Latest Post
00.50
Putusan MK Tentang Ketenagakerjaan
Written By Mahmud J. Al Maghribi on Jumat, 22 Februari 2013 | 00.50
Mengutip artikel Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru?pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengubah isi suatu pasal atau suatu ayat dan undang-undang yang dimintakan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), dalam hal ini adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). MK hanya memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat UUK yang dimohonkan pengujiannya.
Sampai tulisan ini dibuat, telah ada sebanyak 7 (tujuh) putusan MK yang berkaitan dengan UUK. Dari 7 putusan tersebut, 1 (satu) putusan menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya, dan 6 (enam) putusan menyatakan menerima permohonan. Dari 6 putusan tersebut, sebagian menyatakan pasal/ayat UUK tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan sebagian lagi menyatakan pasal/ayat UUK tertentu tetap berlaku sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan MK.
Di bawah ini kami sajikan informasi mengenai 6 putusan MK berkaitan dengan pengujian UUK terhadap UUD 1945 yang menerima permohonan pemohon. Informasi di bawah ini kami olah kembali dari laman resmi MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id) dan buku Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang Hukum Ketenagakerjaan yang ditulis Juanda Pangaribuan, S.H., M.H.:
No.
|
No. Putusan
|
Pasal yang Dimohon untuk Diuji
|
Amar Putusan
|
1
|
Seluruh Pasal UUK
|
Menyatakan UUK:
• Pasal 158;
• Pasal 159;
• Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”;
• Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;
• Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;
• Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)…”; bertentangan dengan UUD 1945;
Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” UUK tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
| |
2
|
Pasal 120 ayat (1) UUK, Pasal 121 UUK
|
• Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UUK bertentangan dengan UUD 1945;
• Menyatakan Pasal 120 ayat (3) UUK konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang:
frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikatpekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh”, dan ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
• Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
• Menyatakan Pasal 120 ayat (3) UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang: frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
| |
3
|
Pasal 155 ayat (2) UUK
|
· Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UUKadalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
· Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UUKtidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
| |
4
|
Pasal 59, 64, 65, dan 66 UUK
|
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UUK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
| |
5
|
Pasal 164 ayat (3) UUK
|
• Menyatakan Pasal 164 ayat (3) UUK
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa“perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
• Menyatakan Pasal 164 ayat (3) UUK
pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
| |
6
|
Pasal 169 ayat (1) huruf c UUK
|
• Pasal 169 ayat (1) huruf c UUK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
• Pasal 169 ayat (1) huruf c UUK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
|
Jadi, putusan MK tidak untuk mengubah isi pasal atau ayat dalam undang-undang, termasuk UUK, tetapi memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat undang-undang yang diajukan pengujiannya terhadap UUD 1945 tersebut.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Label:
hukum perburuhan
19.34
Inventarisasi masalah :
Perlu diingatkan kembali bahwa pernyataan tersebut sudah mempunyai dasar hukum yang valid,sehingga keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi.
Untuk menjawab pertanyaan,apakah ketentuan diatas hanya berlaku untuk karyawan yang berstatus harian saja,sedang bagi yang berstatus bulanan ti-dak,dapat dipelajari kembali Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Trans-migrasi RI No.SE.01/MEN/1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
Namun demikian, ketentuan tersebut,tidak dapat diberlakukan secara absolute dan ekstrim, oleh karenanya Undang Undang No.13/2003 memberikan kelong-garan tentang diperbolehkannya untuk tidak masuk kerja dan tetap dibayar upahnya oleh pengusaha dengan pembatasan.
Simak bunyi Pasal 93 butir (2) yang menyatakan bahwa pekerja yang tidak ma-suk kerja tetap menerima upahnya -apabila dalam keadaan :
Dalam Pasal 95 UU No.13/Thn.2003 diatur suatu ketentuan yang mengatur tentang DENDA.
Artinya apabila seseorang pekerja diklasifikasikan MANGKIR,maka kepadanya dapat dikenakan denda berupa tidak dibayar upahnya sejumlah hari dimana dia tidak masuk kerja.
Bagimana pengaturan tentang denda ini ?
Ada beberapa batasan mengenai denda ini yakni :
No Work No Pay
Written By Mahmud J. Al Maghribi on Kamis, 21 Februari 2013 | 19.34
Inventarisasi masalah :
Bagi mereka yang akrab dengan bidang kepersonaliaan tentunya tidak asing lagi dengan statement sesuai dengan judul artikel diatas,yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti “kalau tidak bekerja tidak akan mene-rima gaji “.
Perlu diingatkan kembali bahwa pernyataan tersebut sudah mempunyai dasar hukum yang valid,sehingga keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi.
Namun demikian,pada saat sekarang masih berkembang pendapat yang menyatakan bahwa klausula hukum diatas hanya dapat diterapkan bagi karyawan yang berstatus Harian saja , sedangkan bagi karyawan bulanan tidak diberlakukan.
Pertanyaan lain yang cukup menggoda adalah,bagaimana status uang yang tidak dibayarkan kepada karyawan tersebut apabila yang bersangkutan tidak masuk kerja ?
Penulis mencoba untuk menganalisis nya dengan memakai pendekatan legal.
Legal approach
Jauh sebelum UU no.13 tahun 2003 diundangkan, Pemerintah RI sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.8 tahun 1981 tentang perlindungan upah yang ditandatangani oleh Presiden RI saat itu.
Pada Pasal 4 PP tersebut berbunyi : “Upah tidak dibayar bila buruh tidak mela-kukan pekerjaan “.
Pernyataan diatas,diulang dan dipertegas kembali dalam UU No.13 Tahun 2003 ,khususnya Pasal 93 yang berbunyi : “ Upah tidak dibayar apabila pekerja /buruh tidak melakukan pekerjaan “
Untuk menjawab pertanyaan,apakah ketentuan diatas hanya berlaku untuk karyawan yang berstatus harian saja,sedang bagi yang berstatus bulanan ti-dak,dapat dipelajari kembali Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Trans-migrasi RI No.SE.01/MEN/1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
Penulis kutip penjelasan tentang pengertian “ Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan “ sebagai berikut :
“
Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan disebabkan oleh kesalahan buruh “.
Terjawab sudah bahwa ketentuan “ no work no pay”,seharusnya diberlakukan kepada semua golongan buruh/pekerja ,bukan hanya yang berstatus harian saja.
Namun demikian, ketentuan tersebut,tidak dapat diberlakukan secara absolute dan ekstrim, oleh karenanya Undang Undang No.13/2003 memberikan kelong-garan tentang diperbolehkannya untuk tidak masuk kerja dan tetap dibayar upahnya oleh pengusaha dengan pembatasan.
Simak bunyi Pasal 93 butir (2) yang menyatakan bahwa pekerja yang tidak ma-suk kerja tetap menerima upahnya -apabila dalam keadaan :
1.Pekerja sakit (lihat juga penjelasannya pada Pasal 93 butir (3) UU No.
13/2003 ) dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter
2.Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
3.Pekerja menikah,dibayar untuk selama 3 (tiga)hari
4.Menikahkan anaknya,dibayar untuk selama 2 (dua) hari
5.Pekerja mengkhitankan anaknya,dibayar untuk selama 2 (dua ) hari
6.Pekerja membaptiskan anaknya,dibayar selama 2(dua) hari
7.Isteri melahirkan atau keguguran kandungan,dibayar untuk selama 2 (dua) hari
8.Suami /istri,orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,dibayar
selama 2 (dua) hari
9.Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia,dibayar untuk selama 1 (satu)
hari.
10.Pekerja yang sedang menjalankan kewajiban terhadap negara ( misalnya dinas Wajib
Militer dan sejenisnya).
11.Pekerja yang menjalankan ibadah agamanya (misalnya naik Haji,Umroh dan se-
jensinya)
12.Pekerja yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan,tetapi pen-gusaha
tidak mempekerjakannya.
13.Pekerja yang menjalankan hak istirahanya (cuti dsbnya)
14.Pekerja yang melaksanakan tugas Serikat Pekerja atas persetujuan pen-gusaha.
15.Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Bagaimana status dan penggolongan atas uang yang tidak dibayarkan kepada mereka yang terkena ketentuan “ no work no pay “ ini ?
Dalam Pasal 95 UU No.13/Thn.2003 diatur suatu ketentuan yang mengatur tentang DENDA.
Pada butir (1) tertulis bahwa :
“ Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda “.
Merujuk kepada ketentuan ini,maka pekerja yang tidak masuk kerja tanpa seizin atasannya dan tidak tergolong dalam 15 pengecualian sebagaimana yang tertera diatas, dapat diklasifikasikan sebagai Pelanggaran ( Mangkir ),dan karenanya dapat dikenakan denda. Denda disini dapat dikaitkan dengan upah,termasuk perlakuan lainnya seperti ganti rugi,pemotongan upah, karyawan sebagaimana bunyi Pasal 24 BAB V Peraturan Pemerintah No. 8/1981.
Artinya apabila seseorang pekerja diklasifikasikan MANGKIR,maka kepadanya dapat dikenakan denda berupa tidak dibayar upahnya sejumlah hari dimana dia tidak masuk kerja.
Bagimana pengaturan tentang denda ini ?
Ada beberapa batasan mengenai denda ini yakni :
1.Denda tidak boleh melebihi 50 % dari upah yang seharusnya diterima
2.Besarnya denda harus dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia (Rupiah)
3.Denda atas pelanggaran harus diatur dalam peraturan perusahaan,perjanjian kerja
bersama atau perjanjian tertulis lainnya
Contoh : bagi pekerja yang mangkir dikenakan denda sebesar jumlah hari pekerja
mangkir dibagi 30 dikalikan dengan Gaji perbulan.
4.Denda yang dijatuhkan kepada pekerja tidak boleh dipergunakan untuk ke-pentingan
pengusaha.
Kesimpulan :
1.Ketentuan tentang “no work no pay “ sudah mempunyai landasan hukum yang
tetap ,sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PP No.18/1981 dan dipert-egas lagi dalam
Pasal 93 UU No.13/2003.
2.Ketentuan tersebut,berlaku bagi semua golongan pekerja dengan tidak membedakan
apakah ia karyawan harian atau bulanan.
3.Upah yang tidak dibayarkan tersebut diklasifikasikan sebagai denda bu-kan sebagai
pemotongan upah ,oleh karenanya harus dibuat peraturan perusahaan yang mengatur
tentang besarnya denda tersebut dan din-yatakan dalam mata uang Republik Indonesia
Artikel lainnya tentang HR Management,dapat di baca di:
www.management-site.blogspot.com Link ini mengarahkan anda ke Management Site!
Handoko TP
Label:
hukum perburuhan,
ilmu hukum
22.07
Sebagai akibat Rusia mendukung Perjanjian Posdam yang menyatakan bahwa Negara penjajah menerima kembali jajahannya setelah Perang Dunia II selesai, PKI yang berkiblat ke Rusia, menolak Proklamasi. Sikap politik yang demikian inilah yang menjadi dasar timbulya kudeta komunis di Madiun 19 September 1948.
Terhadap gerakan ektremis lainnya : Republik Maluku Selatan yang dipimpin oleh Samoukil, Angkatan Perang Ratu Adil yang dipimpin oleh Westerling, serta Darul Islam (DI), kalangan Ulama Tarekat menunjukkan dukungan yang sama terhadap sikap Parpol Islam yang menentang keseluruhan gerakan tersebut dan tetap setia pada pemerintahan Republik Indonesia yang sah.
Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya).
Peranan Tarekat pada Masa Revolusi Fisik
Written By Mahmud J. Al Maghribi on Selasa, 19 Februari 2013 | 22.07
Masa perang kemerdekaan (1945-1950) para Ulama Tarekat tidaklah bertindak eksklusif. Justru sebaliknya rasa tanggung jawabnya terhadap Republik Indonesia ditampilkan dengan kesertaan membela Negara bangsa dan agama dalam barisan Sabilillah atau dalam Hizbullah. Demikian pula dalam pembinaan TNI, banyak Ulama yang tadinya Daidanco – Komandan BatalyonTentara Pembela Tanah Air (PETA) masuk memperkuat TNI, menduduki jabatan Komandan Divisi atau Komandan Batalyon.
Pada masa perang kemerdekaan, jenis senjata yang lebih dikenal yaitu senjata bambu runcing dari Parakan mempunya arti magis yang sangat membekali keberanian tempur para prajurit. Pertempuran 10 November 1954 di Surabaya, peranan K.H. Hasyim Ashari dari Jombang dan K.H. Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, sangat menyemangati suasana serangan dari prajurit. Demikian pula dalam Pertempuran 15 Desember 1945 yang berhasil kembali merebut Ambarawa, peranan Kyai Muhlish, Kyai Mandur, sangat menentukan sekali
Sebagai akibat Rusia mendukung Perjanjian Posdam yang menyatakan bahwa Negara penjajah menerima kembali jajahannya setelah Perang Dunia II selesai, PKI yang berkiblat ke Rusia, menolak Proklamasi. Sikap politik yang demikian inilah yang menjadi dasar timbulya kudeta komunis di Madiun 19 September 1948.
Menghadapi kudeta komunis di Madiun, kalangan Ulama Tarekat tetap bersikap menentang komunis sejak masa Gerakan Nasional (1900-1942). Demikian pula pada masa Pemberontakan G30S /PKI, 1965, Ulama Tarekat tetap berdiri mendukung Pemerintahan Orde Baru.
Terhadap gerakan ektremis lainnya : Republik Maluku Selatan yang dipimpin oleh Samoukil, Angkatan Perang Ratu Adil yang dipimpin oleh Westerling, serta Darul Islam (DI), kalangan Ulama Tarekat menunjukkan dukungan yang sama terhadap sikap Parpol Islam yang menentang keseluruhan gerakan tersebut dan tetap setia pada pemerintahan Republik Indonesia yang sah.
Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya).
Label:
Sirah
05.07
“Larilah kamu kepada Tuhan, Aku adalah pemberi ingat yang dating dan dari pada-Nya.”
Mereka disebut Mu’tazilah yang berasal dari kata i’tazala (mengasingkan diri). Dalam sejarah mereka dikenal dengan Mu’tazilah Pertama untuk membedakan dengan Mu’tazilah Kedua yang ditimbulkan Wasil Ibn ‘Ata’. Mu’tazilah Pertama lahir karena masalah politik, sedangkan Mu’tazilah Kedua timbul karena masalah akidah[1]
Sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj juga mengeluarkan syathahat, antara lain ucapannya yang masyhur Ana al-Haqq. Akulah Tuhan Yang Maha Besar.
Pendapat al-Ghazali bahwa kaum sufi adalah orang-orang suci, yang berbudi pekerti luhur dan menempuh jalan yang benar di jalan Allah, mengubah pandangan ulama syari’ah, dan umat Islam tentang tasawuf dan kaum sufi. Kalau sebelum al-Ghazali, jalan kaum sufi dijauhi ulama syari’ah, maka setelah tulisan-tulisannya mengenai tasawuf banyak beredar, ulama syari’at pun memulai menempuh jalan yang selama ini disangkakan sesat.
Untuk memantapkan tobatnya, calon sufi meningkat ke maqam al-zuhd. Disini ia mengasingkan diri ke tempat sunyi, seperti dilaukan al-Ghazali, banyak berpuasa, banyak melakukan shalat, banyak membaca Al-Qur’an dan berdzikir, dan menyebut nama Allah. Dengan banyaknya berpuasa, hawa nafsu yang ada di dalam tubuh menjadi lemah. Akhirnya kesenangan materi tidak mengganggu calon sufi lagi. Ia sudah dapat mengekang hawa nafsunya bahkan ia pun tak tertarik lagi kepada dunia materi. Kebahagiaannya terletak di dalam ibadat, berdzikir, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Kedudukan Tasawuf Dalam Islam
Written By Mahmud J. Al Maghribi on Rabu, 13 Februari 2013 | 05.07
Sebelum Muhammad saw.
diangkat menjadi Rasul, untuk bertafakur beliau mengasingkan diri di Gua Hira
pada setiap bulan Ramadhan. Gua itu terletak di sebelah utara kota Mekah. Dengan
membawa sedikit perbekalan sebulan penuh beliau menyendiri di tempat sunyi
untuk mencari kebenaran yang tidak dijumpainya dalam masyarakat pedagang Mekah,
yang hanyut dalam kematerian dan penyembahan mereka. Beliau melihat bahwa agama
yang mereka anut bukanlah agama yang benar; adat yang mereka pakai dalam hidup
kemasyarakatan mereka bukanlah adat yang betul. Dengan banyak berpuasa dan
beribadat di Gua Hira, jauh dari kehidupan kematerian Mekah pada bulan-bulan
Ramadahan, jiwa beliau makin suci. Dengan demikian, beliau siap menerima Firman
Tuhan. Akhirnya, Jibril turun menyampaikan wahyu pertama kepada beliau.
Muhammad pun menjadi Rasullullah. Selanjutnya, wahyu demi wahyu turun dalam
masa dua puluh tiga tahun; wahyu yang sekarang terkumpul dalam Al-Qur'an yang
menjadi Kitab Suci kita umat Islam.
Ajaran dasar yang
beliau terima adalah Tauhid. Ajaran tersebut mengajarkan bahwa Tuhan Pencipta
alam semesta adalah Satu dan Maha Esa. Selama hidup beliau sebagai Rasullullah,
Nabi Muhammad menjadi teladan yang baik dalam pelaksanaan ajaran-ajaran yang
diwahyukan Tuhan itu. Setelah Hijrah ke Madinah, umat yang beliau bentuk di
Madinah bukan hanya merupakan umat beragama saja, tetapi telah meningkat menjadi
umat yang bernegara. Negara Madinah terbentuk setelah Nabi Muhammad hijrah ke
Yathrib dan yang menjadi kepalanya, panglima perangnya, hakimnya dsb. adalah
beliau sendiri. Akan tetapi, sungguhpun beliau telah menjadi Kepala Negara,
beliau tetap menjalani hidup dengan sederhana. Sebagaimana sebelumnya beliau
tetap banyak beribadat mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak mementingkan
materi (zuhud). Kalau tidak ada makanan di rumah, kurma cukuplah bagi beliau.
Bahkan, menurut ‘Aisyah, istri Nabi, berbulan-bulan beliau pernah tidak memakan
roti ataupun kurma.
Zuhud dan kesederhanaan
hidup beliau disamping beribadat, tetapi dengan tidak seluruhnya meninggalkan
hidup kematerian, ditiru oleh para Sahabat, terutama Abu Bakar, Umar Ibn
Al-Khattab, Abu Dzar al-Ghiffari, dll. Mereka tetap zahid dari hidup kemewahan
sungguhpun harta telah melimpah datang ke Baitul Maal di Madinah setelah
negeri-negeri kaya seperti Mesir, Suria, Irak, dan Persia jatuh ke bawah
kekuasaaan umat Islam.
Abu bakar, setelah
diangkat menjadi khalifah sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam memimpin Negara
Madinah, tetap hidup sederhana. Kesederhanaan hidupnya membuat uang dari Baitul
Maal tidak diperlukannya. Demikian pula Umar Ibn al-Khattab adalah kahlifah
yang mengalahkan kerajaan Bizantium dalam peperangan Mesir, Palestina, Suria,
serta Irak. Dialah yang menghancurkan kerajaan Persia sehingga dengan demikian
Negara Madinah dari Negara kecil menjadi Negara besar yang disegani Bizantium.
Sungguhpun ia telah menjadi Kepala Negara Besar, ia tetap hidup sederhana dan
zahid dari kemewahan hidup. Sebagai Amir al-Mu’minin ia dikenal mempunyai hanya
satu potong pakaian yang kalau sedang dicuci mambuat ia terhambat datang ke
Masjid Madinah untuk memimpin shalat Jum’at. Dalam pada itu baju yang sepotong
itu telah pula dipenuhi tempelan di sana-sini karena koyak. Waktu ia berkunjung
ke Baitul Magdis sebagai Amir al-Mu’minin, ia naik unta sebagaimana biasa
ditemani oleh seorang budak. Ketika ia melihat Mua’awiyah Ibn Abi Sufyan telah
hidup mewah dan berpakaian mewah, gubernurnya itu dimarahi. Demikianlah, Nabi
Muhammad berserta para Sahabat dekatnya zahid dari dunia materi ini dan
menjalani hidup sederhana serta banyak melakukan ibadat.
Sebaliknya setelah masa
Khulafa’ al-Rasyidin selesai dan kahlifah Bani Umayyah berdiri, para kahlifah
yang datang sesudah Khualafa’ a-Rasyidin telah meninggalkan kezahidan dan
kehidupan sederhana. Mereka telah tertarik pada kehidupan dunia materi bahkan
telah berani melakukan peruatan-perbuatan yang bukan saja tidak sejalan dengan
Sunnah Nabi Muhammad saw. dan Sunnah Sahabat, malahan bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam, melihat kemewahan hidup dan dosa-dosa yang dilakukan
kalang atas di zaman Bani Umayyah, orang kemudian teringat pada kezuhudan,
kesederhanaan hidup, dan kesucian diri Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya.
Sebenarnya, pembunuhan
yang terjadi terhadap Usman Ibn Affan, Khalifah Ketiga, dan pertentangan
politik serta peperangan yang terjadi antara Ali dengan barisan
Tolhah-Zubair-Aisyah dan kemuadian antara Ali dan Muawiyah Ibn Abu Sufyan telah
menimbulkan segolongnan umat yang menjauhkan diri dari masyarakat yang kacau itu.
Persaingan politik yang menimbulkan peperangan dan pembunuhan sesama Muslim,
mereka lihat tidak sejalan dengan Sunnah Nabi Muhammad saw, bahkan bertentangan
dengan ajaran dalam Al-Qur'an. Dalam mengasingkan diri itu mereka banyak
melaksanakan ibadat. Mereka melarikan diri dari masyarakat berkelahi dan tidak
patuh itu sesuai dengan ayat :
“Larilah kamu kepada Tuhan, Aku adalah pemberi ingat yang dating dan dari pada-Nya.”
Mereka disebut Mu’tazilah yang berasal dari kata i’tazala (mengasingkan diri). Dalam sejarah mereka dikenal dengan Mu’tazilah Pertama untuk membedakan dengan Mu’tazilah Kedua yang ditimbulkan Wasil Ibn ‘Ata’. Mu’tazilah Pertama lahir karena masalah politik, sedangkan Mu’tazilah Kedua timbul karena masalah akidah[1]
Disamping banyak
beribadat, mereka juga menjauhkan diri dari kehidupan dunia materi. Mereka
kembali ke hidup zuhud dan sederhana yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dan para
Sahabatnya. Sebagai akibat timbullah
aliran zuhud dalam Islam. Mula-mula di Basrah dan Irak, kemudian meluas ke
kota-kota Islam lainnya di luar Irak. Zahid Irak yang terkenal adalah al-Hasan
al-Basri (W. 110 H), yang mengajar di Masjid Basrah dan berpendapat bahwa
pembuat dosa besar adalah Mu’min dan bukan Kafir. Pendapatnya ini tidak
disetujuai oleh Wasil Ibn ‘Ata’, yang mempunyai paham bahwa pembuat dosa besar
bukanlah Mu’min, tetapi bukan pula Kafir. Pendapat yang menjadi salah satu
ajaran dasar Mu’tazilah Kedua.
Seorang zahid besar
lain dari Irak adalah Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), yang sebagaimana Hasan al-Basri adalah juga seorang ulama, tetapi dalam hokum Fiqih. Karena zuhudnya,
ia menolak tawana khalifah kepadanya untuk menjadi Hakim.
Di luar Irak muncul
Ibrahim Ibn Adham di Khurasan, Persia (W. 162 H), yang mengatakan “tinggalkan
dunia. Cinta dunia membuat orang tuli serta buta dan menjadi budak”. Di Madinah
muncul Ja’far al-Sadiq (W. 148 H) dari Ahlil Bait, Imam Ke-enam dari Syi’ah Dua
Belas.
Para zahid-zahid pada
zaman Usman, Ali, dan Bani Umayyah tersebut, nyatanya bercabang menjadi dua.
Zahid-zahid seperti al-Hasan al-Basri, Sufyan Tsauri dan Ja’far Sadiq,
disamping banyak beribadat, mencurahkan pula perhatian pada ilmu. Dengan
demikian berkembanglah ilmu dalam Islam, bukan ilmu agama saja, tetapi juga
ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal dengan nama sains. Salah seorang zahid
yang memusatkan perhatian pada sains adalah Jabir Ibn Hayyan.
Cabang yang satu lagi
memusatkan seluruh perhatiannya pada ibadat. Mereka takut akan azab neraka yang
dijanjikan Tuhan dalam Al-Qur'an bagi pembuat dosa. Mereka banyak beribadat dan
bertobat. Hiburan bagi mereka ialah dengan mendekatkan diri kepada Allah swt.
dengan banyaknya beribadat, akhirnya mereka dapat merasakan kasih sayang Tuhan.
Allah adalah ar-Rahman dan ar-Rahim, pengasih lagi penyayang. Rasa takut, yang
pada mulanya mendorong mereka untuk banyak beribadat, bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan pun hilang dan sebagai gantinya timbul rasa cinta kepada
Allah swt.
Pada saat rasa takut
yang mendorong mereka untuk beribadat dan bertobat, Tuhan mereka rasakan jauh
sekali. Sebaliknya, ketika rasa cinta yang menjadi dorongan, Tuhan mereka
rasakan dekat sekali. Ayat-ayat Al-Qur'an memang menggambarkan bahwa Tuhan dekat
sekali dengan hamba-Nya. Diantara ayat-ayat itu adalah yang berikut :
:
wa-idzaa sa-alaka 'ibaadii 'annii fa-innii
qariibun ujiibu da'wata alddaa'i idzaa da'aani
falyastajiibuu lii walyu/minuu bii la'allahum yarsyuduuna
|
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah : 186).
|
Da’wah
al-da’i dalam ayat ini, bagi kaum sufi bukanlah berarti doa
orang yang meminta, sebagaimana diartikan, tetapi panggilan orang yang memanggil
atau himbauan orang yang menghimbau. Allah swt. akan mendekatkan diri orang
yang menghimbau kepada diri-Nya, kalau ia menghimbau.
walaqad khalaqnaa al-insaana
wana'lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wanahnu aqrabu ilayhi
min hablialwariidi
|
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya, (QS. Al-Qaaf : 16).
|
Tuhan lebih dekat kepada
manusia dari pada pembuluh darah yang ada di dalam dirinya sendiri. Begitu
dekatnya Tuhan kepada hambanya yang mencintai-Nya dan yang dicintai-Nya. Hadist
juga mengambarkan dekatnya Tuhan kepada manusia, umpamanya hadist berikut :
“Siapa yang kenal akan
dirinya, kenal akan Tuhannya”
Hadist ini mengandung
arti bahwa untuk mengenal Tuhan, orang tak perlu jauh-jauh. Ia cukup masuk ke
dalam dirinya dan mencoba mengenal dirinya. Kalau ia telah kenal dirinya, ia
akan kenal Tuhan.
Tuhan yang ditakuti
memang dirasakan jauh, tetapi Tuhan yang dicintai dirasakan dekat. Bahwa antara
Allah swt. dan hamba-Nya terdapat hubungan cinta-mencintai disebut juga dalam
Al-Qur'an. Diantara ayat-ayatnya adalah yang berikut :
Artinya : Allah akan
mendatang suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”
Artinya : Jika kamu
cinta pada Allah swt. maka turutlah aku dan Allah akan mencintaimu”
Juga hadist ada yang
menggambarkan adanya hubungan cinta antara Tuhan dan hamba_nya, umpamanya
hadist berikut :
“Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan baik hingga Aku cinta
kepadanya. Dan orang yang Ku-cintai, Aku menjadi telinga, mata dan tangan
baginya”
Ayat-ayat dan hadist di
atas jelas sekali menggambarkan adanya hubungan cinta antara Allah swt. dan
hamba-Nya, sehingga jika diantara zahid-zahid tersebut di atas ada yang
merasakan betul cintanya kepada Tuhan, tidaklah itu bertentangan, malahan
sejalan dengan ayat Al-Qur'an dan Hadist Nabi.
Zahid yang pertama kali
dikenal merasakan cinta kepada Allah adalah Rabi’ah al-Adawiah (W. 135 H),
teman berdialog dari Sufyan al-Tsauri. Kalau Sufyan al-Tsauri adalah zahid yang
menekuni ilmu; Rabi’ah al-Aldawiah adalah zahid yang menekuni pendekatan diri
kepada Tuhan dengan banyak beribadat dan berbuat baik. Dalam usaha mendekatkan
diri kepada Tuhan itu, ia sampai ke tingkat dimana kalbunya merasakan cinta
ikhlas kepada Tuhan, yang dalam istilah tasawuf disebut al-hubb al-ilahi. Ia cinta
kepada Allah bukan karena ingin dijauhkan Tuhan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, atau karena kepentingan lain untuk dirinya. Ia cinta kepada Allah
semata-mata karena Allah. Cinta suci itu dibalas oleh Allah dengan membukakan
hijab dari depan matahatinya dan ia pun melihat Allah. Ini kelihatan dari syair
Rabi’ah :
“Aku mencintai-Mu
dengan dua cinta; cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Adapun cinta
karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingay-Mu. Dan cinta karena
diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat”
Jika Sufyan al-Tsauri
tetap menjadi zahid, Rabi’ah al-Adawiah telah menjadi sufi. Kalau zahid hanya
menekankan kesederhanaan hidup dengan menjauhkan diri dari kemewahan hidup
materi, adapun Sufi di atas itu, ia berusaha mendekati Tuhan sehingga ia merasakan cinta
Tuhan dan melihat Tuhan dengan mata hatinya. Tiap sufi haruslah zahid, tetapi tidak tiap zahid adalah sufi. Sebelum menjadi sufi ia harus menjadi zahid terlebih
dahulu.
Dari uraian historis di
atas jelas kelihatan bahwa tasawuf dalam Islam berasal dari ajaran Islam itu
sendiri, yaitu dari Sunnah Nabi Muhammad saw. serta sunnah para Sahabat
dekatnya, dan dari ayat-ayat Al-Quran, diantaranya seperti berikut :
Artinya : Hidup di
dunia hanyalah kesenagan tipuan
Artinya : Kehidupan di
dunia ini hanyalah canda dan permainan belaka. Sungguh negeri akhiratlah hidup
yang sebenarnya, sekiranya mereka tahu.
Artinya : Telah
tenanglah orang yang membersihkan diri, yang menyebut nama Tuhannya dan yang
melakukan shalat. Tetapi kamu lebih suka hidup di dunia sedang akhirat lebih
baik dan lebih kekal.
Tidak benarlah pendapat
bahwa tasawuf dalam Islam timbul atas pengaruh-pengaruh dari luar Islam seperti
pengaruh falsafat Yunani, agama Kristen, Hindu, Budha, dll. Tidaklah pula benar
pendapat bahwa kata “Sufi” berasal dari kata Sophos Yunani, karena Sophos
telah masuk ke dalam bahasa Arab falsafah,
dan falsafah ditulis dengan sin dan bukan dengan shad, yang terdapat dalam kata shufi dan tashawwuf. Shufi berasal
dari kata Arab shuf, kain wol, yang
banyak dipakai zahid-zahid masa lampau. Wol yang dimaksud adalah wol kasar yang
ditenun dengan cara sederhana dari bulu domba dan melambangkan kesederhanaan
sebagai lawan dari sutra, yang dipakai kaum Atasan sebagai lambing kehidupan
mewah.
Memakai kain wol kasar
ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya, seperti Abu Dzar
al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abu ‘Ubaidah, dilanjtkan al-Tabi’in, dan
begitu seterusnya sampai kepada zahid-zahid tersebut di atas.
Akan tetapi siapa yang
pertama kali memakai kat sufi,
mengenai masalah ini dijumpai perbedaan pendapat. Menurut Abd al-Rahman Jami,
Abu Hasyim al-Kuffah (W. 150 H) yang pertama kali memakai gelar sufi.
Sebaliknya menurut pengarang Tazkirah
al-Awlia, yang pertama kali memakai nama itu adalah Jabir Ibn Hayyan. Ia
dikenal dengan sebutan Jabir al-Shufi.
Selanjutnya tasawufpun
berkembang dalam Islam. Sesudah Rabi’ah al-Adawiah dengan pengalaman hub
ilahi-nya, muncul kemudian Zunnun al-Mishri dengan pengalaman ma’rifat-nya. Yang dimaksud dengan
ma’rifah ialah melihat Tuhan dengan mata hati. Hal ini terjadi setelah kalbu
sufi dengan ibadat dan dzikirnya yang banyak menjadi suci sesuci-sucinya
sehingga timbul daya sir yang ada di
dalamnya; melalui daya sir inilah
sufi melihat Tuhan. Bahkan yang dilihat bukah Tuhan saja, tetapi juga
rahasia-rahasia Tuhan. Kata Zunnun, “Hakikat ma’rifat adalah keadaan al-Haqq menampakkan rahasia-rahasia
dalam kalbu melalui cahaya cemerlang”. Kata orang-orang sufi, “Seorang arif disinari dengan cahaya ilmu dan
dengan demikian melihat rahasia-rahasia alam ghaib”.
Dalam tingkat ma’rifat,
sufi telah dekat sekali dengan Allah swt. sehingga ia telah melihat cahaya zat
Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika penampakan (tajali) zat menimbulkan
tauhid, penampakan kebesaran-Nya menimbulkan kekaguman. Cinta membuat sufi
ingin berada lebih dekat dengan Allah swt. Maka dikenallah Abu Yazid al-Bustami
yang bertanya kepada Allah swt. dalam mimpinya; “Bagaimana caranya untuk sampai
kepada-Mu?” Jawab Tuhan; “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Dalam usahanya untuk
berada lebih dekat dengan Tuhan, Abu Yazid al- Bustami akhirnya mengalami
al-fana’ an nafs, yaitu penghancuran diri, dan al-baqa’billah yaitu kelanjutan wujud bersama Allah swt. dan
terjadilah al-ittihad, persatuan
dengan Tuhan. Bahkan Abu Yazid al-Bustami mengalami bahwa ia hancur lebur dalam
diri Tuhan; ia tak ada lagi, yang ada hanyalah Allah swt.
Hal ini digambarkan Abu
Yazid dalam perjalanan Mi’raj-nya. Dalam mi’raj itu Tuhan berkata kepadanya,
“Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihatmu”. Jawab Abu Yazid, “Aku tak ingin melihat
mereka, tetapi kalau itulah kehendak-Mu aku tak dapat menentang kehendak-Mu.
Tetapi hiasilah aku dengan keesaaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu meliha aku
mereka berkata, “Telah kami lihat Engkau”. Padahal yang mereka lihat sebenarnya
adalah Engkau, karena aku tak ada lagi”.
Dalam keadaan semacam
ini timbullah ucapan-ucapan ganjil dari mulut Abu Yazid yang dikenal dengan
nama syathahat, yaitu kata-kata yang
mengalir dari seorang sufi karena rasa cinta nya kepada Allah swt., seperti;
“Tiada yang kuhendaki dari Allah kecuali Allah sendiri. Orang tobat dari dosa
mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku; tiada Tuhan selain Allah. Tiada dalam
jubbah ini selain Allah.”
Kata-kata itu memang
membingungkan bagi orang bukan sufi dan orang yang tidak mempelajari tentang
tasawuf, bahkan bisa dianggap membawa kepada kekufuran. Syahadat Laa Ilaaha Illallaah-lah yang membuat
seseorang menjadi Muslim, akan tetapi Abu Yazid tobat dari ucapan demikian.
Sebenarnya syahadat Laa Ilaaha Illallaah,
belum cukup bagi sufi, karena kata Allah itu menggambarkan Tuhan masih jauh
dari sufi. Tuhan masih ghaib di belakang tabir. Keinginan sufi ialah berada
dekat dengan Tuhan di balik tabir; melihat Tuhan dan berdialog dengan-Nya.
Syahadat yang dikehendaki sufi ialah Laa
Ilaaha Illa Anta, tiada Tuhan selain Engkau. Jadi Abu Yazid sebenarnya
bukan tobat dari mengesakan Tuhan, tetapi tobat dari masih jauhnya ia dari
Tuhan. Sedangkan yang amat didambakan dari seorang sufi ialah merasakan
dekatnya Allah kepadanya.
Arti inilah pula yang
dikandung ucapan; “Tiada kukehendaki dari Tuhan kecuali Tuhan”. Sufi tidak
meminta dari Tuhan supaya dimasukkan ke dalam surga, karena masuk surga berarti
jauh dari Tuhan. Yang mereka minta ialah dekat dengan Tuhan.
Sesudah Abu Yazid
al-Bustami, datanglah al-Hallaj dengan pengalaman hulul-nya yang juga
mengandung arti bersatu dengan Tuhan. Dalam menyucikan jiwa melalui ibadah dan
dzikir, al-Hallaj merasakan nasut-nya,
yaitu sifat kemanusiaannya telah lenyap. Ketika itu, Tuhan-pun menerima ruh-nya
yang suci itu untuk bersatu dengan Tuhan. Jadi yang dialami oleh al-Hallaj
bersatunya ruh-nya yang suci sesuci-sucinya dengan ruh Allah.
Di dalam diri manusia
memang ada ruh Tuhan, yang disebut ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain :
Artinya : “Kemudian Ia
jadikan keturunannya dari sari air yang hina dan kemudian Ia memberinya bentuk
hembuskan ke dalamnya dari ruh-Nya.”
Yang dialami al-Hallaj
jadinya adalah persatuan ruh yang dihembuskan Tuhan ke dalam dirinya dengan Ruh
Tuhan, sebagimana kelihatan dari ungkapannya berikut : “Ruh-Mu disatukan dengan
ruh-ku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci”.
Sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj juga mengeluarkan syathahat, antara lain ucapannya yang masyhur Ana al-Haqq. Akulah Tuhan Yang Maha Besar.
Syathahat sufi inilah
yang membuat orang berpendapat bahwa tasawuf tidak cocok, bahkan bertentangan
dengan ajaran Islam. Sebagaimana orang takut dengan falsafah, orangpun takut
dengan tasawuf dan orang-orang sufi pun sebagai filosof-filosof dianggap telah
keluar dari Islam. Tasawuf dan falsafah dijauhi.
Kemudian muncul dalam
sejarah Islam, Abu Hamid al-Ghazali yang dikenal dengan Hujatul Islam. Ia di
dalam sejarah hidupnya dihinggapi penyakit syak.
Jalan untuk memperoleh pengetahuan ialah panca indera dan akal. Ia alami bahwa
pancaraindera ada kalanya berdusta. Bayangan pohon pada mulanya kelihatan tidak
pindah tempat, tetapi sejam kemudian ia ternyata pindah dari tempat semula.
Pancaindera, dengan demikian tidak bisa dipercayai.
Begitu pula akal tidak
dapat dipercayai. Dikala tidur orang yakin bahwa apa yang dialaminya dalam
mimpi adalah betul-betul kenyataan. Akan tetapi, setelah bangun dan kesadaran
timbul ia bahwa apa yang dialaminya adalah khayalan belaka.
Bagaimana jadinya
pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pancaindera dan akalnya? Tak bisa
dipercaya. Timbullah rasa syak dalam diri al-Ghazali sehingga ia menjadi sakit.
Kemudian ia memperoleh
jalan sufi yang memperoleh pengetahuan malalui al-dzauq. Untuk itu ia
mengasingkan diri ke Damaskus, al-quds, Mekah dan Madinah, beribadah dan
berdzikir guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Akhirnya, ia pun sampai ke
tingkat ma’rifah yang telah dialami oleh Rabi’ah dan terutama Zunnun al-Misri.
Yang ditekannya dalam ma’rifah ialah ilmu yang diperoleh sufi ketika melihat
Tuhan. Ma’rifah ia artikan : “Mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan yang mencakup segala yang ada”.
Dengan menempuh jalan
tasawuf dan sampainya ia ke tingkat ma’rifah, kembalilah al-Ghazali kepada
keyakinannya yang lama. Dalam kata-katanya sendiri : “ Pengetahuan-pengetahuan
akal menjadi dapat diterima dan diyakini kebenarannya, bukan melalui
argument-argumen intelektual, tetapi melalui cahaya yang disinarkan Tuhan ke
dalam dada, dan cahaya itu adalah kunci bagi kebanyakan ilmu”. Di tempat lain,
ia mengatakan : “ Akupun yakin bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang lebih
dahulu sampai ke jalan Allah, bahwa jalan mereka adalah sebaik-baik jalan dan
bahwa budi pekerti mereka adalah semulia-mulia budi pekerti”.
Dalam pada itu,
al-Ghazali tidak pula mengkafirkan Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang
mengeluarkan syathahat dan ucapan-ucapan ganjil mereka, sebagaimana ia
mengkafirkan filosof-filosof Islam yang berpendapat bahwa alam ini qodim, tidak mempunyai permualaan dalam
wujud, sama dengan Tuhan. Ucapan al-Hallaj, “Akulah Yang Maha Benar”, dan
ucapan Abu Yazid, “Tiada di bawah Jubbah ini selain Allah”, sebenarnya jauh
lebih hebat daripada pendapat filosof bahwa alam qodim dan bahwa pembangkitan jasmani tidak ada.
Dalam ittihad atau
hulul Abu Yazid dan al-Hallaj, kata al-Ghazali, sampai kepada kedekatan dengan
Tuhan, yang tak dapat digambarkan lagi dengan kata-kata, dan timbullah khayal
bahwa mereka telah bersatu dengan Tuhan, padahal keadaannya bukan begitu. Dalam
hal demikian kaum sufi seharusnya diam dan tak mengatakan selain; “Apa yang
terjadi telah terjadi dan aku tak ingat lagi, anggaplah itu hal yang baik, dan
janganlah tanya hakikatnya”.
Maka al-Ghazali tidak
mencaci sufi-sufi yang mengeluarkan syathahat itu, bahkan Abu Yazid al-Buatami
diikutsertakannya dalam sufi-sufi yang ia mohonkan supaya Allah mensucikan arwah
mereka.
Pendapat al-Ghazali bahwa kaum sufi adalah orang-orang suci, yang berbudi pekerti luhur dan menempuh jalan yang benar di jalan Allah, mengubah pandangan ulama syari’ah, dan umat Islam tentang tasawuf dan kaum sufi. Kalau sebelum al-Ghazali, jalan kaum sufi dijauhi ulama syari’ah, maka setelah tulisan-tulisannya mengenai tasawuf banyak beredar, ulama syari’at pun memulai menempuh jalan yang selama ini disangkakan sesat.
Timbullah dalam sejarah
Islam sufi-sufi besar lain, seperti Abdul Qodir al-Jilani, al-Suhrawardi,
al-Naqsabandy, Muy al-Din Ibn Arabi, dll. Sufi-sufi besar itu meninggalkan
murid-murid dan pengikut-pengikut, dan sebagian dari mereka membentuk
organisasi dalam usaha melestarikan ajaran guru, kemudian bermunculanlah
tarekat tasawuf di dunia Islam. Melalui tarekat-tarekat ini meluaslah ajaran
tasawuf ke seluruh dunia Islam.
Jelas kiranya bahwa
tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad saw. dimulai dari
zuhud Nabi di gua Hira, tempat beliau dalam kata-kata al-Ghazali; “Menyendiri
dengan Tuhannya dan beribadah, sehingga beliau, menurut orang Arab, asik kepada
Tuhannya”. Sunnah Nabi ini yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an diteruskan oleh
sahabat-sahabat beliau, kemudian oleh tabi’in, dan kemudian lagi oleh
zahid-zahid pada abad kedua Hijriah. Dari zahid-zahid inilah timbullah
orang-orang yang mencintai dan dicintai Tuhan sebagaimana disebut dalam
Al-Qur’an. Dengan demikian, muncullah kaum sufi dalam ajaran Islam.
Falsafat taswauf adalah
yang berikut; Allah swt. adalah zat yang bersifat rohani atau imateri dan Maha
Suci. Zat yang demikian tidak bisa didekati kecuali oleh yang bersifat rohani
pula dan dalam pada itu harus pula suci, maka yang akan dapat mendekatkan diri
kepada Allah adalah Ruh Manusia, dan bukan tubuhnya, yang mempunyai hawa dan
nafsu.
Ruh sebelum masuk ke
dalam tubuh memang suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh, bisa, bahkan
acapkali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu tubuh. Maka agar dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu
disucikan. Sufi-sufi besar telah merintis jalan untuk pensucian jiwa itu yang
dikenal dengan thariqah, jalan, yang
mempunyai maqamat, stasion-stasion. Di
stasion-stasion inilah, orang yang ingin menjadi sufi membersihkan diri dari
kotoran-kotoran yang melekat padanya.
Stasion itu dimulai
dengan al-taubah. Tobatlah langkah pertama untuk membersihkan ruh. Mula-mula
orang tobat dari dosa-dosa besar, seperti memfitnah, menjalankan riba,
membunuh, berzina dsb. kalau sudah bersih dari dosa-dosa besar, ia mulai
meninggalkan dosa-dosa kecil, seperti; berdusta, mencuru kecil-kecilan, tidak
menepati janaji, dsb. kemuadian ia membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan
makruh seperti minum sambil berjalan. Selanjutnya, dari perbuatan-perbuatan
syubhat seperti; memakan makanan di rumah orang yang dicurigai mengadakan
korupsi. Allah swt. adalah Maha Suci dan tak dapat didekati kecuali oleh
orang-orang yang bebas dari dosa-dosa; bebas dari perbuatan-perbuatan haram; bebas
dari perbuatan-perbuatan yang melanggar perintah dan larangan Allah; bahkan
bebas dari yang makruh dan syubhat. Seorang sufi yang diterima Tuhan mendkatkan
diri kepada-Nya adalah orang yang betul-betul suci.
Untuk memantapkan tobatnya, calon sufi meningkat ke maqam al-zuhd. Disini ia mengasingkan diri ke tempat sunyi, seperti dilaukan al-Ghazali, banyak berpuasa, banyak melakukan shalat, banyak membaca Al-Qur’an dan berdzikir, dan menyebut nama Allah. Dengan banyaknya berpuasa, hawa nafsu yang ada di dalam tubuh menjadi lemah. Akhirnya kesenangan materi tidak mengganggu calon sufi lagi. Ia sudah dapat mengekang hawa nafsunya bahkan ia pun tak tertarik lagi kepada dunia materi. Kebahagiaannya terletak di dalam ibadat, berdzikir, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Selanjutnya ia memasuki
maqam al-faqr. Ia hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada. Calon sufi
tidak meminta dari Tuhan kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajibanya. Pada tingkat lebih tinggi ia tidak meminta apa-apa,
tetapi kalau diberi Tuhan ia tidak menolak pemberian itu.
Kemudian ia meningkat
ke maqam al-sabr. Disini ia sabar menjalankan perintah-perintah dan
larangan-larangan Allah swt. Kalau ada percobaan dari Tuhan, ia menerimanya
dengan hati yang sabar dan dengan sabar pula menunggu datangnya pertolongan.
Seterunya ia meningkat
ke maqam al-tawakkul. Disini ia menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Ia
tidak memikirkan hari esok; bahkan apa yang ada hari ini ia serahkan kepada
orang yang lebih berhajat. Ia percaya kepada janji Allah swt. ia menyerah
kepada Allah, dengan Allah, dan karena Allah.
Setelah itu, ia sampai
ke maqam al-ridha. Disini ia menerima dengan hati senang apa saja yang dating dari
Tuhan. Jika malapetaka dating ia diterima dengan senang hati sebagaimana ia
senang hati menerima nikmat. Di dalam hatinya tidak ada lagi rasa benci, yang
ada ialah rasa senang dan cinta kepada Allah swt.
Kemudian ia pun sampai
kepada maqam al-mahabbah yang dialami Rabi’ah al-Adawiah. Disini rasa cinta
kepada Allah swt. yang mulai menampakkan diri di maqam al-ridha, bergelora dan
sufi pun siang malam bermunajat kepada Allah swt. Cinta kepada Allah swt. telah
memenuhi kalbu sufi, sehingga di dalamnya, dengan mengutip kata-kata Rabia’ah
al-Adawiah, tidak ada ruang lagi untuk rasa benci kepada syetan.
Akhirnya cinta suci
kepada Allah swt. dibalas Allah swt. dengan membuka tabir dari mata hatinya dan
sufi pun sampai ke tingkat al-ma’rifah yang telah dibicarakan di atas.
Melihat Tuhan dari
jarak dekat tidak memuaskan sufi, maka ia berusaha lebih dkat lagi dengan
memperbanyak ibadat dan dzikir sehingga ia akhirnya sampai ke tingkat al-fana,
al-baqa, dan al-ittihad. Disini sampailah sufi ke tingkat terakhir dari perjalannya.
Yang sampai ke tingkat
al-mahabbah, al-ma’rifah, al-fana, al-baqa, dan ittihad ini hanyalah sufi yang
betul-betul suci ruh dan jiwanya dari segala macam noda walaupun yang
sekecil-kecilnya. Didalam sejarah mereka dikenal dengan nama wali-wali suci
yang yang menerima karamah dari Allah swt. untuk itu mereka haruslah hamba
Allah yang takwa, patuh menjalankan perintah dan larangan-Nya. Sehubungan dengan
ini, Abu Yazid al-Bustami mengatakan, “Kalau sesorang menyatakan menerima
karomah, janganlah lekas percaya. Lihat dulu apa ia menjalankan syari’at atau
tidak”. Hanya orang yang menjalankan syari’at dengan sebaik-baiknyalah yang
diterima Tuhan mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam pada itu ada pula
anggapan bahwa kaum sufi dan kaum tarekat terlalu sibuk dengan ibadat serta
dzikir mereka, sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban sosial mereka. Sejarah
membuktikan bahwa anggapan itu tidak benar. Sufi-sufi besar yang menjadi perintis
tasawuf menjalankan bukan saja ajaran perikemanusiaan saja, tetapi
perikemakhlukan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Mereka mengutamakan
kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi mereka. Abu Yazid
al-Buatami tidak mau makan sebelum yakin bahwa orang-orang di sekitar tempat ia
tinggal tidak ada yang kelaparan. Kalau ada, makanannya ia serahkan kepada
mereka dan ia terus berpuasa. Bishr al-Hafi membuka bajunya di Rumah Sakit
Baghdad dan menyerahkannya kepada temannya sekamar karena terlalu miskin untuk
mempunyai baju. Abu Yazid berjalan kembali ke kampong temannya karena ketika
pulang ke kampungnya sendiri seekor semut terbawa di bajunya. Ia pergi lagi
untuk mengmbalikan semut itu ke kelompoknya di rumah temannya.
Tugas sufi adalah
berdakwah mengajak orang ke jalan yang benar. Sufi yang masih yunior selalu
disuruh sufi yang senior untuk pergi berdakwah ke masyarakat ramai. Setelah selesainya
zaman futuhat, pembukaan daerah-daerah bagi Islam oleh khalifah-khalifah dan
sultan-sultan, Islam disiarkan ke Afrika Tengah, Selatan, dan Asia Tenggara
melalui pedagang-pedagang sufi dan tarekat-tarekat. Dalam mepertahankan tanah
air Islam dari serangan kaum penjajah Barat, kaum sufi dan tarekat turut aktif
dalam pertempuran seperti tarekat al-Tijaniyah serte al-Sanusiah di Afrika
Utara dan al-Mahdiah di Sudan.
Kaum sufi adalah orang
yang patuh menjalankan syari’at dan kewajiban sosialnya. Karena meninggalkan
berarti berdosa, dan orang yang berdosa tidak diterima Allah swt. untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Sumber : TQN Sejarah,
Asal-Usul, dan Perkembangannya. (Ponpes Suryalaya).A
Label:
Kajian Tasawuf