Latest Post

Pengangkatan Ari Ginanjar Sebagai Wakil Talqin TQN PPS

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Minggu, 29 Desember 2013 | 23.47




Mengkritisi Mazhab Panggilan Hati: Dialog Al Bouti vs Al-Bani

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Kamis, 26 Desember 2013 | 21.00

Assalamualaikum..
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.

Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:

Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?

Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?

Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?

Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.

Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !

Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?

Al-Bani: Ya benar !

Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.

Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.

(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)

Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?

Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.

Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?

Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !

Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?

Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.

Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?

Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .

Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?

Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.

(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .

Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !

Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !

Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !

Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.

Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?

Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !

Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebutkan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !

Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.

Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)

Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.

Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !

Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).

Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orang pun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah ke madzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.

Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?

Al-Bani : Perbedaannya ialah dari segi bahasa,

(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).

Al-Bouti : Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).

Al-Bani : Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segi istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah.

Al-Bouti : Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.

Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.

Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?

Al-Bani : Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.

(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).

Talak Tiga : Contoh Kasus
Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampaikan fatwa Anda talah meneliti pendapat para Imam madzhab serta dalil-dalil mereka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahuilah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Setelah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?

Al-Bani : Saya belum pernah melihat hadits Ini.

Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati ke empat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalil-dalilnya? Kalau begitu Anda telah meninggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).

Al-Bani : Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.

Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?

Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?

Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.

Al-Bani : Saya telah menelaah pendapat ke empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.

Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi ke empat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?

Al-Bani : Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.

Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil ke empat imam madzhab itu tidak dapat diterima?

Al-Bani : Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.

Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa padahal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?

Al-Bani : Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.

Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?

Al-Bani: Ya, cukup.

Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti : Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jalla, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus menghadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan mengikuti panggiian hatinya karena ia telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus mengikuti pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?

Al-Bani:  Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti : Meskipun dengan menghadap ke arah timur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?

Al-Bani : Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti : Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhami dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran pangilan hatinya itu?

(Terdiam sejenak, laiu berkata) : Al-Bani : Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.

Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal seperti itu ataupun lebih aneh lagi.

Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cukup dengan alasannya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jelas bertentangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok; mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).

Al-Bani : Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?

Al-Bouti : Ia tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?

Al-Bani : Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.

(Pandangan ini jelas menyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Al-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran Al-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya metoda pokok istinbath (penyimpulan) hukum salah satu tokoh pemuka ala madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggilan hati. Dan cocoklah kiranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).

Al-Bouti : Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.

Al-Bani : Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.

Al-Bouti : Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tidak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahui - OS-An Nahi: 43.

Al-Bani : Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum?

Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
Jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahid, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.

Al-Bani : Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.

Dokter don Brosur: Analog! Lainnya

Al-Bouti : Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang sakit panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua si anak untuk mengobatinya dengan antibiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja itu menyebabkan kematian si anak. Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur kesehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati sakit panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter. Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak. Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?

Al-Bani : Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sedang kita bicarakan. (Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana ini. Lalu, bagaimana ia mampu membandingkan hujjah-huijah para imam madzhab?)

Al-Bouti : Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pemuda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagaimana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.

Al-Bani :Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain.

Al-Bouti : Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?

Al-Bani : Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,

Al-Bouti : Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagi orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?

Al-Ban : Dia tidak dituntut apa-apa.

Al-Bouti : Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sini. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda telah kaluar dari ijma' kaum muslimin.

(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).

Sumber: Majalah Alkisah
Re-post dari : http://sufiroad.blogspot.com/2013/07/mengkritisi-mazhab-panggilan-hati_12.html

Sebuah Dialog Yang Singkat (Saya Sangat Menyukainya)

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Selasa, 24 Desember 2013 | 05.48


  • Menara 165 resmi menjadi Menara Suryalaya oleh Sirnarasa :

    Di Masjid Menara 165 Jakarta Selatan, Bapak Ary Ginanjar ESQ bersegera mengambil air wudlu dan mendekati Abah Gaos kemudian meminta di bimbing dzikrulloh Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya. 

    Beliau katakan ke Abah Gaos, ".. Abah saya mau tajdidut Talqin"... dulu saya tahun 1994 sudah ditalqin sama Abah Anom. Maka jadilah Sang Trainer menjadi Murid Abah Gaos.

    Dan beliau katakan dihadapan para Audiens Training sekitar 300 orang. "...Ini saya perkenalkan Abah Gaos penerus dari Abah Anom. Hari ini Menara 165 menjadi menara suryalaya..." Para audiens training bergemuruh, tersenyum, bertepuk tangan dan mengucapkan Alhamdulillah
    • Anda dan 5 orang lainnya menyukai ini.
    • Afifah Harisah Hussein Apa ya perbedaan Tariqat Qodiriyah Naqsyabandiyah dengan tariqat lain? Kalau saya nda bertariqat ka...soalnya Nabi juga nda punya tariqat....to daeng?
    • Bakri Alwi Intinya semua thariqah itu sama tujuannya. Semua mengajarkan bagaimna seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kalau ada yang bilang kita tidak butuh tariqah karena Nabi tidak bertariqah. Kata siapa Nabi tidak bertariqah.Bedanya dengan kita kalau Nabi itu dibimbing langsung oleh Allah melalui mediasi Jibril, kalau pengamal Tariqah melalui mediasi Guru Mursyid. Ini adalah salah satu prinsip yang terdapat dalam ajaran sufisme/tasawuf. Silahkan kalau anda ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan mengandalkan diri sendiri tanpa bimbingan seorang Mursyid. Itu adalah hak masing2. Imam Malik pernah berkata Siapa saja yang tidak punya guru (dalam mendekatkan diri kepada Allah) maka gurunya adalah syetan.
    • Bakri Alwi Esensi tarikat itu bukan dinamanya. Seorang Guru Besar Tasawuf di UIN Jakarta pernah ditanya : Sejak kapan ada tariqah/tasawuf. Bliau jawab : sejak adanya manusia yang berusaha dekat kepada Allah.Dengan demikian maka jangankan Nabi kita Muhammad, Nabi2 sebelumnya pun sudah bertariqah/bertasawuf. Istilah/penamaan tariqah/tasawuf adalah istilah teknis belaka yang muncul ke permukaan di kemudian hari setelah Nabi tiada. Adapun esensinya sudah terlebih dahulu ada.Jadi kalau melihat tariqah jangan dibuat bingung oleh namanya, tapi lihat esensinya.......
    • Bakri Alwi Saya sarankan kepada tanteku Afifah Harisah Hussein , kalau ada kesempatan silahkan berdiskusi dengan orang2 yang mumpuni wawasannya di bidang Tasawwuf serta mengamalkan tasawuf. Jangan hanya membaca atau mendengar ihwal tasawuf dari orang yang masih dipertanyakan otoritas ilmiyahnya, terlebih lagi dengan orang2 yang sejak memang tidak suka bahkan anti tasawuf
    • Afifah Harisah Hussein alhamdulillah saya dikitari oleh orang-orang yang boleh dibilang mumpuni masalah agama, ibu saya khan dosen IAIN dulu, keluarga juga byk yang hafiz, om-om dari pihak ibu dan bapak juga kebanyakan ahli agama. Masalahnya saya melihat banyak hal yang "lain" di beberapa org tertentu yg bertariqat, diantaranya......hormatnya kpd gurunya sangat berlebihan, sehingga mengarah kpd pengkultusan individu, kadang-kadang ada ibadah tertentu yang dilakukannya yg sptnya tidak ada dalam ajaran nabi sehingga bisa menjerumuskan ke bid'ah....dsb yg bagaimana ya....
    • Afifah Harisah Hussein Kalau guru, saya banyak gurunya daeng dlm bidang agama khan saya tamatan madrasah, kitab-kitab agama di rumah juga banyak, jadi dasarnya sdh ada, krn sdh ada itulah, saya tak mudah terpengaruh, dan dipengaruhi...
    • Afifah Harisah Hussein Lagipula proses pendekatan kepada Allah itu khan sudah ada "frame" yang ditentukan Allah SWT, ibadah-ibadah wajib dan sunnah juga sdh ada dan sangat jelas dijelaskan oleh Nabi Muhammad....
    • Afifah Harisah Hussein yang saya tahu...kalau tariqat itu adalah upaya untuk mencapai "ma'rifat" atau kedekatan dengan Allah SWT, nah dalam proses pencapaian itu...disitulah titik kritisnya, krn beberapa tariqat ada yg tidak sesuai bahkan menyimpang....
    • Afifah Harisah Hussein Saya punya prinsip kalau melihat sesuatu seperti tariqat itu harus dari a sampai z ditelusuri, krn godaan penyimpangan oleh syetan itu ada di sepanjang a sampai z tadi...
    • Mahmud Jonsen Sabda Nabi,"Syari'at itu ucapanku, Thariqah itu perbuatanku, Hakikat itu keadaanku, dan Ma'rifat itu puncak kekayaan batin". Buat Tante Afifah, betul banyak thariqah yg ghoir mu'tabaroh (sesat), silahkan tante teliti, karena emanglah demikian, jangan sampai kita tersesat. Tapi jangan lama-lama menelitinya (kalo memang benar tante meneliti). Ibarat orang yg sadar dirinya sedang sakit, dikasih obat sama dokter pasti langsung dimakan obatnya (gak ada waktu untuk meneliti), tapi yg bermasalah adlh banyak orang yg tidak sadar kalo dirinya sedang sakit. Kita banyak penyakitnya tante.. penyakit ujub, riya, angkuh, dengki, dendam, kikir, benci, dll. yg kesemuanya itu adlh "penyakit hati". Sabda Rosul, "Dzikrullaha syifa'ul qulub" (dzikir kepada Allah obat pembersih hati). Inti ajaran thariqah adalah mengamalkan Dzikir.
    • Mahmud Jonsen Mengamalkan Dzikir harus belajar (digurukan) kepada Ahlinya, sebagaimana Firman Allah, "Fas aluu ahladzikri inkuntum laa ta'lamuun" (bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui). Inilah dalilnya mengapa kita harus mempunyai Guru yang Mursyid.
    • Bakri Alwi Yang saya minta kepada tante Afifah Harisah Hussein, berdiskusi dengan orang yang mumpuni ilmunya (dalam tariqah/tasawuf) serta mengamalkan tariqah. Karena tidak sedikit orang yang mumpuni di bidang agama, tapi belum tentu mumpuni di bidang tasawuf. Saya yakin sepenuhnya tante belum pernah berdiskusi dengan orang dengan kualifikasi yang saya sebutkan tadi.Kalau memang pernah, pasti tante tidak akan membuat pernyataan bahwa Nabi kita tidak bertariqah.
    • Bakri Alwi Titik kritis dalam bertarikat itu bisa diatasi dengan kehadiran seorang Guru Spiritual yang sering disebut Mursyid yang kaamil mukammil. Orang yang membiarkan dirinya sendiri dalam titik kritis tanpa bimbingan seorang Mursyid dapat dipastikan akan sesat. Makanya orang yang bertarikat harus punya Mursyid. Kalau tidak punya Mursyid, maka dia tidak bisa disebut orang bertariqah.
    • Bakri Alwi Apa yang tante sebut sebagai "frame" , itu semua diamalkan dalam tariqah.
    • Bakri Alwi Kalau orang bilang ada pengkultusan dalam tariqah, itu tidak spenuhnya benar. Yang ada adalah ta'zim yang tidak melampaui batas untuk disebut pemujaan. Istilah "ta'zim" tidak sama persis dengan istilah "cult" . Sering kita terjerumus dalam penggunaan istilah yang tidak pas untuk suatu fenomena, kerancuan semantik. Istilah kultus itu berasal dari dunia Antropologi. Mendekati persoalan tasawuf dengan pendekatan antropologis tidak sepenuhnya bisa mengungkap apa yang ada dalam tasawuf.
    • Amrullah Aqil TADDAMPENGENNGA MARAJA coddokka....Annan guru mahmud mohon diteliti kembali hadis "tarikat itu perbuatanku,hakikat itu keadaanku...." daeng guru Bakri.."mohon juga kata mursyid kamil dan mukammil" diperhatikan kembali...saya khawatir hadits yang diangkat diatas dan ungkapan daeng guru masuk kategori SYUBHAT At-Tasawwufi seperti yg ditulis Abu Hafish Umar bin Abd Al-Aziz Quraisy (mudir bikulliati ad da'wa al Islamiyah bijamiati Al Azhar)..... Menurut saya secara esensi Puang Ampi juga sudah bertarikat dan bertasawwuf... dan yang masuk syurga kelak bukanlah komunitas ahli tasawwuf secara kelompok tapi yang masuk syurga adalah yang bertasawwuf dan bertariqat secara esensi...kelompok dan komunitas tqrikat A, B ,C dst hanya sekedar cap atau label....TANDAMPEnGeNnga narekko salai ada'ku...
      6 jam yang lalu melalui seluler · Suka
    • Mahmud Jonsen Thariqoh itu Jalan, sebagaimana Firman Allah SWT. "Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda".(QS. Al Jin:11). Berkaitan dg ini pernah diceritakan oleh Yusuf Al-Kurani r.a. dan teman-temannya dengan sanad yang syah : "Bahwa syaidina "Ali k.w. bertanya kepada nabi : "Ya Rosulullah tunjukilah aku jalan yang sependek-pendeknya kepada Allah dan yang semudah-mudahnya dan yang paling utama dapat ditempuh oleh hambaNya pada sisi Allah?. Maka bersabdalah Rosulullah : "Hendaknya kamu lakukan dzikrullah yang kekal (dzikir dawam) dan ucapan yang paling utama pernah kulakukan dan dilakukan oleh Nabi-nabi sebelum aku, yaitu Laa Ilaaha Illallaah. Jika ditmbang tujuh petaka langit dan bumi dalam satu daun timbangan, dan kalimat Laa Ilaaha Illallaah dalam satu timbangan yang lainnya, maka akan lebih berat kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam daun timbangan yang lain". Daeng Amrullah sy setuju dg pendapat daeng, bahwa kita semua secara esensi sdh berthoriqoh. Karena Islam itu sendiri adalah Thoriqoh, tapi msh bermakna "jalan umum", nah tidak salahnya kalau kita menyempunakan ibadah kita kepada Allah dg menempuh "jalan yang khusus".
    • Amrullah Aqil Annang guru...saya kira belum terjawab hadis yg saya pertanyakan....sy sepakat dengan argumen annang guru tapi kalu bisa saya tidak sepakat pada akhir statmen "jalan umum dan jalan khusus" karena hal tersebut membuka peluang rasa SAYA lebih mulia darinya, KELOMPOKKU lebih dekat kepada ALLAH darinya, mutasawifun lebih mulia dari mufaqqihin. Sejarah telah menjadi saksi pada akhir dinasti umayyah dan pada dinasti Abbasia karena klaim jalan khusus lebih utama dari jalan umum.
      2 jam yang lalu melalui seluler · Batal Suka · 1
    • Mahmud Jonsen Daeng Amrullah Aqil... untuk hadist tersebut biarlah Guru saya Ust. Bakri Alwi yang mungkin dapat menjelaskan kedudukan hadist tersebut, karena beliau ahlinya. Namun yg saya pahami hadist dho'if masih dapat digunakan kalo hanya sekedar untuk memotivasi, asalkan tidak untuk menentukan hukum (syara). Hadist tersebut hanya salah satu saja dari sekian banyak hadist yang shohih tentang tasawwuf/thariqoh. Saya kutip karena Ibu Afifah menulis; "tariqat itu adalah upaya untuk mencapai "ma'rifat" atau kedekatan dengan Allah SWT." maksudnya agar relevan. Saya sebut "jalan khusus" konotasinya sama sekali bukan bermaksud merasa lebih mulia, saya kira itu keliru daeng... Justru dengan berthoriqoh untuk menghilangkan rasa keakuan itu, berthoriqoh tujuannya untuk menyempunakan ibadah secara syar'i yang telah kital lakukan agar sampai kepada hakikat, sebagaimana sabda Nabi, "...... beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, apabila engkau tidak mampu maka yakinkanlah hatimu bahwa engkau dilihat oleh Allah", metode/cara atau thoriqohnya yaitu dengan Dzikirullah yang didapat dari Mursyid yang memiliki silsilah (sanad/rawi) yang sah sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Jalan dapat berbeda-beda daeng... namun bagi kaum sufi, jalan inilah yang sudah terbukti sampai kepada Allah SWT. Wallaahu'alam bishshowab.
    • Bakri Alwi Guru kami pernah berkata; Jangan menyalahkan ulama yang sezaman, jangan menyalahkan pengajaran orang lain, jangan memeriksa murid orang lain, jangan berubah sikap meskipun disakiti orang dan harus menyayangi orang yang membenci kepadamu.( Syekh Ahmad Sahibul Wafa Tajul Arifin : Untaian Mutiara). Mari kita saling menghargai pendirian masing2 tanpa merasa diri yang paling benar. Saya setuju banget tuh.
    • Amrullah Aqil Alhamdulillah wa syukru lillah atas masukan dan ilmunya..tanpa ada niat lain selain belajar kepada antum para annang guru serta tanggung jawab ilmiah baik sebagai akademisi maupun sebagai hamba Allah...sy utarakan pendapat saya tersebut. Mohon maaf para annang guru berkaitan dengan hadis tadi terus terang saya sangat meragukan kesahihannya dengan berbagai pertimbangan. Saya sepakat untuk fadailul a'mal hadis daif boleh dipake. Berkaitan dengan Mursyid kamil dan mukammil annang guru...saya berpendapat AL-KAMALU LILLAH. Seorang manusia tidak berhak menyandang gelar kaamil apalagi mukammil ligairihi... Adapun berkaitan jalan umum dan khusus, mohon maaf annang guru saya mau bertanya bagaimana pemahaman annang guru berkaitan dengan kisah Musa dan Khaidir alaihimassalam? Bagaimana pula pandangan annang guru berkaitan dengan perkataan Ibnu 'Ajiybah (seorang sufi) bahwa Nabi SAW diajar oleh Allah melalui wahyu dan ilham. Prtama Jibril datang kepada Rasulullah SAW dengan syariat dan setelahnya jibril mendatangi Rasulullah SAW dengan hakikat, maka oleh Nabi SAW hakikat ini dikhususkan kepada orang tertentu saja tanpa sebahagian yang lainnya? Mohon pencerahannya.
      34 menit yang lalu melalui seluler · Batal Suka · 1
    • Bakri Alwi 1. Mengenai hadis dlaif sebagai motivasi untuk beramal (fadlail amal) ini sudah masyhur, bahkan ulama sekaliber Ibnu Hajar Al Asqalany merekomendasikan hal tersebut. 2. Dalam menilai otentisitas hadis para ulama sufi tidak selamanya berpandangan sama dengan para ulama hadis konvensional.Ini jg sudah masyhur. 3. Istilah Mursyid kamil mukammil itu memang dipakai dalam ilmu tasawuf. Tentu saja kamil disitu adalah kamilnya manusia, sama sekali bukan untuk menandingi kamilnya Allah dan itu mustahil. Mukammil berarti bahwa mursyid itu bisa (dengan izin Allah) menjadikan muridnya menjadi manusia yang kamil.Orang lain boleh tidak setuju dengan istilah itu, namun itulah yang ada dalam dunia taswuf. 4. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam surah al Kahf itu dalam pandangan tasawwuf adalah illustrasi tentang syariat dan hakikat. 5. Setiap orang punya kapasitas yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu perlakuan yang diberikan terhadap merekapun bisa berbeda. Guru sufi juga (meneladani Nabi) tidak selamanya menyeragamkan perlakuan terjhadap para muridnya, karena kapasitas berbeda yang dimiliki oleh mereka.
    • Bakri Alwi Saya dan Pa Mahmud Jonsen samasekali tidak memposisikan diri sebagai sufi. Kami hanya berusaha mendekatkan diri kepada Allah dibawah bimbingan seorang yang kami yakini sebagai Guru Sufi yang sudah mencapai maqam kamil mukammil. Guru kamilah yang sufi, bukan kami.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger