Latest Post

Kisah Hikmah Sufi (Junaid dan Iblis)

Written By Mahmud J. Al Maghribi on Senin, 24 Juni 2013 | 02.46

Junaid dan Iblis

Dikisahkan dari junaid: pada suatu hari Junaid ingin melihat Iblis, Junaid berkata: aku berdiri di pintu masjid dan dari kejahuan terlihatlah olehku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku, begitu aku memandangnya, rasa ngerih mencekam perasaanku.

“siapakah engkau ini?”, aku bertanya.

“yang engkau inginkan”, jawabnya.

“wahai makluk yang terkutuk”, aku berseru, “apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud pada Adam?”

“bagaimanakah pendapatmu Junaid?”, Iblis menjawab, “jika aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?”

Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban Iblis itu. Dan dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “katakanlah, engkau adalah pendusta, seandainya engaku adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau menaati perintah-Nya”.

Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring. “demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” dan setelah itu iapun hilang.[11]

Cerita ini dapat dijadikan pelajaran bahwa Iblis selalu membuat manusia terperangkap dalam logika yang menyesatkan dengan argument yang secara rasional sehingga dapat di percaya, sehingga banyak manusia yang menjadi korbannya.

Kisah Hikmah Sufi (Junaid dan Pengemis)

Junaid dan Pengemis

Ketika Junaid sedang berkhutbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis. “orang ini cukup sehat”, Junaid berkata dalam hati. “ia dapat mencari nafkah, tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?”

Malam itu Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.

“Makanlah!”, sebuah suara memerintah Junaid. Ketika Junaid mengangkat tudung itu, terlihat olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.

“aku tidak mau memakan daging manusia”, jawab Junaid menolak.

“ tetapi bukanlah yang itu telah engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?”

Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah melakukan fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.

“Aku tersentak dalam keadaan takut”, Junaid mengisahkan. “aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua rakaat.” Setelah itu aku pergi keluar mencari si pengemis.. Kudapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tignis. Ia sedang memunguti sisa-sisa makanan sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihat olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku: “Junaid sudahkah engkau bertaubat karena berprasangka buruk terhadapku?” sudah, jawabku. “jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu”.

Sumber : http://sufiroad.blogspot.com/2010/12/sufi-road-kisah-perjalanan-imam-junaid_26.html

Kisah Hikmah Sufi (Murid Syekh Junaid)

Kisah Murid Syekh Junaid al-Baghdadi
Jumat, 04/01/2013 14:01
Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah seorang tokoh sufi besar yang ternama. Ia mempunyai seorang murid yang sangat disayanginya yang menyebabkan santri-santri Junaid yang lain iri hati. Jauh di dalam hati, mereka tak dapat menerima mengapa sang guru memberi perhatian khusus kepada anak itu.

Suatu saat, Syekh Junaid menyuruh semua santrinya membeli ayam di pasar untuk kemudian disembelih. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat dimana tak ada yang dapat melihat mereka dengan syarat sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas tersebut.

Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih kecuali murid kesayangan Junaid. Akhirnya ketika matahari tenggelam, sang murid muda itu baru datang dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu telah gagal melaksanakan perintah Syeikh yang sangat mudah.

Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya.

Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana.

Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Sedangkan santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.

Tibalah giliran santri muda kesayangan Junaid yang tak berhasil memotong ayam. Sambil tertunduk malu karena merasa tak dapat menjalankan perintah sang guru. Ia pun bercerita:
“Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allah) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Padahal aku tak bisa pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku."
Para murid Syekh Junaid yang lain pun tertegun. (Anam)

Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,41584-lang,id-c,hikmah-t,Kisah+Murid+Syekh+Junaid+al+Baghdadi-.phpx

Kisah Hikmah Sufi (Bahlul dan Syekh Junaid)

Kisah: Bahlul dan Syeikh Junaid Al-Baghdadi

Syeikh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syeikh itu bertanya tentang Bahlul.

Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda butuhkan darinya?”
“Cari dia, kerana aku ada perlu dengannya,” kata Syeikh Junaid.
Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syeikh Junaid kepadanya.
Ketika Syeikh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syeikh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya, “Siapakah engkau?”
“Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata syeikh itu.
“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!” jawab syeikh itu.
“Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab syeikh.
“Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syeikh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan.”
Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi.
Murid Syeikh itu berkata, “Wahai Syeikh! Ia adalah orang gila.”
Syeikh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!”
Bahlul mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syeikh Junaid pun datang mendekatinya.
Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?”
“Syeikh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syeikh Junaid.
“Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab syeikh.
“Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
Syeikh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika.
Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, kerana kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!”
Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi.
Murid-muridnya berkata, “Wahai Syeikh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!”
Syeikh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku butuhkan darinya. Kalian tidak tahu itu.”
Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?”
“Ya, aku tahu!” jawab syeikh itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul.
Syeikh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama.
“Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit.
Tetapi Syeikh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”
Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!”
“Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syeikh.
Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik.
Dan apa pun yang kau katakan tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!”
Syeikh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya.
Inti dari cerita tersebut adalah:
Sahabatku. Orang zaman sekarang masih ada yang beribadah tanpa memahami isi makna. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya tanpa kemampuan memaknai. Maka tak heran jika amal yang dilakukan, ibadah yang dilakukan, akan terasa kering. Tidak menyerap di hati. Bahkan shalat sudah tak mampu mencegah kemungkaran. Kenimatan beribadah sangat sulit mereka dapatkan. Dalam cerita di atas, bahlul mencoba membeberkan beberapa kasus yang sehari-hari ditemui. Semoga dengan cerita di atas engkau dapat memaknai setiap amal yang kau lakukan, sehingga makan, bicara dan tidurmu menjadi cahaya. Amin…..
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. UNTAIAN MUTIARA TQN SURYALAYA - SIRNARASA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger