoriqat. Yang muncul dalam qalbu kita adalah Agungnya Guru, Karomah Guru. Saya berani berandai-andai. Andai semua pimpinan di tingkat negara maupun keumatan memahami Tanbih Pangersa Abah Sepuh yang ditandatangi oleh Guru Agung Pangersa Abah Anom, dunia pasti aman, masyarakat pasti sejahtera.
“huwal ‘azis” Allah Maha Perkasa, “huwal ghafur” Allah Maha Pengampun, diantara kerja Allah adalah “alladzii kholaqo sab’a samaawaatin tibaaq” Allahlah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Salah satu Adab Murid di dalam thariqat yang terdapat dalam Kitab Anwarul Qudsiyyah diantaranya “yaqinuka bi anna syaikhoka mursyiduka”keyakinanmu bahwa gurumu adalah mursyidmu yakini jangan ragu-ragu, kalau anda ragu-ragu maka dia sebesar dugaan kita. Abah Anom adalah Waliyyan Mursyida seorang Waliyullah yang sampai ke tingkat Irsyad dan ia mampu membawa ruh kita dari mulqi ke alam lahut. Kita sekalian posisinya adalah sebagai khodim. Di dalamnya (kitab Anwarul Qudsiyyah) ada apa lagi, diantara 24 adab adalah “al bu’du ansyammiriisithoriqoh”em>jauhkan dirimu dari merasa kamu sudah mencapai maqam dalam thoriqat. Ini normatif, jangan salah faham saya tidak bermaksud menyinggung siapapun. Wahai semua murid kontrol hati masing-masing jangan sampai anda merasa “aku sih sudah punya maqam/kelas tertentu”. Seribu kali karomah melimpah pada kita, tidak ada karomah itu karomah dirimu sendiri. Bahkan dalam Kitab Al Hikam dikatakan “innamaa nahnu fitnatun idzaa fatahalaka baaban minattawajjuh fala tubaali ‘an ghalla ‘amalu” kalau anda dalam belajar thariqat merasakan kehebatan/keluarbiasaan yang diberikan Allah pada diri saudara, hati-hati jangan menganggap bahwa itu adalah tempat tertinggi bagi saudara. “falmathluubu amaamat” yang kau cari masih di depan sana. Silahkan saudara-saudara mau mengambil pemikiran yang mana, mari kita istiqamah...istiqomah....kita selalu berdo’a diakhiri dengan“Wa’tashimu bi hablillah” berpeganglah semuanya pada tali Allah, “walaa tafarroquu” jangan bercerai berai, jangan.... kita sedang diuji, iman kita sedang diuji, kebenaran kita dalam berthariqat sedang diuji, ruh kita sedang diuji, qalbu kita sedang diuji. Bagi yang masih berada dibelakang kira-kira maqamnya sabarlah, tidak usah menyalip orang. Bagi yang sudah di depan hati-hati....offsite. Semuanya kontrol diri. Saya bicara begini supaya tidak ada yang gagal.
Hadirin rohimakumullah. “walaa tasummu riihat thoriqat” jangan pernah Anda merasa bahwa Aku telah sampai pada “rih” tertentu, jangan. Lebih baik kita posisikan diri kita adalah sebagai Khodim. Allah telah menurunkan alat utama, raja semua amalan, kalimat maha sakti, pusaka yang sangat mulia, kalimatut thayyibah, kalimatul ikhlas “LAA ILAAHA ILLALLAAH”. Bersyukurlah kita yang bodoh dan yang kotor dipertemukan dengan Pondok Pesantren Suryalaya, semoga istiqomah semua, semoga tawadhu semua, semoga lurus semua. Sejelek-jeleknya orang kalau lurus insya Allah ada harapan untuk sampai tujuan.
Terakhir marilah kita berdo’a : “Yaa Allah Andai Engkau berkehendak, semoga Engkau berkehendak untuk mengangkat pelanjut dari lingkungan keluarga Beliau”. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
 
           
Khidmat Ilmiah : http://www.suryalaya.org/ver2/main.html
Sumber Foto : http://www.facebook.com/suaralangit.suryalaya?fref=ts

Profil Wakil Talqin KH. Wahfiudin Sakam, S.E., MBA.

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Jumat, 10 Mei 2013 | 00.23


Langkah dakwahnya telah dimulai sejak duduk di bangku STM. Sempat tergila-gila dengan paham Wahhabi, tapi akhirnya muballigh yang satu ini kembali ke jalur asalnya, Islam tradisional. Bahkan kini ia mendalami tasawuf dan thariqah.
Siapa yang tak kenal dengan muballigh yang satu ini. Wajahnya yang teduh kerap menghiasi layar kaca di rumah kita dalam acara santapan ruhani, dialog religi, atau pengantar berbuka puasa. Gaya bicaranya yang mantap dan materi ceramahnya yang sarat nilai-nilai tasawuf, meski tetap dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikan tamu kita yang satu ini segera merebut perhatian jutaan umat Islam di tanah air.
Sejak penghujung dasawarsa ’70-an ia telah mulai berdakwah, dimulai dari lingkungan tetangga dan teman-teman sekolahnya. Pertengahan era tahun ’80-an, jadwal ceramahnya semakin padat, dari masjid ke masjid dan dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Belakangan dakwahnya merambah ke stasiun-stasiun TV, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, bahkan hingga lintas negara. Beberapa Negara seperti Jerman dan Perancis di Eropa, Jepang Singapura, Thailand, Brunei dan Malaysia di Asia, Australia hingga benua Amerika pernah dijelajahinya dalam safari dakwah.
Kiprah kemuballighannya tentu tak diragukan lagi, namun tak banyak yang tahu bahwa dai yang satu ini juga seorang pengamal tarekat. Bahkan ia adalah salah satu Wakil Talqin K.H. Ahmad Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin alias Abah Anom, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. “Wakil Talqin” adalah istilah untuk badal (asisten) guru mursyid dalam Thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, yang dipimpin ulama sepuh yang lahir pada 1 Januari 1915 itu.
Dan, jika melihat aktivitas ketarekatannya saat ini, sepertinya tak ada yang menyangka bahwa di masa mudanya muballigh yang satu ini pernah sangat menggandrungi dan mendalami paham Wahhabi. Ia pernah sangat lekat dengan pemikiran islam ala A. Hassan Bandung, pendiri Persatuan Islam (Persis), bahkan ikut aktif mengajarkan Islam bercorak kanan itu kepada murid-murid cilik yang memadati pengajiannya.
Namun pencarian tak kenal lelah sang dai akhirnya membawa langkah kakinya kembali ke fitrah kebetawiannya, sebagai muslim tradisionalis dan penganut thariqah shufiyyah. Siapakah dia? Tak lain, dialah K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A., muballigh kondang ibukota yang asli Betawi, yang juga pemimpin RADIX Training Center, pusat pelatihan dakwah.
Dikunjungi alkisah suatu siang di rumah yang sekaligus menjadi kantornya yang terletak tak jauh dari Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, Ust. Wahfiudin tampak baru saja menunaikan shalat Dzuhur berjamaah bersama beberapa karyawannya. Setelah usai melantunkan dzikir rutin seusai shalat, sang Ustadz tidak segera beranjak dari duduknya. Dari bibirnya mengalun kalimah tauhid yang diucapkan dengan nada memanjang “laa…ilaa…ha illallaah…” sebanyak tiga kali, sambil diikuti oleh jamaahnya. Tak lama kemudian dari sudut kantor mungil itu kalimat tahlil kembali mengalun ratusan kali dengan irama yang lebih cepat, khas dzikir thariqah ala Suryalaya.
Selain digunakan untuk aktivitas perkantoran lembaga pengembangan sumber daya manusia RADIX Training Center dan perawakilan Dompet Dhuafa Rawamgun, pada waktu-waktu tertentu rumah Ust. Wahfiudin juga dijadikan majlis dzikir thariqah. Sungguh pemandangan unik di salah satu sudut perkantoran kota metropolitan.
Tadarrus “Gila-gilaan”
Lahir di Kampung Lima (kini jalan Sabang), Jakarta Pusat, pada 19 Oktober 1961, Wahfiudin adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya Sakam Bahrum, seorang tukang pos keliling. Sementara ibunya, Aminah, membantu perekonomian keluarga dengan menjadi penjahit pakaian di rumah. Saat usianya dua tahun, keluarga Wahfiudin pindah ke Setiabudi, yang ditempatinya hingga bocah itu dewasa dan menikah pada tahun 1986. Baru pada tahun 1993, ketika anaknya sudah tiga, ia hijrah ke Rawamangun hingga saaat ini.
Seluruh keluarga Wahfiudin adalah aktivis pengajian. Saat kecil ia sering diajak nenek dan ibunya mengikuti pengajian Minggu pagi di Majelis Ta’lim Asy-Syafi’iyyah, Bali Matraman yang diasuh oleh ulama besar KH. Abdullah Syafi’i. Dan ketika duduk di kelas empat SD, setiap minggu ia menemani neneknya berjalan kaki dari setiabudi ke Bali Matraman melalui daerah Kampung Kuningan, yang waktu itu masih berupa perkebunan dan dipenuhi empang-empang.
Hebatnya, meski masih keci, setiap kali duduk di majlis ta’lim, Wahfiudin hanya mau duduk di barisan terdepan. “Jika duduk di barisan kedua dan seterusnya, saya merasa sering terganggu oleh gerakan orang-orang di depan saya, dan saya jadi nggak konsentrasi mendengarkan ceramah Kiai,” katanya sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. “Buat apa jauh-jauh berjalan kaki kalau sampai di sini nggak bisa menyerap ilmu dengan maksimal karena duduk di belakang,” katanya saat itu.
Sejak mengetahui pengajian KH Abdullah Syafi’i itulah ia mulai ngefans berat dengan sang mu’allim dan beberapa ulama besar lain yang sering hadir di majlis KH Abudllah Syafi’i. Melalui majlis itu ia juga mulai merasakan ketertarikan terhadap dunia dakwah dan bercita-cita menjadi seorang dai.
Sejak SD, Wahfiudin juga sudah mulai ikut-ikutan belajar mengaji Al-Qur’an di rumah beberapa ustadz di kampungnya. Tapi baru setelah duduk di bangku SMP dan diajari langsung oleh ayahnya, ia bisa membaca Al Qur’an dengan baik. Saking senangnya, waktu masuk bulan Ramadhan, ia membaca Al-Qur’an (tadarrus) secara ‘gila-gilaan’. Betapa tidak, dalam sebulan ia mampu mengkhatamkan Al Qur’an tiga kali.
Uniknya, meski bercita-cita menjadi juru dakwah, Wahfiudin tidak pernah sekalipun sekolah di madrasah. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Setiabudi, kemudian melanjutkan di SMPN 57. Di kedua jenjang sekolah itu prestasi akademinsya terbilang bagus. Ia sering menyabet peringkat tiga besar di kelasnya. Karena itu, ketika memasuki tahun terakhir di SMP, ia bercita-cita akan mendaftarke beberapa SMA di negeri favorit di ibu kota.
Berpikir ala PERSIS
Namun alangkah terkejutnya ketika suatu hari ayahnya memanggil dia dan berkata, ”Nak, SMA itu dirancang untuk anak-anak yang akan kuliah. Sedangkan bapakmu yang cuma pegawai kantor pos rendahan ini nggak akan kuat membiayai kamu kuliah. Apalagi adik-adikmu masih banyak. Karena itu kamu masuk sekolah kejuruan saja ya, nak. Biar nantinya lekas dapat kerja.”
Meski hatinya hancur, Wahfiudin menuruti keinginan orangtuanya, “Sedih juga,” kenangnya. “Apalagi kalau melihat teman-teman yang prestasinya jauh di bawah saya bisa bersekolah di SMA-SMA negeri favorit, seperti SMAN 3 Jakarta”.
Saat memutuskan masuk sekolah kejuruan, Wahfiudin, yang berpembawaan tenang, sempat kebingungan juga. “Mau masuk STM, saya takut terlibat perkelahian antar pelajar. Mau masuk SMEA, saya malu, karena kebanyakan muridnya perempuan. Akhirnya ia mendaftar di STM Penerbangan, Kebayoran.
Namun, saat di STM, Wahfiudin sering merasa jenuh di kelas dan memilih membolos, lalu nongkrong di perpustakaan DKI di Kuningan. Belakangan ia menyalurkan kejenuhannya dengan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII ini ghirah berdakwahnya yang sempat terpatri saat kecil kembali tergali.
Kebetulan tahun-tahun itu (1978) di kalangan aktivis PII sedang nge-trend mengikuti LMD (Latihan Mujahid Dakwah) di Bandung yang dipelopori Bang Imad (Imaduddin Abdurrahim). Sebenarnya pelatihan itu khusus untuk level mahasiswa. Tapi karena Wahfiudin ngotot, akhirnya senior-seniornya di PII memberinya rekomendasi untuk mengikuti LMD.
“LMD memberi saya wawasan ilmu agama yang rasional dan ilmiah,” katanya. Sejak usai mengikuti LMD, ia juga bertekad untuk menjadi muslim yang baik dan menguasi minimal dua bahasa asing sebagai modal dakwah.
Obyek dakwah pertamanya adalah tetangga-tetangga di lingkungan rumahnya. Wahfiudin prihatin melihat banyak remaja dan pemuda di kampungnya yang terjerumus dalam minuman keras. Namun karena sebaya, setiap kali ia mengingatkan mereka, Wahfiudin selalu dilecehkan.
Karena “putus asa” menghadapi yang besar, Wahfiudin lalu mengubah strategi dakwahnya dengan mendekati anak-anak kecil. Kepada orangtua-orangtua mereka ia meyakinkan, harus dilakukan pemotongan generasi untuk menghindari penularan kebiasaan buruk remaja kampung itu kepada anak-anak kecilnya. Ia pun meminta izin kepada mereka untuk mengumpulkan anak-anak mereka buat belajar membaca Al Qur’an sambil sedikit-sedikit disisipi dengan nasihat akhlaq.
Ternyata tanggapan mereka sangat positif. Bahkan salah seorang tetangga Wahfiudin menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat pengajian. Untuk memperkaya wawasan keagamaanya, ia sering berkonsultasi ke Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Staf Dewan Dakwah yang sering membimbingnya waktu itu antara lain Ustadz Fauzi Agustjik dan Ustadz Syuhada Bahri.
Tak hanya diberi mentoring dakwah, Wahfiudin juga sering mendapat buku-buku bacaan agama. “Tapi kebanyakan buku karya A. Hassan, tokoh Persis Bandung. Karenanya waktu itu pola pikir saya ala Persis banget. Ini Al Qur’annya, ini haditsnya, lain dari ini salah. Pokoknya jebret…jebret!” katanya sambil memperagakan gerakan silat.
Lama kelamaan pengajiannya semakin besar, sehingga kelompok pengajiannya harus dipecah jadi dua kelompok. Hingga tahun berikutnya, murid pengajiannya telah menjadi 24 kelompok, dan murid senior sudah mulai membantu mengajari adik-adik kelasnya. “Waktu itu belum ada model Taman Pendidikan Al Qur’an seperti sekarang. Alhamdulillah lama kelamaan banyak anak remaja yang juga ikut bergabung, “ kenang Wahfiudin.
Tak hanya di rumah, di sekolahnya ia juga mempelopori pelaksanaan shalat Jum’at di aula yang difungsikan sebagai masjid. Untuk mengadakan peralatan dan perlengkapannya, seperti tikar, mimbar, sound system dan honorarium khatib, Wahfiudin mengajak temang-temannya menggalang dana dari para donatur. “Yang paling banyak membantu saya dan teman-teman waktu itu adalah Yayasan Lampu Iman, yang dipimpin Bapak H.M. Dault (ayahanda Bapak Adhyaksa Dault, Menpora saat ini),” kisahnya.
Shalat Jum’at pertama digelar 35 jamaah dan H.M. Dault bertindak sebagai khatib dan imam. Meski berawal 35 jamaah, lama-kelamaan jum’atan itu semakin ramai oleh karyawan perkantoran di sekitar sekolahnya.
Khatib Pengganti
Terkait Shalat Jum’at di sekolah ini, ada sebuah pengalaman pahit tapi sangat berharga bagi Wahfiudin. Suatu ketika, khatib yang ditunggu-tunggu jamaah tidak datang. Jamaah mulai gelisah. Parahnya saat mengetahui khatib tidak hadir, pukul setengah satu guru agama sekolah itu pergi ke masjid lain. Akhirnya shalat Jum’at hari itu dibatalkan dan diganti shalat Dzuhur berjamaah dengan Wahfiudin sebagai imamnya.
Beberapa waktu kemudian peristiwa itu kembali terulang. Pengalaman itu memacunya mulai belajar berkhutbah secara otodidak. Dan ketika suatu saat seorang khatib berhalangan hadir, ia memberanikan diri menyampaikan khutbah Jum’at dengan bekal buku kumpulankhutbah yang dibelinya di Pasar Blok M.
“Waktu turun dari mimbar, saya merasa lega banget. Wah… ternyata khutbah Jum’at itu tidak sulit, asal kita mengetahui syarat dan rukunnya,” kenang Wahfiudin sambil terkekeh. Sejak itu, setiap kali ada khatib yang berhalangan hadir di sekolahnya, Wahfiudin-lah yang selalu tampil menggantikan.
Selepas STM, semangatnya mendalami agama Islam dan khususnya bahasa Arab dan Inggris semakin menggebu. Dari keterangan beberapa ustadz pembimbingnya, ia mendengar kehebatan pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dalam membekali santri-santrinya dengan dua bahasa Internasional itu. Dengan modal nekat, Wahfiudin lalu pergi ke Ponorogo dan mendaftarkan diri di Pesantren Gontor.
Menaati Ucapan Kiai
Meski lulus tes, tak urung keikutsertaan Wahfiudin yang sudah lulus STM membuat panitia penerimaan santri baru kebingungan menempatkannya. Akhirnya ia dihadapkan kepada pengasuh Gontor waktu itu, K.H. Imam Zarkasyi, yang segera menanyainya, “Kamu sudah lulus STM, ngapain masuk Gontor?”
“Saya mau mendalami agama sekaligus bahasa Arab,” jawab Wahfiudin lugu.
“Tapi di sini kamu akan dimasukkan ke kelas eksperimen dan diberlakukan seperti anak kelas satu SMP. Sayang sekali jika waktu kamu habis terbuang disini,” kata sang Kiai.
Melihat kesungguhan Wahfiudin, Kiai Imam Zarkasyi lalu menyarankan, ”Jika ingin mendalami bahasa Arab, lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan mendaftar ke Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA, kini LIPIA), yang baru saja dibentuk oleh Universitas Ibnu Saud Riyadh. Karena milik pemerintah Saudi, jadi full beasiswa.”
Dengan semangat baru, Wahfiudin pun kembali ke Jakarta dan mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus LPBA, yang waktu itu terletak di Jalan Raden Saleh. Ternyata pendaftarnya ribuan, sementara kursi yang tersedia hanya seratus delapan puluh.
Melihat saingannya rata-rata alumnus pesantren dan madrasah aliyah, tak urung Wahfiudin grogi juga. Tapi akhirnya ia berhasil menembus seleksi.
Kuliah di LPBA, selain membuat Wahfiudin menikmati fasilitas belajar yang terbilang mewah, juga membuatnya cukup berlimpah uang. Betapa tidak, waktu itu ongkos naik bus masih Rp 250, saya sudah mendapat beasiswa sebesar Rp 180 ribu per semester, “kenangnya.
Karena itu, ketika jadwal kuliahnya sudah tidak terlalu padat, ia mendaftar di Akademi Teknik Komputer (ATK, belakangan jadi Bina Nusantara). Jadilah Wahfiudin kuliah ganda, pagi di LPBA dan sorenya di ATK.
Di semester keenamnya di LPBA ia mendapat tawaran kerja dari senior HMI-nya di Rabithah Alam Islami, sebagai asisten Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tentu saja tawaran itu tidak ia sia-siakan, meskipun harus mengorbankan pendidikannya di LPBA.
Karena hanya menekankan hafalan
Ketika ia berpamitan kepada dosen-dosenya di LPBA, ustadz Mamduh (kini doktor) dosen yang paling dekat dengannya, menyesalkan keputusannya keluar dari LPBA. “Kalau saja kamu mau bersabar sedikit, beberapa bulan lagi kamu lulus dari LPBA dan kamu beserta lulusan terbaik lainnya akan dikirim untuk meneruskan pendidikan di Saudi, “kata sang Ustadz.
Tak hanya itu, Ustadz Mamduh juga menunjukkan daftar mahasiswa yang rencananya akan langsung diberangkatkan ke Saudi selepas ujian terakhir di LPBA. Dan benar, nama Wahfiudin ada dalam daftar tersebut, “Sebenarnya ini rahasia, tapi nggak apa-apalah saya tunjukkan ke kamu,” ujarnya.
Hati Wahfiudin sangat gamang. Ia pun bertanya kepada ustadznya, jurusan apa saja yang bisa ia ambil. “Kamu bisa kuliah di Fakultas Bahasa Arab, Tarbiyah, Syariah atau Ushuluddin,”jawab sang ustadz.
Wahfiudin menggeleng, “Saya mau ngambil jurusan teknik perminyakan atau sosiologi, “kata Wahfiudin lagi.
“Jurusan-jurusan itu hanya untuk kalangan-kalangan tertentu. Jangankan orang dari luar, warga Saudi sendiri tidak semuanya bisa kuliah di sana, “jawab ustadznya.
“Kalau begitu saya lebih baik keluar. Buat apa jauh-jauh ke Saudi hanya untuk belajar ilmu agama. Kalau mau ilmu agama, saya lebih baik belajar di Indonesia saja. Saya bisa masuk IAIN atau pesantren, “kata Wahfiudin tegas.
Sang ustadz, yang asli Mesir dan staf kedutaan yang mendampinginya terperangah, “Kenapa begitu?” tanya sang ustadz.
“Tentu saja. Sistem pendidikan agama di Saudi kan hanya menekankan pada hafalan Al-Qur’an dan hadits, tetapi tidak mendidik mahasiswanya untuk berfikir. Kami tidak diajari untuk menelaan masalah, tidak memperluas wawasan,”jawab Wahfiudin. “Kayaknya belajar di sana itu semua mahasiswanya dibilangin, ‘Kau hafalkan dalil-dalil ini, semua yang berbeda dengan ini adalah bid’ah, syirik, khurafat!” ceritanya kepada alkisah.
Ustadz Mamduh menengok koleganya yang orang Saudi asli.
Ternyata sang diplomat tidak marah. Dengan anggukan mafhum, ia berkata, “Yah itulah kelemahan sistem pendidikan kami.”
Akhirnya jadilah ia bekerja di Rabithah. Tugasnya mengkoordinir dai-dai yang direkrut Rabithah untuk diterjunkan ke daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Setiap ada surat konsultasi dari dai di daerah kepada Profesor Rasjidi, dialah yang ditugasi menjawabnya. Perlahan wawasannya semakin bertambah luas.
Dakwah Go Public
Seiring dengan itu dakwah Wahfiudin juga mulai diterima masyarakat, terutama masyarakat perkantoran. Pada tahun 1983, ia sering berceramah di pengajian ba’da Dzuhur dan pengajian after office (usai jam kerja) yang saat itu cukup membudaya di perkantoran Jakarta. Dari jaringan perkantoran itu juga ia sering diundang berceramah ke kantor-kantor cabang di luar kota, bahkan hingga luar jawa.
Tahun 1995, seiring dengan bermunculannya stasiun-stasiun televisi swasta, dakwah Ustadz Wahfiudin pun mulai merambah ke layar kaca. Dimulai dengan kuliah tujuh menit menjelang berbuka, lalu di acara pengajian-pengajian waktu sahur di TPI. Sejak itulah ustadz Wahfiudin mujlai go public dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat.
Berkah lainnya, ia juga mendapat undangan dari luar negeri. Dimulai dari Jerman, lalu Perancis, Malaysia, Amerika dan seterusnya.
Dakwah di negeri asing juga memperkenalkannya dengan tokoh ulama dunia, sperti Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, tokoh Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika. Bahkan, belakangan Syaikh Hisham mengundangnya selama tiga bulan ke negeri Paman Sam untuk menghadiri seminar tasawuf sekaligus mengikuti safari dakwah.
Ihwal kedekatannya dengan dunia thariqah, Kiai Wahfiudin mengaku, bermula pada tahun 1988, saat ia merasakan kekeringan dalam keberagamaannya yang menganut faham Wahhabi. “Sebab faham Wahhabi cenderung menafsirkan segala sesuatu secara harfiah atau tekstual saja,” katanya.
Kiai muda itu pun mulai membuka-buka kembali buku-buku islam tradisional, yang lebih dinamis dan terbuka terhadap pemikiran madzhab, filsafat dan tasawuf. “Keislaman saya perlahan terasa segar kembali dan lebih arif dalam menyikapi segala sesuatu.”
Sejak itu ia merasa, langkahnya terus dibimbing mendekat kepada ulama-ulama besar kalangan tradisionalis. Tahun 1995, misalnya ia mendapat kesempatan mengantar seorang teman muslim dari Jerman berkunjung ke Pesantren Suryalaya dan berjumpa dengan Abah Anom. Setelah melalui serangkaian dialog dengan sang mursyid, Kiai Wahfiudin ditalqin dzikir dan dibay’at masuk Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Setelah itu berturut-turut ia berjumpa dengan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang memeluknya erat-erat sebelum memberikan khirqah, di Makkah, pada musim haji tahun 1996. Lalu dengan Syaikh Hisham Kabbani di Amerika pada akhir tahun 1997, yang kemudian menawarinya menjadi perwakilannya di Indonesia.
Tak hanya itu kesungguhan Kiai Wahfiudin berthariqah belakangan mendapat pengakuan dari guru mursyidnya. Pada tahun 1998, ketika ia tengah berada di Amerika, Abah Anom mengangkatnya menjadi salah seorang wakil talqinnya.
Meski kelihatannya singkat, hanya dua tahun setelah Kiai Wahfiudin pertama kali di talqin dzikir, proses pengangkatannya menjadi wakil talqin melalui proses yang cukup berliku.
Selesai dibay’at, ia keluar dari rumah Abah Anom, ia memborong buku-buku di toko buku Suryalaya dan membacanya di rumah sepanjang tahun itu. Ia berharap akan mendapat banyak ilmu dan pencerahan spiritual dari buku-buku tersebut.
“Sebagai mantan pengikut Wahhabi, saya berusaha mengkunyah-kunyah ajaran tasawuf itu dengan pendekatan rasional dan teoritis,”katanya.
Pencerahan Sejati
Hasilnya, ia memang mendapat banyak ilmu yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dan pentingnya thariqah dalam kehidupan beragama. Namun di sisi lain ia merasa, semua bacaannya belum memberinya tambahan ‘nilai’ dalam qalbunya.
Suami Hj. Rachmajanti dan ayah lima anak itu penasaran. Setahun setelah dibay’at, Pesantren Suryalaya mengadakan Pelatihan Muballigh Tarekat. Dengan penuh harapan, ia pun mendaftar. Namun lagi-lagi ia merasa semua materi pelatihan yang diberikan selama empat hari itu tidak memberinya tambahan ilmu. “Semua yang dismpaikan sudah saya baca di buku-buku yang saya beli,”katanya.
Baru setelah sampai di rumah dan menunaikan shalat lalu berdzikir, ia tersadar. Meski sepertinya tidak mendapatkan tambahan ilmu, ia merasakan ada perubahan medasar dalam hatinya. Ia merasakan ada ‘sesuatu’ yang menggetarkan qalbunya. Lalu ia merenung, mencerna apa yang tengah dialaminya…
“Akhirnya saya baru sadar, selama ini saya hanya membaca dan membaca ilmu thariqah. Tapi tak sekali pun dzikirnya saya amalkan. Saya kelewat bersemagat mencoba mencernanya dengan otak dan logika. Tetapi selama empat hari mengikuti pelatihan saya diajak mengamalkan dzikirnya secara konsisten setia habis shalat fadhu dan sunnah, “ katanya dengan pandangan berbinar.
Ternyata thariqah itu memang untuk diamalkan, kata Wahfiudin, bukannya sekadar dikaji, dibaca atau didiskusikan. “Membaca atau mendiskusikan thariqah tidak akan menambah nilai apa pun dalam spiritualitas kita. Tapi dengan mengamalknnya secara istiqomah, kita akan mengalami perjalanan spiritual dan satu persatu hijab qalbu kita akan terbuka. Saat itulah pengetahuan sejati akan berdatangan dengan sendirinya,” ujarnya.
Sejak itu, seperti mendendam, semua buku thariqah itu ia masukkan lemari dan ia kunci. Kali itu Wahfiudin mencoba lebih memahami thariqah dengan mempraktekkan dan mempraktekkan.
“Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian terbukti. Pengetahuan dan pengamalan spiritual yang saya dapatkan melalui pengamalan itu ternyata jauh lebih banyak daripada semua buku yang saya baca,” katanya.
Kedekatannya dengan Abah Anom juga memberinya pengalaman spiritual menarik. Wahfiudin yakin, dengan keistiqomahannya dalam beribadah dan membimbing umat, Abah Anom adalah salah seorang waliyullah. Baginya, seorang wali adalah orang yang di dalam dirinya terdapat minimal empat hal:
1. Ketekunan dalam beribadah
2. Akhlaq yang mulia
3. Kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya, dan
4. Karomah
Mengenai kriteria yang ketiga, ia pernah memiliki kisah menarik. Suatu hari salah seorang jamaahnya berpamitan padanya untuk pindah mengikuti tarekat lain. Alasannya karena teman-temannya yang mengikuti tarekat lain tersebut banyak yang mendapat pengalaman luar biasa dan kesaktian.
Dengan ringan, Wahfiudin mengatakan, “Silakan…!”
Beberapa bulan kemudian , orang itu datang lagi dan menyatakan kapok, karena tarekat dan mursyid barunya itu tak seperti yang ia bayangkan. Ia ingin kembali kepada Thariqah Qadiriyyah wa Nagsyabandiyyah yang diasuh Abah Anom.
Lagi-lagi sang Wakil Talqin mengatakan, “Silakan…!”
Orang itu lalu menanyakan mengapa dulu Ustadz Wahfiudin mengizinkannya pindah tarekat.
“Alasannya dua,” kata sang ustadz, “Pertama, karena kamu sedang gandrung dengan ilmu kesaktian. Saya larang pun, kamu akan tetap mencari-cari cara untuk mempelajarinya. Kedua, saya juga ingin tahu seberapa tinggi tingkatan guru mursyid barumu itu.”
“Seorang yang juga wali seperti Abah Anom mempunyai kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya…”
Demikianlah K.H. Wahfiudin. Bisa dibilang, ia termasuk orang yang beruntung, karena mendapat kesempatan belajar dari pengalamannya yang luas malang melintang, melintasi beragam sisi keberagamaan. Meski begitu, ia masih belum merasa puas. Ada satu hal menurutnya hingga kini belum ia raih, yakni istiqomah dan ikhlas dalam beribadah. Luar biasa…
Hasil wawancara wartawan majalah alkisah Ali Yahya kepada KH. Wahfiudin, SE, MBA, Mei 2008
Dimuat dalam majalah alkisah No. 12/2-15 Juni 2008 halaman 38-47.
Ditulis ulang oleh Handri Ramadian asisten KH. Wahfiudin, SE, MBA.

Sumber : http://tqn-jakarta.org/berdakwah-mengembara-dan-berthariqah/

Tentang Tahlilan

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Rabu, 08 Mei 2013 | 03.23


TENTANG TAHLILAN HARI KE-3,KE-7 atau KE-40 apakah Bid'ah?



(Dokumen no.214 Pertanyaan Ani Sumarni):
Teman-teman bagaimana pendapat anda tentang kebiasaan masyarakat qt yg suka mengadakan tahlil/membaca yasin di rumah orang yg baru saja mengalami duka krn sanak saudarax meninggal dunia, biasax peringatanx pd hari ke 3 ke 7 atau ke 40 hrx, ada yg mengatakan itu bid'ah mhn pendapatnya!

Wahyu Pratama  :
Budaya selamatan setelah hari kematian seseorang dengan tahlilan dan walimahan—baik dalam 7 hari, 40 hari, 100 hari atau 1000 hari—adalah salah satu budaya masyarakat Nahdhiyyin di Indonesia yang sangat diingkari oleh kaum Wahhabi dan yang sefaham dengannya serta dituduh sebagai budaya bid’ah dan sesat. Berbagai buku yang bermuatan kritik dan hinaan terhadap budaya tersebut banyak ditulis oleh orang-orang menisbatkan dirinya penganut faham salaf atau Wahhabi. Mereka juga mengatakan dan memberi bukti tuduhannya bahwa budaya tersebut adalah warisan budaya agama Hindu, terbukti dengan diadakannya konggres yang dilakukan oleh petinggi-petinggi umat Hindu se-Asia pada tahun 2006 di Lumajang, Jawa Timur. Dan salah satu point pembahasannya adalah membicarakan tentang ungkapan syukur atas keberhasilan menyebarkan budaya acara-acara setelah kematian seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari. (Lihat buku Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para Wali, karangan H. Mahrus Ali ) Berikut ini, akan kami kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar): Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَيَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى “Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’” Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.

 Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah. Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat hujjah.

Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya: v Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat. v Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli. v Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman. v Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut: إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ “Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”

Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah.  Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.” Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).

Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.” Sedangakan menjawab komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2] (tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit. Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.”

Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”

Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ H. Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah para Wali. Mahrus Ali mengatakan bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.

Fatwa as-Suyuthi: Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah: Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah: قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ  قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَقَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ  ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍقاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا  “Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.”Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah sama secara makna.

Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah. Perawi-perawi hadits yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja. Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai: Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur adalah selama 7 hari. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya. As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.” Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman. Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas. Sedangkan untuk menanggapi syubhat dari H. Mahrus Ali yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:

Sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas. Andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:  كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُوَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ “Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”


Read more: http://www.dokumenpemudatqn.com/2012/06/tentang-tahlilan-hari-ke-3ke-7-atau-ke.html#ixzz2Sh9ySa2L
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger