Latest Post

APAKAH ADA BID'AH DI SURYALAYA?

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Rabu, 28 Januari 2015 | 03.37

Tulisan ini terinspirasi setelah membaca hidmat Ilmiah Manaqib Tuan Syekh Abdul Qodir Jailani Qs. di Pondok Pesantren Suryalaya. Salah satu kutipan ceramahnya adalah, "Apakah setelah mati basyarnya, kalian akan lari meninggalkan beliau ? Apakah setelah mati basyarnya, padahal ruhnya tidak mati dan ruhnya terus menjalankan peran kemursyidan, kalian akan lari meninggalkan Suryalaya? Apakah setelah Abah Anom mati basyarnya ruhnya tetap hidup dan terus menjalankan bimbingan ruhani terhadap qalbu-qalbu kita, kalian akan meninggalkan amaliah beliau? 
Apakah kalian akan manambah-nambah ajaran beliau? 
Apakah kalian merasa perlu mencari orang lain pengganti beliau? 
Apakah kalian akan meninggalkan Muhammad SAW hanya karena beliau terbunuh?".

Perdebatan di kalangan para Ulama seputar masalah Bid'ah sampai sekarang tidak ada habis-habisnya, sebagian mengatakan bid'ah adalah sesat, maka tempatnya di Neraka. Sebagian lagi mengatakan bid'ah terbagi menjadi dua, yaitu; Bid'ah Dholalah dan Bid'ah Hasanah. Baiklah mari kita cermati pengertian singkat tentang bid'ah berikut ini.

Sabda Rosulululloh Saw.: Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Golongan Pertama
Berdasarkan hadist tersebut maka bid'ah (setiap) dikatakan sesat. Mengada-adakan sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad Saw.itu adalah bid'ah, contoh; doa qunut subuh, membaca usholli ketika memulai sholat, peringatan maulid, nuzul qur'an, sholat tarowih 20 rakaat, isro' mi'raj, dll. Bagi golongan ini melaksanakan hal tersebut haram hukumnya dan harus di "perangi", tidak boleh berkembang di dalam umat Islam. Kelompok ini diantaranya, adalah; paham wahabi yang berkembang di Arab, serta kelompok-kelompok lainnya seperti; 'hizbut tahrir', jamaah 'salafi', sebagian 'PKS', 'Persis', 'Muhammadiyah', dll. Tokoh utamanya ialah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama pendukungnya. Mayoritas kelompok ini bermazhabkan Imam Ahmad Ibnu Hambal di bidang Fiqih.

Golongan Kedua
Mereka membagi pemahaman bid'ah menjadi dua, yaitu; bid'ah hasanah dan bid'ah dholalah. Bid'ah hasanah adalah sesuatu perkara yang baru namun perkara tersebut perkara yang baik (terpuji). Sedangkan bid'ah dholalah adalah sesuatu perkara yang baru namun bertentangan dengan ajaran pokok Islam (Syar'i). Kesimpulannya kelompok ini menerima bid'ah dalam kategori hasanah seperti disebut dalam contoh di atas dan menolak hal baru yang bertentangan dengan aqidah/syari'ah Islam. Kelompok ini adalah Ahlussunnah Waljamaah, seperti; NU, dan kelompok Thoriqoh dalam Tashowwuf (Sufi). Tokoh utamannya ialah Hujatul Islam Imam Ghazali, Syekh Abdul Qodir Jailani, dll. Umumnya kelompok ini bermazhabkan Imam Syafi'i di bidang Fiqih.

Berdasarkan penjelasan singkat tersebut di atas, maka dapat dipastikan pemahaman TQN Pondok Pesantren Suryalaya adalah berada dalam pemahaman yang kedua, yaitu memahami bid'ah dalam dua terminologi. Artinya TIDAK MEMBID'AHKAN SESUATU (AJARAN) YANG BARU setelah wafatnya GURU MURSYID.

Maka kalau ada yang berpendapat bahwa, ajaran Guru Mursyid terdahulu tidak boleh ditambah (diperbaharui) dan beranggapan telah sempurna untuk selamanya, paham tersebut menyalahi PEMAHAMAN BID'AH di kalangan AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH.

Sabda Rosululloh Saw. "Ulama adalah penurus para Nabi". Risalah akan terus berlanjut sampai hari kemudian, silih berganti, membimbing umat dari masa ke masa sesuai dengan masanya masing-masing.

Bibarokati ahli silsilah TQN PPS, wabil khusus Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul, Qs. Al Faatihah.....

Tafaku Pecinta Kesucian Jiwa
Januari 2015

Saat Imam Ahmad Menangis Di Majelis Seorang Sufi

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Rabu, 14 Januari 2015 | 02.46

Imam Ahmad bin Hambal dikenal termasuk ulama yang sensitif terhadap hal-hal yang berbau bid’ah. Di zamannya, ada seorang ulama Sufi yang sangat kesohor, yaitu Imam al-Harits al-Muhasibi. Diantara keduanya dikenal terdapat perselisihan. Namun bukan itu yang akan kita tulis di sini. Akan tetapi kita akan coba melihat betapa Imam Ahmad meskipun memiliki perbedaan dengan ulama lain, namun beliau tidak dapat mengingkari kebenaran yang ada pada ulama tersebut.

Imam al-Khatib al-Bagdadi dalam tariknya, dan Imam Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad dan Shaid al-Khatir, meriwayatkan dengan sanad sahih, dari Ismail bin Ishak al-Sarraj, dia berkata,

“Suatu hari Ahmad bin Hanbal pernah berkata kepadaku: “Aku mendengar kabar bahwa al-Harits al-Muhasibi memiliki jamaah membludak. Apakah bisa kamu mengundangnya ke rumahmu dan menyediakan untukku tempat duduk sekiranya ia tidak dapat melihat keberadaanku, sehingga aku bisa mendengarkan ceramahnya?” Aku menjawab: “Baik wahai Abu Abdillah, akan saya laksanakan.” Sungguh permintaan Abu Abdillah (Imam Ahmad) ini membuatku senang. Kemudian aku pergi menemui al-Harits al-Muhasibi dan memintanya untuk datang ke rumahku pada malam itu juga. Aku memintanya agar mengajak jamaahnya juga. Ia berkata: “Wahai Ismail, jamaahku sangat banyak. Jangan terlalu repot menyediakan jamuan, cukup air minum dan kurma saja.” Lantas aku pun menyediakan sesuai permintaannya

Setelah itu, aku menemui Abu Abdillah dan mengabarkan mengenai hal itu. Ia pun datang ke rumahku ba’da Magrib. Lantas ia masuk ke kamar bagian atas di rumahku dengan terus membaca wiridnya hingga selesai. Kemudian datanglah al-Harits al-Muhasibi. Mereka langsung makan, lantas menunaikan shalat Isya’ tanpa langsung menunaikan shalat sunnah ba’diyah. Mereka duduk di hadapan al-Harits dengan sangat khusyuk, tak terdengar satu pun yang berbicara hingga pertengahan malam. Lantas ada seorang jamaah yang bertanya tentang suatu permasalahan. Al-Harits pun akhirnya menjawabnya dengan panjang lebar, sedangkan jamaahnya diam khusyuk seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung. Diantara mereka ada yang menangis dan ada yang pingsan saat al-Harits tengah menjelaskan permasalahan yang ditanyakan.

Kemudian aku naik ke kamar atas untuk melihat keadaan Abu Abdillah, ternyata ia juga menangis tersedu dan diam tertegun. Lantas aku pun kembali ke majelis dan mereka tetap dalam kondisi yang sangat  khusyuk itu hingga waktu Subuh pun tiba. Kemudian mereka menunaikan shalat Subuh, lantas pulang ke rumah masing-masing. Aku naik dan menemui Abu Abdillah, dan keadaannya sudah berubah. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut Anda wahai Abu Abdillah?”. Dengan penuh kekaguman –ia menjawab: “Aku tidak pernah melihat kumpulan orang-orang seperti ini sebelumnya. Dan aku tidak pernah mendengar ilmu hakikat seperti yang telah disampaikan oleh lelaki ini. Berdasarkan apa yang saya dengar dan lihat kondisi mereka, maka sebaiknya kamu tidak berteman dengan mereka.” Kemudian ia berdiri dan keluar rumah.” (Tarikh Bagdad 8/214, Manaqib Imam Ahmad, hlm: 185).

Terkait pernyataan Imam Ahmad agar tidak berteman dengan al-Harits al-Muhasibi dan jamaahnnya, Imam Tajuddin al-Subki dalam Thabaqât al-Syafiiyyah dan Imam al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib, menjelaskan bahwa Imam Ahmad melarang untuk berteman dengan mereka lantaran beliau mengetahui akan maqâm (kedudukan/kondisi) mereka yang sangat sempit dan tidak dapat dilalui oleh sembarang orang. Dan beliau tahu orang yang berjalan di dalamnya tidak akan benar-benar mampu memberikan haknya. (disarikan dari kitab Risâlah al-Mustarsyidîn, tahkik dan komentar Abdul Fattah Abu Ghuddah). Saifullah/mosleminfo.com)

Sumber : http://mosleminfo.com/islamia/tasawuf/saat-imam-ahmad-menangis-di-majelis-seorang-sufi/
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger