PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN
TINDAK PIDANA, UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA, SYARAT MELAWAN HUKUM,
KESALAHAN, PERCOBAAN (POOGING), GABUNGAN TINDAK PDANA (SAMENLOOP) DAN
PENYERTAAN
Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana
yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa
kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
- Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka
telah melanggar larangan tersebut.
Dalam
ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah
“hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang
digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut
beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan
Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena
istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah
tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga
dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan
sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka
perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat
menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak
pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut
sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak
pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Unsur formal meliputi :
- Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
- Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
- Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
- Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
- Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
Unsur material dari tindak pidana
bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan
oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi
meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila
tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu
tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana
dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak
pidana. Unsur ini meliputi :
- Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
- Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
- Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk
mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang
menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan
(Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP).
Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
- Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
- Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :
- Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
- Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
- Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)
- Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
- Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).
C. SYARAT MELAWAN HUKUM
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum
apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh
hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum
karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal 51 KUHP. Sifat
dari melawan hukum itu sendiri meliputi :
a. Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
b. Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan
tersebut tidak selalu harus diatur dalam sebuah undang-undang tetapi
juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat.
Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi :
- Fungsi negatif yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
- Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum
dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat dibuktikan. Jika unsure
melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka
hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki
fungsi negative maka hal itu tidak perlu dibuktikan.
D. KESALAHAN
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada
dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian
apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana
sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah
dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan
salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur
kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana
terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang
disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka
berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan
mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak
yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang
dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan
kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat
dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan
itu.
Jika unsur kehendak atau menghendaki dan
mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat
dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan
kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka
pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan
melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan
kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta
tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum
yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld.
Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga
terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang
berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak
diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan
sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan
sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat
tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini,
unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan
yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang
ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat
menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat
yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat
dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang
timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan
hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu,
maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan
pidananya itu.
E. PERCOBAAN (POOGING)
Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
- Ada perbuatan permulaan;
- Perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai;
- Tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri
Sifat Percobaan, terdapat 2 pandangan:
- Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) sehingga, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang berdiri sendiri (delictum sui generis), tetapi dipandang sebgai bentuk delik tidak sempurna (onvolkomendelictsvorm). Dianut: Hazewinkel‐Suringa, Oemar Seno Adji
- Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan). Sehingga, percobaan dipandang sebagai delik yang sempurna (delictum sui generis)hanya dalam bentuk yang istimewa. Dianut: Pompe, Muljatno
Percobaan adalah suatu usaha untuk
mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum
berhasil. Percobaan atau poooging diatur dalam Bab IX Buku I
KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti
atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai
kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan. Yang dapat
dipidana, hanyalah percobaan terhadap kejahatan dan tidak terhadap
pelanggaran (pasal 54)
Sanksi untuk percobaan berbeda dengan
delik yang sempurna. Yakni maksimum pidana yang dijatuhkan terhadap
kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3.
Syarat‐syarat untuk dapat dipidananya percobaan adalah sebagai berikut:
- Niat;
- Adanya permulaan pelaksanaan;
- Pelaksanaan tidak selesai bukan semata‐mata karena kehendaknya sendiri;
Menurut Moeljatno berpendapat bahwa niat
jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secra potensial bisa
berubah menjadi kesengajaan apabbbbla sudah di tunaikan menjadi
perbuatan yang dituju. Pengertiannya :
- Semua perbuatan yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan tetapi akibat yang dilarang tidak timbul
- Kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada percobaan.
- Oleh karena niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan maka isinya niat jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila kejahatan timbul untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu jadi bahwa sudah ada sejak niat belum ditunaikan.
- Harus ada permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak dicantumkan: Permulaan pelaksanaan.
- Menurut mut harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan kejahatan.
Jenis-jenis dalam percobaan terdiri atas :
1. Percobaan selesai atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu suatu
percobaan apabla sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk
menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas
kehendaknya. Contoh : seorang A menembak B tetapi meleset.
2. Percobaan tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan
apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya
tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan
tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
3. Percobaan tidak mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena :
- Alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
- Obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Oleh karena itu dikenal 4 bentuk percobaan tidak mampu :
- Percobaan tidak
mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali
menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat
dipakai.
- Percobaan mutlak
karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak
pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek
tindak pidana.
- Percobaan relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya tidak dapat dipakai.
- Percobaan relatif
karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek
tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang
bersangkutan.
4. Percobaan yang dikualifikasikan
Yaitu untuk melakukan
suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana
yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau
tersendiri.
F. PENYERTAAN
Pengaturan mengenai penyertaan dalam
melakukan tindak pidana terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal
56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara
yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan tindak pidana
dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana.
Menurut Van Hamel dalam Lamintang mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah[1])
: “Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan
suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian
pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut
rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara
sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua
orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis
(intelektual) maupun secara material”.
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat atau Dader
Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan[2]).
Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang
pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat
itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan
orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak
pidana. Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
- Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum[3]).
- Yang menyuruhlakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor intellectualis[4]). Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu. Menurut Simons, syarat-syarat tersebut antara lain[5]) :
1) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2) Apabila orang
yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang
bersangkutan (dwaling).
3) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.
5) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau
di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana
orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6) Apabila orang
yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah
melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut
diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah
semacam itu.
7) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau
suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang
yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
- Yang turut serta (medepleger). Menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.
- Penganjur (uitlokker) adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan[6]).
2. Pembantu atau medeplichtige
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
- Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
1). Pada pembantuan
perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut
serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2). Pada pembantuan,
pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja
sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam
turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana,
dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3). Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4). Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.
- Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat
yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih
ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman
maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana
penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
- Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
- Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
- Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
- Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
- Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).
G. GABUNGAN TINDAK PDANA (SAMENLOOP)
Gabungan tindak pidana (samenloop van starfbare feiten) terdiri atas tiga macam gabungan tindak pidana, yaitu :
- Seorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “ gabungan berupa satu perbuatan” (eendaadsche samenloop), diatur dalam pasal 163 KUHP.
- Seorang melakukan bebrapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu sama lain, dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan (Voortgezette handeling), diatur dalam pasal 64 KUHP.
- Seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakn “gabungan beberapa perbuatan “(meerdaadsche samenloop), diatur dalam pasal 65 dan 66 KUHP.
[1]). P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 594.
[2]). Ibid., hlm. 585.
[3]). Ibid, hlm. 599.
[4]). Ibid, hlm. 610 – 611.
[5]) Ibid.
[6]) Ibid.
Sumber : http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/
Posting Komentar