Home » » MENELISIK KONSEP NEGARA KESEPAKATAN (Perjuangan di balik Pencalonan KH. Ma'ruf Amin

MENELISIK KONSEP NEGARA KESEPAKATAN (Perjuangan di balik Pencalonan KH. Ma'ruf Amin

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Selasa, 23 Oktober 2018 | 02.27


Menelisik Konsep Negara Kesepakatan
Pejuangan di Balik Pencalonan KH. Ma’ruf Amin.

Pada hari Sabtu pagi yang cerah, di sebuah Pondok Pesantren di Kawasan BSD Tangerang Selatan, seperti biasa di tempat ini setiap bulan diadakan Pengajian Manaqib Tuan Syekh Abdul Qodir Jailani, Qs. Namun tidak seperti biasanya, pada manaqiban kali ini dihadiri oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. DR (HC) KH. Ma’ruf Amin, beliau datang ingin bersilaturahmi dengan Mursyid TQN PPS ke-38, Hadrotus Syekh Pengersa Abah Aos Qs.

Kedatangan beliau ini, selain silaturahmi tentunya ada kaitannya dengan pencalonan beliau sebagai Calon Wakil Presiden yang berpasangan dengan Presiden RI Bapak Ir. H. Joko Widodo. Meski demikian, kunjungan beliau ini tidak terkait langsung dengan pencalonan beliau tersebut. Namun jauh hari sebelum kedatangan beliau ini, Hadrotus Syekh Pangersa Abah Aos telah mengeluarkan Maklumat yang isinya mendukung pencalonan KH. Ma'ruf Amin tersebut, dan akan memilihnya pada saat Pilpres 2019. Keputusan Pangersa Abah Aos ini tentu saja ada dasarnya, yakni Tanbih (peringatan) dari Hadrotus Syekh Abah Sepuh yang telah disampaikan oleh Hadrotus Syekh Abah Anom lebih dari 62 tahun yang lalu (1956), yang isinya taat kepada Agama dan Negara.

Pada kesempatan ini, KH. Ma'ruf Amin didaulat untuk menyampaikan Hidmat Ilmiah Manaqib. Dalam hidmat ilmiahnya, setidaknya ada tiga hal pokok yang disampaikan, pertama Kiyai Ma’ruf memaparkan kiprah para Ulama Thoriqoh (Mursyid) dalam membimbing umat agar menjadi manusia yang sempurna (insan kamil), beliau menyebut gerakan thoriqoh itu sebagai gerakan untuk menyempurnakan manusia (harokah ta’wiliyah insaniyah) atau paling tidak mendekati sempurna. Peran dari Mursyid adalah agar supaya kita menjadi manusia yang memiliki At-Tashfiyah wa At-Tazkiyah, yakni dengan berdzikir kita membersihkan dari sirik yang jelas (Jali) maupun sirik yang samar (khafi), dan membersihkan diri kita dari sifat-sifat madzmumah (tercela) menuju kepada sifat yang terpuji (mahmudah). 

Oleh karena itu, para ulama ahli thoriqoh sangat luar biasa besar jasanya dalam mendidik manusia menjadi manusia yang sempurna atau mendekati sempurna. Seperti yang sudah dituliskan di dalam sejarah perjuangan bangsa, bahwa para ulama ahli thoriqoh senantiasa bekerja, berbuat, beramal untuk menjaga Agama dan menjaga Negara. Oleh sebab itulah maka ketika beliau diminta untuk menjadi calon Wakil Presiden, dan sesuai dengan keputusan Nahdhatul Ulama (NU) bahwa beliau harus menerimanya, maka walau dengan berat hati karena harus mundur dari Rois ‘Am PBNU, tawaran beliau terima dengan lapang dada. 

Beliau menceritakan bahwa untuk menjadi calon wakil presiden beliau sendiri tidak menduganya dan tidak juga mempersiapkan diri sebelumnya, seperti juga dulu ketika dipilih menjadi Rois ‘Am PBNU, beliau tidak mencalonkan diri dan juga tidak dicalonkan, min haitsu laa yahtasib, kata beliau.. Bahkan kata beliau, Presiden Jokowi bisa saja memilih dari kalangan politisi atau professional, tapi beliau lebih memilih kiyai Ma’ruf yang notabene dari kalangan Kiyai dan Santri, itu artinya Pak Jokowi merasa nyaman berdampingan dengan kiyai dan santri. Hal senada juga disampaikan oleh pengersa Abah Aos, bahwa orang yang menyukai orang baik maka ia akan terbawa menjadi orang baik.

Yang kedua, beliau memaparkan konsep tentang Negara Republik Indonesia (NRI), menurut beliau Indonesia adalah Negara Kesepakatan (Darul Miitsaq), bukan Negara Islam (Darul Islam), juga bukan Negara Kafir (Darul Kufri) atau Negara Perang (Darul Harbi). Sehingga Negara Kesepakatan ini harus kita dijaga, maka atas dasar itulah Kiyai Ma’ruf akhirnya menerima tawaran untuk menjadi Wakil Presiden, istilah beliau, pindah jalur, yaitu dari jalur kultural kepada jalur struktural, yang tugasnya sama yaitu untuk himayatu ad-diin wa himayatul daulah (menjaga agama dan menjaga negara) ‘alaa thoriqoti (menurut jalan) ahlussunnah wal jama’ah juga untuk melakukan penguatan umat melalui pembangunan-pembangunan dan peningkatan ekonomi umat. 

Negara kesepakatan ini harus dijaga agar supaya tidak terjadi kegaduhan, karena ada orang yang ingin mengganti/merubah bahkan dengan cara-cara yang radikal. Sehingga kalau sampai hal ini terjadi maka kita akan mengalami seperti di Syiria, Libya, Afganistan dan negara timur tengah lainnya, yang akan membuat Indonesia hancur dengan konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu Negara ini harus dikembalikan kepada kesepakatan nasional kita yaitu miitsaq (kesepakatan) awal kita dalam membentuk negara ini yang sudah dilakukan oleh para ulama. Kata beliau kita haru kembali kepada kesepakatan awal (ar-ruju’ ilal miitsaq wa ar-ruju’ ilal maghda), yakni kembali kepada prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945. 

Memang ada yang mengatakan, bahwa Pancasila itu thoghut, akan tetapi menurut beliau (kiyai ma’ruf), Pancasila adalah titik temu antara berbagai komponen bangsa, bagi kaum nasionalis Pancasila adalah kebangsaan yang relegius, tapi bagi kita umat Islam Pancasila adalah berkebangsaan yang bertauhid, karena berketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan UUD 45 adalah kesepakatan nasional atau kesepakatan bangsa (ittifaqoh wathoniyah). Oleh karena Pancasila dan UUD 45 itu adalah hasil dari kesepakatan, maka beliau menyebutnya dengan Negara Kesepakatan (darul miitsaq), karena dalam Al Qur’an ada ungkapan ayat yang berbunyi, “wa inkaana ,in qaumi bainakum wa bainahum mitsaaqun fadiyatum-musallamah ilaa ahlihi” (jika ada yang terbunuh dari kaum kafir yang ada penjanjian damai antara mereka dan kamu, maka kamu (yang membunuh) hendaklah membayar diyat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya). 

Dengan demikian artinya, semua yang tidak sesuai dengan miitsaq harus dicegah agar supaya tidak menimbulkan kegaduhan-kegaduhan atau konflik nasional. Maka dari itu, ketika ada yang mengusung konsep khilafah, meskipun khilafah itu juga islami, sebab memang ada di dalam sejarah Islam sistem khilafah, yaitu khilafah utsmaniyah dan Abbasyiah, namun oleh karena adanya kesepakatan tersebut maka secara otomatis sistem khilafah di Indonesia menjadi tertolak.

Sebab konsep Negara dalam Islam itu bukan hanya khilafah satu-satunya, tapi ada juga yang berbentuk kerajaan, seperti Saudi Arabia dan Yordania. Juga ada yang berbentuk ke-amir-an, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Abu Dhabi, juga berbentuk Republik, seperti Indonesia, Mesir, Pakistan dan Turki. Jadi semua itu Islami asal dilakukan sesuai dengan prisip-prisip agama Islam. Di Indonesia sistem kerajaan, keamiran, dan khilafah tertolak bukan karena persoalan islami atau tidak islami, akan tetapi karena tidak sesuai dengan kesepakatan atau menyalahi kesepakatan (mukholafatul mitsaaq). 

Kalau dilihat dari konsep Negara Kesepakatan, sejak pada tahun 622 M, Rosululloh Saw. di Madinah telah membuat kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah. Rosululooh Saw. Bersabda, “Man qotala mu’aadan lahu dzimmatullohi wa dzimmatur rosuulihi lam yaroh roo-ihatul jannah” (Barang siapa membunuh orang kafir mu’ahad yang berada dalam perlindungan Alloh dan perlindungan Rosul-Nya, maka dia tidak dapat mencium harumnya surga).

Dari paparan beliau dia atas saya (penulis) menarik benang merah antara keduanya berdasarkan kajian dalam ilmu kalam (ilmu tauhid). Dalam sejarah (siroh) di masa kekhalifahan sayyidina ‘Ali bin Abu Tholib Kw. Pernah terjadi perang Jamal (35 H/656 M) antara pasukan ‘Ali Kw. dan ‘Aisyah ra yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang kemudian disusul dengan perang Shiffin (36 H/657 M) antara pihak ‘Ali Kw. dan Mu’awiyah. 

Dalam perang Shiffin tentara Mu’awiyah terdesak, sehingga pihak Mu’awiyah meminta berdamai dengan mengangkat Al Quran ke atas kepala. Qurro yang ada dipihak ‘Ali mendesak ‘Ali agar menerima tawaran itu. Maka disepakatilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase atau Tahkim. Dalam arbitrase ini diangkat dua orang pimpinan delegasi sebagai arbitter, yakni Amr bin al-Ash (pihak mu’awiyah) dan Abu Musa Al-’asy’ari (pihak ‘Ali). 

Dalam perundingan ada kesepakatan untuk memilih khalifah yang baru akan diserahkan kepada umat dengan terlebih dahulu mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, lalu keduanya berjalan ke tengah hadirin yang menunggu hasil kesepakatan (tahkim), dan Amru bin Ash sudah sejak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy’ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasan lebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata, “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin tentang kesepakatan kita”. Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdo’a semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”. 

Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy’ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Lalu di hadapan hadirin kedua kubu delegasi, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga oleh Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash berbicara, di hadapan semua hadirin, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”. 

Dari segi politik perang  Jamal dan perang Shiffin merupakan titik hitam yang menodai sejarah perjalanan Islam. Di sisi lain peperangan itu, khususnya perang Shiffin, justru menjadi penyebab munculnya golongan-golongan di kalangan umat Islam dan aliran-aliran dalam Teologi (Ilmu Kalam).

Arbitrase atau tahkim yang terjadi pada perang Shiffin ini kemudian ditolak oleh sekelompok pengikut ‘Ali Kw, sehingga kelompok ini memisahkan diri dari barisan ‘Ali dan membentuk kelompok sendiri bernama Khowarij. Mereka mempermasalahkan ‘Ali yang telah menerima ajakan arbitrase dari Mu’awiyah. Bagi mereka laa hukma illalloh (tidak ada hukum yang dapat ditetapkan kecuali berdasarkan hukum Alloh), mereka berdalil dengan Firman Alloh dalam Surat Al Maaidah ayat 44. Kelompok ini mudah mengkafirkan yang berjalan diluar hukum-hukum Alloh, terlebih kepada yang konsekuensinya membawa dosa besar (murtakib al kabaair). Bahkan ada sekte meraka yang mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. (Mustafa Al-Ghuraby, 1959). Sedangkan kelompok Abu Musa al Asy’ari kemudian dikenal dengan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah (Al Asy’ariyah).

Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa kaum khawarij atau juga yang sepaham dengannya tentu saja akan menolak bentuk negara kesepakatan sebagaimana dipaparkan oleh Kiyai Ma’ruf Amin, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu yang menjadi latar belakangi perjuangan Kiyai Ma’ruf Amin, yaitu dalam rangka menjaga agama menurut paham ahlussunnah wal jamaah yakni menjaga Agama dan Negara. Sebab banyak contoh, seperti di Iran, dahulunya Negara tersebut berpahamkan Ahlussunnah wal jamaah, terbukti adanya Al Imam Ghazali at Thus, Abil Qosim al Isfahani (pengarang kitab Fathul Qorib, syarah kitab Taqrib), Abu Ishaq al Isfarani, itu semua ulama ahlussunnah wal jamaah, tetapi sekarang sudah bukan ahlussunnah wal jamaah lagi karena kekuasaannya memihak kepada Syi’ah. 

Begitu pula di Arab Saudi, dahulu banyak ulama kita dari Nusantara mejadi Imam di Mekkah seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas ibn Abdul Ghafar as-Sambasi, Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Tolhah Kalisapu, Cireboni, Syekh Abdussomad al-Palimbani, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Syekh Muhammad Kholil al Maduri, dll., tapi sekarang Negara tersebut menjadi paham Wahabi, sebab paham Wahabiah didukung oleh kekuasaan yang ada di Arab Saudi saat ini. Oleh karena itu maka menjadi kewajiban para ulama di Indonesia untuk menjaga agama berdasarkan paham ahlussunnah wal jamaah (himayatud-diin ‘ala thoriqotil ahlussunnah wal jamaah). Dengan demikian menjadi tugas kita semua untuk mengawal dan mengamankan jangan sampai kekuasaan dipengaruhi atau dikuasai oleh yang anti terhadap Ahlussunnah wal Jamaah.

Tujuannya adalah untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera dengan konsep ekonomi ala Fathul Mu’in dan Al Qur’an, yaitu wa min furudhul kifayah, daf’ul dhororin, artinya di antara persoalan fardhu kifayah itu, ialah menghilangkan bahaya kelaparan. Jangan sampai umat tidak makan, sebab kalau sampai tidak makan itu bukan lagi fardhu kifayah tapi fardhu ‘ain. Jadi mencegah bahaya kekurangan pangan dan sandang, dan sejenisnya seperti kurang pelayanan kesehatan dan pendidikan baik dari orang muslim maupun non muslim (minal muslimin au dzimmiyyin) itu hukumnya minimal fardhu kifayahKalau sampai terjadi bahaya yang demikian maka kita semuanya berdosa baik muslim maupun non muslim.

Nah dalam kontek itulah beliau bertekad ingin menghilangkan bahaya kelaparan tersebut, agar supaya negeri ini bebas dari kemiskinan. Itulah konsep ekonomi yang ada di dalam kitab Fathul Mu’in. Kemudian lebih jauh, KH. Ma’ruf Amin mengutip ayat al Quran Surat Al Hasyr ayat 7, “kaylaa yakuuna duulata bainal aghniyaa-i”, yang artinya, "Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja". Oleh karena itu, harta kekayaan negara ini harus didistribusikan ke seluruh lapisan masyarakat jangan ada kesenjangan-kesenjangan sosial.

Maka untuk itu, beliau membawa konsep ekonomi yang beliau namakan dengan “arus baru” ekonomi Indonesia. Arus baru maksudnya, konsep ekonomi yang lama itu memperkaya konglomerat, maksudnya sebenarnya agar kekayaan itu bisa mengucur ke bawah (top down), namun ternyata tidak netes-netes ke  bawah, yang di atas makin kuat sementara yang di bawah semakin lemah, maka dari itu sekarang kita balik model pembangunannya dari bawah ke atas (buttom up), maksudnya untuk menguatkan yang lemah, bukan melemahkan yang kuat dengan cara membangun mitra antara yang kuat dan yang lemah, sehingga ekonomi negara ini pada akhirnya menjadi ekonomi yang berkeadilan, sesuai dengan sila ke lima Pancasila, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan cara menghilangkan kesenjangan (disparitas) antara yang lemah dan yang kuat, yang miskin dan yang kaya, antara daerah satu dengan daerah lainnya, dan antara produk-produk nasional dengan produk-produk luar negeri melalui memaksimalkan potensi yang ada (maximize utility), yaitu memberi nilai tambah dari produk-produk rakyat, seperti yang dicontohkan oleh beliau harga coklat di Sulawesi Selatan seribu rupiah dijual ke Singapura, lalu diolah kemudian dijual kembali ke Indonesia dengan harga dua puluh ribu rupiah. Selisih harga sembilan belas ribu itulah yang dimaksudkan dengan nilai tambah untuk rakyat Indonesia, yang selama ini dinikmati oleh negara Singapura. Demikian juga dengan produk kopi, kita jual seharga tujuh puluh lima ribu rupiah, diolah oleh starbuck, lalu dijual ke kita secangkir lima puluh ribu rupiah, sedangkan satu kilogram kopi bisa lima puluh cangkir kopi, selisihnya bisa mencapai dua juta sembilan ratus ribu rupiah dinikmati oleh starbuck, untuk itu ke depan selisih tersebut harus diberikan kepada rakyat Indonesia.

Selain daripada itu, pembangunan sumber daya manusia juga harus ditingkatkan dari human resource (potensi sumber daya manusia) menjadi human capital (sumber daya manusia yang handal) dengan cara memberikan pendidikan-pendidikan dibidang ekonomi dan usaha mandiri, serta semangat (spirit). Sebab spirit itu penting, sebagai contoh perhelatan Asian Games, dengan adanya spirit maka perolehan emas melebihi target yang ditetapkan. Spirit tersebut dengan cara wa man jaahadu fiinaa linahdi yannahum subulanaa (barangsiapa bersungguh-sungguh berjuang, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami).

Demikianlah kutipan singkat yang disarikan dari hidmat ilmiah beliau, dimana apa yang disampaikan sangatlah sejalan dengan Hadrotus Syekh pangersa Abah Aos, Qs, sebagaimana juga Hadrotus Syekh pengersa Abah Anom untuk menjaga Agama dan Negara sebagaimana wasiat (tanbih) dari pengersa Abah Sepuh, Hadrotus Syekh Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad Qs.

Selasa, 23-10-2018
Penulis : Mahmud Jonsen, S.H., M.Si
Dosen PAI dan PKN / Universitas Pramita Indonesia

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger